Rabu, 06 November 2013

Memahami Garis Besar Konsep Pemikiran Bung Karno bagi Pembangunan Indonesia

Oleh: Qiki Qilang Syachbudy

 
Pengantar
Suka atau tidak suka Bung Karno adalah seorang tokoh yang sangat berjasa bagi awal mula benih terbentuknya Negara Indonesia. Meskipun memang kita tidak bisa berandai-andai jika seandainya Bung Karno tidak pernah ada. Nyatanya memang Bung Karno pernah ada di bumi pertiwi ini. Rasanya jasa Bung Karno itu kini sampai pada kita juga yang membaca artikel ini. Rasa kebebasan hidup sebagai sebuah bangsa dan bebas dari rasa ketakutan untuk memenuhi hak-hak kita. Bung Karnolah dulu sebagai salah satu orang yang meletakkan batu janji kemerdekaan jauh di depan perjalanan sejarah bangsa ini. Batu janji kemerdekaan itulah yang sekarang sedang kita tuju bersama-sama melalui sebuah kendaraan yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah Bangsa ini menyebutkan bahwa perjalanan hidup sosok  Bung karno ini memang banyak menuai pro dan kontra. Jangankan Bung Karno, malah seorang utusan tuhanpun ada saja pro dan kontranya. Karena hidup ini pada hakikatnya adalah sebuah perang antara yang pro dan kontra.
Tulisan saya disini tidak ingin membahas tentang pro dan kontranya. Saya tidak ingin memihak kepada salah satu diantaranya. Yang saya harapkan disini hanyalah mengajak para pembaca untuk lebih bersikap bijak dan tidak merasa phobi dalam membicarakan siapapun tokoh bangsa ini. Siapapun dia, yang terpenting adalah ia telah memberikan sumbangan terhadap keberlangsungan bangsa ini. Adapun kesalahan yang telah mereka perbuat biarkanlah hukum yang menyelesaikan. Jikapun hukum dunia tidak mendapat, hukum Tuhan sudah pasti mereka mendapatkannya. Kita hanyalah bertugas untuk mengambil pelajaran atas apa yang telah mereka perbuat serta memperbaiki yang luput dari jangkauan mereka. Jangan lantas karena kita hanya terpaku pada kesalahan-kesalahan tersebut lalu kemudian kita lupa dengan mutiara yang pernah mereka sumbangkan.    
  
 Garis Besar Perjalanan Hidup Bung Karno
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”. (kepustakaan-presiden.pnri.go.id)

Wayang Sebagai Asal Mula Pembentukan Karakter Bung Karno

Hidup dalam kultur Jawa pada awal tahun 90an merupakan modal yang sangat besar bagi pembentukan karakter Bung Karno. Jiwa nasionalismenya semakin terasah tatkala ia besekolah dengan anak dari kaum penjajah. Bung Karno yang pada dasarnya memiliki watak pemberani kadang berkelahi dengan anak-anak kaum penjajah demi menunjukkan bahwa kaum pribumipun memiliki hak yang sama dalam memenuhi hak-hak kebebasannya.
Tontonan yang sangat diminati oleh Soekarno kecil adalah kesenian wayang. Tontonan rakyat yang biasanya disajikan semalaman suntuk itu dikemudian hari telah mempengaruhi pemikiran bawah sadar Bung Karno. Sehingga kemudian ia mengagumi tokoh Bima.
Dalam kisah pewayangan tokoh Bima merupakan symbol dari manusia kuat dalam hal fisik. Senjata yang terkenal dari bima adalah kuku pancanaka. Bima merupakan putra kedua dari pandawa (anaknya pandu) setelah Yudhistira. Tokoh Bima menyimbolkan seorang manusia yang karena kekuatannya ia bebas untuk melakukan berbagai hal. Tokoh jagoan inilah yang kemudian diidolakan Bung Karno, dan mungkin dikemudian hari menjadi inspirasi bagi Bung Karno tentang impian masyarakat Indonesia yang memiliki kekuatan seperti Bima yang bukan saja memiliki kesehatan fisik mumpuni tetapi juga memiliki karakter lurus sehingga acapkali Bima menjadi penolong bagi saudara-saudaranya yang lain. Selain itu pula Bung Karno mengharapkan bahwa dari rakyat Indonesia yang sebagai Bima itulah akan tercipta suatu generasi yang seperti anaknya Bima, yaitu Gatot Gaca yang memiliki otot kawat dan tulang besi, serta mampu terbang membelah angkasa demi melindungi rakyat Pringgandani dari serangan yang berasal dari luar.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa di seluruh kehidupan Bung Karno terkena pengaruh wayang dan ia hidup dengan mengidentikkan diri dan lingkungannya sebagai dunia wayang. Tetapi disini saya ingin menggarisbawahi bahwa Bung Karno telah berhasil menangkap peluang perjuangannya tersebut melalui penyatuan antara semangat perjuangan dengan bathin rakyat. Yaitu menangkap dan menganalogikan sebuah pemikiran perjuangan dengan bahasa yang dimengerti rakyatnya, padahal seperti kita ketahui bahwa keadaan pendidikan rakyat pada waktu itu sangatlah minim (kita bisa melihat dari tulisan dan pidato-pidato Bung Karno yang banyak menganalogikan kehidupan nyata dengan bahasa-bahasa di dalam dunia pewayangan). Inilah kemudian dinamakan sebagai suatu pencarian ke dalam, yang harus kita akui pada saat ini sangat sulit sekali menemukan tipe pemimpin yang demikian. 

Bung Karno dan Konsep Persatuan Bangsa Indonesia

Jika kita berbicara tentang persatuan tentunya akan sangat teringat kepada salah satu tulisan Bung Karno yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme di Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926. Tulisan inilah yang kemudian memiliki “tonjokan” besar bagi meleknya persatuan Indonesia era baru. Pada awalnya orang-orang banyak yang phobi terhadap ketiga aliran ini. Dengan kata lain jika ia termasuk kepada salah satu aliran maka ia akan merasa dua aliran yang lainnya sebagai faham yang bertentangan dan beda tujuan.
Tulisan Bung Karno tersebut secara ilmiah memang bisa dianggap sebagai tulisan yang kurang memenuhi kriteria secara keilmiahan, tetapi secara politis tulisan itu sangatlah memiliki arti yang besar dalam menandaskan kembali benih pondasi pemikiran suatu bangsa.
Pada intinya dalam tulisan ini Bung Karno ingin menyatukan bangsa Indonesia dan menghimpun kekuatannya untuk kemudian mengalihkannya untuk melawan kekuatan penjajah yang sudah mengakar. Dalam tulisannya ini Bung Karno menyebutkan bahwa Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme adalah azas-azas yang diperlukan oleh pergerakan rakyat di seluruh Asia (rohnya pergerakan di Asia). Dengan demikian menurut Bung Karno bahwa ketiga azas tersebut memiliki persamaan yang sangat mendasar sebagai sama-sama azas yang menghendaki terciptanya masyarakat yang merdeka.
Maka kemudian Bung Karno mengarahkan logika berfikir kepada suatu hubungan emosional yang menyebutkan bahwa pada hakikatnya, apapun azas perjuangannya, tetapi harus diingat bahwa orang-orang yang menggerakkan azas tersebut berasal dari tempat yang sama, nasib yang sama, dan sejarah yang sama sebagai orang-orang yang terbelenggu oleh pihak luar. Oleh karena itulah menurut Bung Karno ketiga kekuatan besar itu seharusnya bersatu untuk bersama-sama membuat jembatan emas menuju kemerdekaan bangsa Indonesia.
Persatuan menurut Bung Karno sangat diperlukan untuk syarat melawan para penjajah. Persatuan yang dimaksud oleh Bung Karno ini bukan hanya sebatas persatuan antara kelompok Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang ada di Indonesia saja. Tetapi persatuan itu haruslah diperbesar skalanya menjadi yang lebih luas dengan tujuan agar kekuatan itu semakin besar dan masiv. Berdasarkan pemikiran inilah Bung Karno dalam tulisannya yang berjudul “Indonesianisme dan Pan-Asiatisme” menyebutkan bahwa kemenangan rakyat Mesir, Tiongkok atau India di atas imperialisme Inggris sebagai kemenangan rakyat Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa konsep persatuan yang ada di dalam pandangannya Bung Karno tidak hanya berkutat di dalam ideologinya saja dan tidak hanya berkutat di dalam negeri saja, tetapi bahkan sudah berbicara dalam konteks lintas wilayah dan negara dalam rangka menciptakan ketertiban dunia dan solidaritas diantara negara-negara yang sedang terjajah pada waktu itu.  

Bung Karno dan Pancasila

Bung Karno adalah tipe pemimpin dunia yang unik karena dia memiliki dua ideologi sekaligus di semasa hidupnya. Ideologi tersebut diantaranya adalah Pancasila dan Marhenisme. Marhaenisme adalah sebuah konsep sosialisme (banyak yang memplesetkan Marhaen ini singkatan dari Marx, Hegel, dan Engels) yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Ciri khas dari Marhaenisme ini adalah tentang fakta bahwa rakyat kecil di Indonesia masih memiliki modal dan peralatan sendiri (walaupun terbatas) dalam aktifitas sehari-harinya.
Hal yang lebih menarik adalah mengenai Pancasila. Peristiwa yang terkenal dari Pancasila adalah pada tanggal 1 Juni 1945, yaitu pidato Bung Karno di depan Dokuritsu Zyuby Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian terkenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Lima poin butir Pancasila yang disebutkan Bung Karno pada waktu itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat, “Lahirnya Pancasila” ini adalah buah “steno-grafisch verslag” dari pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dahulu (voor de vuist) sebagai penjelmaan daripada angan-angannya.
Kelima poin Pancasila yang disebutkan oleh Bung Karno itu kemudian dirumuskan kembali oleh Panitia Kecil yang berjumlah sembilan orang (Ir. Sukarno, Muhammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim, Mr. Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin. Hasil dari panitia Sembilan itu adalah kelima susunan Pancasila yang tertuang di dalam pembukaan UUD’45 sekarang.
Berikut adalah beberapa pernyaan Bung Karno mengenai Pancasila yang diambil dari beberapa teks pidatonya:
“Pancasila adalah penjelmaan kepribadian bangsa Indonesia dan jika pancasila itu “diperas” menjadilah ia tri sila: ketuhanan, sosionasionalisme, sosiodemokrasi. Dan jika tri sila ini diperas lagi, menjadi ia eka sila, yaitu gotong royong. Kekeluargaan yang tidak statis seperti kekeluargaan saja, tetapi gotong royong yang dinamis, gotong royong yang berkarya hacancut taliwanda, gotong royong ‘ho-lopis-kuntul-baris’(bekerja dengan gotong royong)”.1
“Pancasila adalah satu dasar yang universal, satu dasar yang dapat dipakai oleh semua bangsa satu dasar yang dapat menjamin kesejahteraan dunia, perdamaian dunia, persaudaraan dunia”.2
 Menanggapi poin-poin yang berada dalam butir Pancasila, banyak orang yang bertanya kepada Bung Karno tentang darimana ide pemikiran Bung Karno sehingga mampu menghasilkan konsep Pancasila. Menaggapi pertanyaan tersebut Bung Karno menjawab bahwa dalam proses menghasilkan konsep Pancasila dirinya hanya menggali nilai-nilai yang selama ini berada di dalam bumi nusantara.
Menanggapi butir-butir Pancasila ini penulis dengan membaca buku asli tulisan-tulisan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi I dan Di Bawah Bendera Revolusi II memiliki sebuah opini bahwa pernyataan Bung Karno mengenai butir-butir Pancasila yang menurutnya hasil dari penggalian nilai-nilai yang berada di dalam bumi pertiwi itu sangat benar adanya. Bila kita baca kedua buku tersebut secara seksama maka kita akan menemukan bahwa di setiap tulisan bung Karno tersebut selalu memiliki ruh yang sejalan dengan kelima butir Pancasila. Selain itu juga dalam merumuskan Pancasila ini Bung Karno yang sebagai pemikir dan pemimpin yang memiliki jenis pemikiran hybrid mampu membaca dan merangkum dari keadaan sosial yang sedang berkembang pada waktu itu secara lengkap dan tanpa perdebatan hanya dengan lima butir yang disebut dengan Pancasila. Sehingga kemudian Pancasila tersebut mampu menjadi sebuah perekat bathin atau perekat cita-cita seluruh bangsa Indonesia dalam mencapai bangsa Indonesia yang sentausa jiwanya dan sentausa raganya. 

Bung Karno dan Masa Depan Pembangunan Bangsa Indonesia

Indonesia Sebagai Negara Kaya Sumber Daya Alam (SDA)
Salah satu modal yang sangat penting dari bangsa Indonesia adalah dari sumber daya alamnya. Hal ini dapat ditelaah dari sebutan-sebutan terhadap Negara Indonesia ini yang mencerminkan tentang kekayaan sumber daya alamnya. Beberapa istilah itu diantaranya adalah Jawa Dwipa yang disebabkan karena kita merupakan lumbung pangan bagi negara lain. Selanjutnya adalah Survana Dwipa yang disebabkan karena kekayaan emasnya yang melimpah melalui pertambangannya.
Dilihat dari potensi sumber daya alamnya yang baik, ditambah lagi dengan fakta bahwa Indonesia termasuk negara agraris yang penduduknya pada waktu itu sekitar 70%-80% terdiri dari petani. Maka menurut Bung Karno hal ini akan terlihat janggal jikalau di setelah di zaman kemerdekaannya ini masih juga tergantung dari luar negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan makan rakyatnya.
Jikalau kita mengevaluasi kenyataan bahwa ternyata sampai saat ini negara Indonesia masih tergantung kepada pihak luar dalam hal pemenuhan kebutuhan rakyatnya, maka hal ini akan menjadi sebuah ironi bahwa negara ini masih tak jauh bedanya seperti pada zaman awal-awal kemerdekaan. Dengan kata lain bahwa pembangunan Negara Indonesia ini dirasa sangat lambat.
Entah apa yang menyebabkan lambatnya pembangunan di Indonesia. Tetapi disini Bung Karno sedikit memberikan analisis pemikirannya.

Indonesia dan Kehidupan Ketatanegaraannya

Salah satu hal yang menjadi penghambat tidak optimalnya pembangunan bangsa Indonesia adalah terletak pada kekurangberesan tata kelola negaranya. Hal inilah yang menyebabkan pula cita-cita demokrasi sosial (demokrasi politik dan demokrasi ekonomi) sepertinya hanyalah sebuah cita-cita belaka yang sulit untuk diwujudkan.
Menurut Bung Karno, untuk membangun kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang baik maka diperlukanlah sebuah persatuan dan kerjasama yang baik antara rakyat dengan rakyat, kerjasama yang baik antara rakyat dengan alat pemerintah, dan kerjasama yang baik antar instansi-instansi pemerintah dan swasta. Selanjutnya menurut Bung Karno bahwa persatuan dan kerjasama itu harus didasari oleh kesadaran bahwa menjunjung tinggi dan memperkuat negara adalah sebuah keharusan bagi setiap warga negaranya. Karena menurut Bung Karno, bahwa dengan negara itulah kita mengerahkan dan mengkoordinir semua tenaga laksana satu mesin maha raksasa yang berjiwa Pancasila.    
Mengingat pentingnya peran persatuan dan kerjasama tersebut maka hal ini menjadi sebuah tugas dari pemerintah untuk mengatur dan mengondisikannya dengan baik. Pemerintahlah disini yang dianggap memiliki peran sentral dalam pembentukan persatuan dan kerjasama tersebut. Oleh karena itulah maka menurut Bung Karno disini dibutuhkan peran dari pemerintah yang netral. Karena menurutnya bahwa pemerintah bukanlah pengurus golongan, bukan pula pengurus partai, tetapi mereka adalah pengurus negara, kekuasaan negara, dan mereka harus tahu dan dapat bersikap dan bertindak sebagai kekuasaan negara.

Peran Kaum Intelektual dan Kaum Muda di Era Pembangunan 

Berdasarkan sumber dari Wikipedia, Intelektual ialah orang yang menggunakan inteleknya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagak, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai idea. Secara umunya terdapat tiga makna moden untuk istilah "intelektual", yaitu:
1.        mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku;
2.        mereka yang mempunyai kepakaran dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk berbicara mengenai masalah-masalah lain di khalayak ramai. Golongan ini dikenal sebagai "intelektual kebudayaan".
3.        dari segi Marxisme, intelektual adalah mereka yang tergolong dalam kelas pensyarah, guru, prmbicara, wartawan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, intelektual sering dikaitkan dengan mereka yang lulus dari universitas. Tetapi menurut Sharif Shaary, dramatis Malaysia yang terkenal,  mengatakan bahwa pada hakikatnya tidak semudah untuk seseorang menjadi intelektual. Menurutnya definisi dari seorang intelektual adalah sebagai berikut:
"Belajar di universiti bukan jaminan seseorang boleh menjadi intelektual... seorang intelektual itu adalah seorang pemikir yang sentiasa berfikir dan mengembangkan [serta] menyumbangkan idenya untuk kesejahteraan masyarakat. Dia juga adalah seorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman fikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana dia hadir khususnya dan di peringkat global umumnya untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran tersebut. Lebih daripada itu, seorang intelektual juga adalah seorang yang kenal akan kebenaran dan berani pula memperjuangkan kebenaran itu, meski bagaimanapun tekanan dan ancaman yang dihadapinya, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat." (www.wikipedia.org)
Secara harfiah, kamus Websters, Princeton dalam Asmara (2009) kaum muda atau pemuda adalah the time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person. Lebih lanjut menurut Asmara, berdasarkan definisi tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Di dalam masyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial. Kedudukannya yang strategis sebagai penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya.
Berdasarkan definisi kaum intelektual dan kaum muda di atas maka Bung Karno memandang pentingnya kedua golongan tersebut untuk begerak. Bahkan Bung Karno menyebut kedua golongan ini sebagai motor dan pengarah geraknya rakyat.3
Berikut adalah seruan Bung Karno terhadap kaum muda yang pada intinya menghimbau untuk bergerak lebih demi bangsa dan negaranya.
“Wahai pemuda-pemudi, sudahkah engkau berasa berfikir bertindak sedemikian rupa, sehingga engkau merasakan dirimu itu seolah-olah hidup dalam obsesi, merasakan dirimu itu alat-alat sejarah, alat-alat yang berjiwa, yang dengannya sejarah itu menggempur kekolotan dan ketama’an, menggempur perbudakan dan penjajahan menggembleng dunia baru buat bangsamu sendiri dan dunia baru buat sekalian bangsa? Sudahkah engkau semua pemuda-pemudi Indonesia tidak mengutamakan pelesiran lagi.” 4
Khusus menyikapi potensi yang dimiliki oleh kaum muda dalam pengembangan dan pembangunan bangsa, Bung Karno dalam salah satu pidatonya mengeritik perilaku kaum muda yang berjejal di Pulau Jawa yang menurutnya sudah padat dan penat. Bung karno menghimbau kepada kaum muda yang sudah selesai studi di kota-kota untuk kembali ke daerah-daerah guna membangun pengembangan daerah tersebut. Karena menurut Bung Karno justru daerah-daerah itulah yang lebih memerlukan tenaga, fikiran,dan kepemimpinan mereka.       
“Kepada pemuda aku bertanya: kenapa kamu, harapan-harapan bangsa dan potensi-potensi bangsa, semua bertumpuk tundung berjejal-jejal menetap di pulau jawa ini, di Pulau Jawa yang sudah padat penat ini? Mengapa kamu yang sudah menyelesaikan pelajaran di kota-kota, tidak menyebarkan diri ke daerah-daerah yang masih perawan, yang lebih memerlukan tenagamu, fikiranmu, pimpinanmu?”5
Berdasarkan pemikiran itulah mungkin jika kita interpretasi lebih jauh maka tujuan dari Bung Karno adalah untuk menciptakan pembangunan yang merata di daerah-daerah. Konsep pembangunan merata ini menurut Bung Karno adalah dengan memunculkan keunggulan komparatif ekonomi dari setiap daerah. Sehingga setiap daerah memiliki daya saing ekonomi yang baik dan pada akhirnya akan mengurangi ketergantungannya terhadap center city yang dalam hal ini adalah Jakarta.
Oleh karena itulah dipandang sangat perlu peran sosok agen sosial sebagai mesin penggerak pembangunan nasiona dalam rangka pengembangan konsep keunggulan komparatif ini. Dalam hal inilah maka Bung Karno memandang perlunya peningkatan peran dari kalangan intelektual dan pemuda dalam rangka mencapai cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan masyarakat Indonesia seluruhnya.     

Peran Gerakan Moral di Era Pembangunan

Setelah berbicara mengenai peran kaum intelektual dan kaum muda dalam pembangunan nasional maka selanjutnya Bung Karno berbicara tentang gerakan moral atau cara bersikap rakyat Indonesia pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini dalam sebuah pidatonya Bung Karno pernah memaparkan konsep sebuah gerakan yang ia namakan sebagai Gerakan Hidup Baru. Tujuan dari Gerakan Hidup Baru itu menurutnya adalah untuk melaksanakan revolusi mental sebagai persiapan membangun masyarakat yang dicita-citakan oleh proklamasi 17 Agustus 1945. Selanjutnya beliau memaparkan poin-poin dari  revolusi mental tersebut yang diantaranya adalah: a) perombakan cara berfikir, cara kerja, cara hidup, yang menghambat kemajuan, dan b) peningkatan dan pembangunan cara berfikir, cara kerja, cara hidup yang baik.
Gerakan moral yang dinamakan Bung Karno sebagai Gerakan Hidup Baru ini dipandang perlu untuk dijadikan sebagai sebuah “bahan bakar” bagi bergeraknya mesin sosial yang dalam hal ini adalah kaum intelektual dan kaum muda. Pada intinya bahwa Bung Karno ingin mengatakan bahwa adanya kaum intelektual saja atau kaum muda saja di tengah masyarakat adalah tidak ada artinya tanpa disertai dengan karya nyata dan gerak langkah yang konkrit.
Perlunya gerakan moral Gerakan Hidup Baru ini didasari oleh pemahaman Bung Karno bahwa yang membuat suatu bangsa bertumbuh dan menjadi besar ialah disebabkan oleh usaha, keringat, dinamika, kerja keras, perjuangan, aktivitas yang kreatif, inventif, dan vital.
Gerakan moral Gerakan Hidup Baru ini dipandang perlu oleh Bung Karno sebagai cara untuk membangun sumber daya manusia (SDM) saat ini yang kompetitif. Menurut Bung Karno, kita yang hidup pada zaman sekaranglah yang memiliki tanggung jawab besar bagi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kini dan masa depan. Karena menurut Bung Karno bahwa kebesaran dan kebahagiaan manusia di zaman ini tidak lagi di ditentukan oleh tangan leluhurnya yang telah mangkat, sebaliknya kebesaran dan kebahagiaan kita di zaman ini adalah di tangan kita sendiri yang terus berjuang.

Peran Sikap, Jati Diri, dan Kepercayaan Diri di Era Pembangunan 

Secara hakiki terdapat tiga nilai inti pembangunan, diantaranya adalah (1) kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mencakup sandang, papan, kesehatan, dan keamanan, (2) jati diri dalam rangka mewujudkan manusia seutuhnya yang didorong oleh dorongan yang bersumber dari diri sendiri untuk maju dan tanpa merasa rendah, dan (3) kebebasan dari sikap menghamba atau kemampuan untuk memilih dan berani berkata obyektif.
Mengenai poin yang pertama, jawabannya sudah dijelaskan pada bagian terdahulu, yang pada intinya adalah dengan pengembangan sektor agraris sehingga harapannya tercipta swasembada pangan nasional.
Pada bagian ini penulis ingin menyoroti masalah poin dua dan poin tiga, yaitu mengenai jati diri dan kebebasan dari sikap menghamba. Kedua poin ini penulis anggap sebagai suatu hal yang sangat penting perannya dalam melengkapi peran aktor intelektual dan kaum muda beserta peran gerakan moralnya dalam pemikiran Bung Karno.    
Berdasarkan kedua poin tersebut maka saya ingin mengingatkan kembali semboyan Bung Karno yang terkenal dengan berdikari sebagai kepanjangan dari kalimat berdiri di atas kaki sendiri. Semboyan inilah yang menurut penulis sangat besar artinya dalam membentuk moral mandiri bangsa Indonesia. Hal tersebut merupakan cerminan dari pemikiran Bung Karno yang memiliki kepercayaan diri kuat dan usahanya untuk bebas daripada upaya-upaya bangsa asing yang selalu menginginkan sikap Indonesia yang menghamba.
Bung Karno adalah orang yang sangat faham mengenai pentingnya permasalahan identitas dan jati diri sebagai sebuah bangsa. Ia adalah orang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal dan sangat mengharapkan budaya lokal ini dapat berkembang dengan baik dan menjadi kebanggaan para warganya. Meskipun rasa cintanya kepada kebudayaan lokal sangat dalam tapi tidak lantas membuat Bung Karno membuang setiap kebudayaan yang berasal dari luar. Dalam hal ini Bung Karno seperti biasanya tetap memiliki pandangan yang modern dan jauh ke depan, beliau berpendapat bahwa kebudayaan bukan hanya cinta kepada kemerdekaan sendiri dan kepada harga diri sendiri, tetapi juga menghormati milik, fikiran, perasaan, dan jiwa orang lain.
Pemahaman budaya yang akan berujung pada pemahaman akan jati diri yang diambil dari jati diri bangsa ini dipandang perlu dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia Indonesia yang hidup di dalam bathin bangsanya sendiri yang sealu mencari kepeloporan mental dan konsep konsep melalui nilai-nilai bangsanya sendiri.
Merangkum dari segala pemikiran pada bagian ini penulis ingat apa yang telah dikatakan Bung Karno yang menyeru kepada seluruh bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar dengan tidak menjadi bangsa penjiplak “jadilah bangsa yang besar dan tidak menjiplak. Jadilah mercusuar yang gemilang bersinar sendiri.” Kalimat itulah yang kemudian penulis pandang sebagai solusi dari semua krisis yang sedang menimpa bumi pertiwi ini.

Penutup

Satu hal yang sepertinya harus direnungkan oleh kita semua pada zaman sekarang yaitu mengenai sikap optimis dan mimpi seorang Soekarno yang sangat menghujam jauh ke depan mengenai kejayaan dan kemakmuran rakyat Indonesia pada umumnya. Padahal seperti kita ketahui bahwa pada saat perjuangan waktu itu hal apapun bisa saja terjadi yang pada akhirnya tidak mustahil bangsa ini akan hilang sama-sekali keberaniannya untuk membebaskan diri dari kaum penjajah.
Disinilah penulis sangat mengapresiasi sikap kepercayaan diri beliau untuk terus bermimpi dan berbuat sesuatu yang besar bagi bangsa ini. Jika Bung Karno saja masih bisa memikirkan konsep-konsep kenegaraan di saat negara ini terjajah maka seharunya kita yang hidup di zaman kemerdekaan minimal bisa mengamalkan segala buah pemikirannya yang dipandang masih relevan untuk diaplikasikan.
            Sebagai akhir dari tulisan ini penulis mencoba untuk memahami pemikiran Bung Karno secara keseluruhan melalui sebuah kalimat dalam salah satu pidatonya yang berbunyi “If you try to do great things, the shadow of their greatness partly falls upon you also.” (jika engkau mencoba membuat sesuatu yang besar, maka bayangkan kebesarannya sebagian jatuh kepadamu juga). Pernyataan inilah yang kemudian penulis anggap sebagai pesan dari Bung Karno kepada seluruh komponen bangsa Indonesia untuk tetap bekerja secara continue bagi negaranya.

1 komentar: