Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Pengantar
Suka
atau tidak suka Bung Karno adalah seorang tokoh yang sangat berjasa bagi awal
mula benih terbentuknya Negara Indonesia. Meskipun memang kita tidak bisa
berandai-andai jika seandainya Bung Karno tidak pernah ada. Nyatanya memang
Bung Karno pernah ada di bumi pertiwi ini. Rasanya jasa Bung Karno itu kini
sampai pada kita juga yang membaca artikel ini. Rasa kebebasan hidup sebagai
sebuah bangsa dan bebas dari rasa ketakutan untuk memenuhi hak-hak kita. Bung
Karnolah dulu sebagai salah satu orang yang meletakkan batu janji kemerdekaan jauh
di depan perjalanan sejarah bangsa ini. Batu janji kemerdekaan itulah yang
sekarang sedang kita tuju bersama-sama melalui sebuah kendaraan yang bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah
Bangsa ini menyebutkan bahwa perjalanan hidup sosok Bung karno ini memang banyak menuai pro dan kontra. Jangankan Bung Karno, malah seorang utusan tuhanpun ada
saja pro dan kontranya. Karena hidup ini pada hakikatnya adalah sebuah perang
antara yang pro dan kontra.
Tulisan
saya disini tidak ingin membahas tentang pro
dan kontranya. Saya tidak ingin memihak
kepada salah satu diantaranya. Yang saya harapkan disini hanyalah mengajak para
pembaca untuk lebih bersikap bijak dan tidak merasa phobi dalam membicarakan siapapun tokoh bangsa ini. Siapapun dia,
yang terpenting adalah ia telah memberikan sumbangan terhadap keberlangsungan
bangsa ini. Adapun kesalahan yang telah mereka perbuat biarkanlah hukum yang
menyelesaikan. Jikapun hukum dunia tidak mendapat, hukum Tuhan sudah pasti
mereka mendapatkannya. Kita hanyalah bertugas untuk mengambil pelajaran atas
apa yang telah mereka perbuat serta memperbaiki yang luput dari jangkauan
mereka. Jangan lantas karena kita hanya terpaku pada kesalahan-kesalahan
tersebut lalu kemudian kita lupa dengan mutiara yang pernah mereka sumbangkan.
Garis Besar Perjalanan Hidup Bung Karno
Garis Besar Perjalanan Hidup Bung Karno
Presiden pertama Republik Indonesia,
Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni
1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai
tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak
Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai
Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang
bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya
beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat,
beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS
(Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng
jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan
melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang
sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan
ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli
1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke
penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru
disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau
menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda
makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada
tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya.
Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun
1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang
cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada
17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan
gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus
1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno
terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil
merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno
berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi
Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI
melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas
pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat
Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia
meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan
di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah
menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.
(kepustakaan-presiden.pnri.go.id)
Wayang Sebagai Asal Mula Pembentukan
Karakter Bung Karno
Hidup
dalam kultur Jawa pada awal tahun 90an merupakan modal yang sangat besar bagi
pembentukan karakter Bung Karno. Jiwa nasionalismenya semakin terasah tatkala
ia besekolah dengan anak dari kaum penjajah. Bung Karno yang pada dasarnya
memiliki watak pemberani kadang berkelahi dengan anak-anak kaum penjajah demi
menunjukkan bahwa kaum pribumipun memiliki hak yang sama dalam memenuhi hak-hak
kebebasannya.
Tontonan
yang sangat diminati oleh Soekarno kecil adalah kesenian wayang. Tontonan
rakyat yang biasanya disajikan semalaman suntuk itu dikemudian hari telah
mempengaruhi pemikiran bawah sadar Bung Karno. Sehingga kemudian ia mengagumi
tokoh Bima.
Dalam
kisah pewayangan tokoh Bima merupakan symbol
dari manusia kuat dalam hal fisik. Senjata yang terkenal dari bima adalah kuku pancanaka. Bima merupakan putra kedua
dari pandawa (anaknya pandu) setelah Yudhistira. Tokoh Bima menyimbolkan
seorang manusia yang karena kekuatannya ia bebas untuk melakukan berbagai hal.
Tokoh jagoan inilah yang kemudian diidolakan Bung Karno, dan mungkin dikemudian
hari menjadi inspirasi bagi Bung Karno tentang impian masyarakat Indonesia yang
memiliki kekuatan seperti Bima yang bukan saja memiliki kesehatan fisik mumpuni
tetapi juga memiliki karakter lurus sehingga acapkali Bima menjadi penolong
bagi saudara-saudaranya yang lain. Selain itu pula Bung Karno mengharapkan
bahwa dari rakyat Indonesia yang sebagai Bima itulah akan tercipta suatu
generasi yang seperti anaknya Bima, yaitu Gatot Gaca yang memiliki otot kawat
dan tulang besi, serta mampu terbang membelah angkasa demi melindungi rakyat
Pringgandani dari serangan yang berasal dari luar.
Saya
tidak ingin mengatakan bahwa di seluruh kehidupan Bung Karno terkena pengaruh
wayang dan ia hidup dengan mengidentikkan diri dan lingkungannya sebagai dunia
wayang. Tetapi disini saya ingin menggarisbawahi bahwa Bung Karno telah
berhasil menangkap peluang perjuangannya tersebut melalui penyatuan antara
semangat perjuangan dengan bathin rakyat. Yaitu menangkap dan menganalogikan
sebuah pemikiran perjuangan dengan bahasa yang dimengerti rakyatnya, padahal
seperti kita ketahui bahwa keadaan pendidikan rakyat pada waktu itu sangatlah
minim (kita bisa melihat dari tulisan dan pidato-pidato Bung Karno yang banyak
menganalogikan kehidupan nyata dengan bahasa-bahasa di dalam dunia pewayangan).
Inilah kemudian dinamakan sebagai suatu pencarian ke dalam, yang harus kita
akui pada saat ini sangat sulit sekali menemukan tipe pemimpin yang demikian.
Bung Karno dan Konsep Persatuan
Bangsa Indonesia
Jika
kita berbicara tentang persatuan tentunya akan sangat teringat kepada salah
satu tulisan Bung Karno yang berjudul Nasionalisme,
Islamisme, Marxisme di Suluh
Indonesia Muda pada tahun 1926. Tulisan inilah yang kemudian memiliki “tonjokan”
besar bagi meleknya persatuan Indonesia era baru. Pada awalnya orang-orang
banyak yang phobi terhadap ketiga
aliran ini. Dengan kata lain jika ia termasuk kepada salah satu aliran maka ia
akan merasa dua aliran yang lainnya sebagai faham yang bertentangan dan beda
tujuan.
Tulisan
Bung Karno tersebut secara ilmiah memang bisa dianggap sebagai tulisan yang
kurang memenuhi kriteria secara keilmiahan, tetapi secara politis tulisan itu
sangatlah memiliki arti yang besar dalam menandaskan kembali benih pondasi
pemikiran suatu bangsa.
Pada
intinya dalam tulisan ini Bung Karno ingin menyatukan bangsa Indonesia dan
menghimpun kekuatannya untuk kemudian mengalihkannya untuk melawan kekuatan
penjajah yang sudah mengakar. Dalam tulisannya ini Bung Karno menyebutkan bahwa
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme adalah azas-azas yang diperlukan oleh
pergerakan rakyat di seluruh Asia (rohnya pergerakan di Asia). Dengan demikian
menurut Bung Karno bahwa ketiga azas tersebut memiliki persamaan yang sangat
mendasar sebagai sama-sama azas yang menghendaki terciptanya masyarakat yang
merdeka.
Maka
kemudian Bung Karno mengarahkan logika berfikir kepada suatu hubungan emosional
yang menyebutkan bahwa pada hakikatnya, apapun azas perjuangannya, tetapi harus
diingat bahwa orang-orang yang menggerakkan azas tersebut berasal dari tempat
yang sama, nasib yang sama, dan sejarah yang sama sebagai orang-orang yang
terbelenggu oleh pihak luar. Oleh karena itulah menurut Bung Karno ketiga
kekuatan besar itu seharusnya bersatu untuk bersama-sama membuat jembatan emas
menuju kemerdekaan bangsa Indonesia.
Persatuan
menurut Bung Karno sangat diperlukan untuk syarat melawan para penjajah.
Persatuan yang dimaksud oleh Bung Karno ini bukan hanya sebatas persatuan
antara kelompok Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang ada di Indonesia
saja. Tetapi persatuan itu haruslah diperbesar skalanya menjadi yang lebih luas
dengan tujuan agar kekuatan itu semakin besar dan masiv. Berdasarkan pemikiran
inilah Bung Karno dalam tulisannya yang berjudul “Indonesianisme dan
Pan-Asiatisme” menyebutkan bahwa kemenangan rakyat Mesir, Tiongkok atau India
di atas imperialisme Inggris sebagai kemenangan rakyat Indonesia. Dengan
demikian jelaslah bahwa konsep persatuan yang ada di dalam pandangannya Bung
Karno tidak hanya berkutat di dalam ideologinya saja dan tidak hanya berkutat
di dalam negeri saja, tetapi bahkan sudah berbicara dalam konteks lintas
wilayah dan negara dalam rangka menciptakan ketertiban dunia dan solidaritas
diantara negara-negara yang sedang terjajah pada waktu itu.
Bung Karno dan Pancasila
Bung
Karno adalah tipe pemimpin dunia yang unik karena dia memiliki dua ideologi
sekaligus di semasa hidupnya. Ideologi tersebut diantaranya adalah Pancasila
dan Marhenisme. Marhaenisme adalah sebuah konsep sosialisme (banyak yang
memplesetkan Marhaen ini singkatan dari Marx, Hegel, dan Engels) yang
disesuaikan dengan konteks Indonesia. Ciri khas dari Marhaenisme ini adalah
tentang fakta bahwa rakyat kecil di Indonesia masih memiliki modal dan
peralatan sendiri (walaupun terbatas) dalam aktifitas sehari-harinya.
Hal
yang lebih menarik adalah mengenai Pancasila. Peristiwa yang terkenal dari
Pancasila adalah pada tanggal 1 Juni 1945, yaitu pidato Bung Karno di depan Dokuritsu Zyuby Tyoosakai (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang
kemudian terkenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Lima poin butir Pancasila
yang disebutkan Bung Karno pada waktu itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2)
Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4)
Kesejahteraan sosial, dan (5) Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat, “Lahirnya
Pancasila” ini adalah buah “steno-grafisch
verslag” dari pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dahulu
(voor de vuist) sebagai penjelmaan
daripada angan-angannya.
Kelima
poin Pancasila yang disebutkan oleh Bung Karno itu kemudian dirumuskan kembali
oleh Panitia Kecil yang berjumlah sembilan orang (Ir. Sukarno, Muhammad Hatta,
Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim, Mr.
Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin. Hasil dari panitia
Sembilan itu adalah kelima susunan Pancasila yang tertuang di dalam pembukaan
UUD’45 sekarang.
Berikut
adalah beberapa pernyaan Bung Karno mengenai Pancasila yang diambil dari
beberapa teks pidatonya:
“Pancasila adalah penjelmaan kepribadian bangsa
Indonesia dan jika pancasila itu “diperas” menjadilah ia tri sila: ketuhanan,
sosionasionalisme, sosiodemokrasi. Dan jika tri sila ini diperas lagi, menjadi
ia eka sila, yaitu gotong royong. Kekeluargaan yang tidak statis seperti
kekeluargaan saja, tetapi gotong royong yang dinamis, gotong royong yang
berkarya hacancut taliwanda, gotong royong ‘ho-lopis-kuntul-baris’(bekerja
dengan gotong royong)”.1
“Pancasila adalah satu dasar yang universal, satu
dasar yang dapat dipakai oleh semua bangsa satu dasar yang dapat menjamin
kesejahteraan dunia, perdamaian dunia, persaudaraan dunia”.2
Menanggapi
poin-poin yang berada dalam butir Pancasila, banyak orang yang bertanya kepada
Bung Karno tentang darimana ide pemikiran Bung Karno sehingga mampu
menghasilkan konsep Pancasila. Menaggapi pertanyaan tersebut Bung Karno
menjawab bahwa dalam proses menghasilkan konsep Pancasila dirinya hanya
menggali nilai-nilai yang selama ini berada di dalam bumi nusantara.
Menanggapi
butir-butir Pancasila ini penulis dengan membaca buku asli tulisan-tulisan Bung
Karno dalam buku Di Bawah Bendera
Revolusi I dan Di Bawah Bendera
Revolusi II memiliki sebuah opini bahwa pernyataan Bung Karno mengenai
butir-butir Pancasila yang menurutnya hasil dari penggalian nilai-nilai yang
berada di dalam bumi pertiwi itu sangat benar adanya. Bila kita baca kedua buku
tersebut secara seksama maka kita akan menemukan bahwa di setiap tulisan bung
Karno tersebut selalu memiliki ruh yang sejalan dengan kelima butir Pancasila. Selain
itu juga dalam merumuskan Pancasila ini Bung Karno yang sebagai pemikir dan
pemimpin yang memiliki jenis pemikiran hybrid
mampu membaca dan merangkum dari keadaan sosial yang sedang berkembang pada
waktu itu secara lengkap dan tanpa perdebatan hanya dengan lima butir yang
disebut dengan Pancasila. Sehingga kemudian Pancasila tersebut mampu menjadi
sebuah perekat bathin atau perekat cita-cita seluruh bangsa Indonesia dalam
mencapai bangsa Indonesia yang sentausa jiwanya dan sentausa raganya.
Bung
Karno dan Masa Depan Pembangunan Bangsa Indonesia
Indonesia
Sebagai Negara Kaya Sumber Daya Alam (SDA)
Salah
satu modal yang sangat penting dari bangsa Indonesia adalah dari sumber daya
alamnya. Hal ini dapat ditelaah dari sebutan-sebutan terhadap Negara Indonesia
ini yang mencerminkan tentang kekayaan sumber daya alamnya. Beberapa istilah
itu diantaranya adalah Jawa Dwipa yang
disebabkan karena kita merupakan lumbung pangan bagi negara lain. Selanjutnya
adalah Survana Dwipa yang disebabkan
karena kekayaan emasnya yang melimpah melalui pertambangannya.
Dilihat
dari potensi sumber daya alamnya yang baik, ditambah lagi dengan fakta bahwa
Indonesia termasuk negara agraris yang penduduknya pada waktu itu sekitar
70%-80% terdiri dari petani. Maka menurut Bung Karno hal ini akan terlihat
janggal jikalau di setelah di zaman kemerdekaannya ini masih juga tergantung
dari luar negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan makan rakyatnya.
Jikalau
kita mengevaluasi kenyataan bahwa ternyata sampai saat ini negara Indonesia
masih tergantung kepada pihak luar dalam hal pemenuhan kebutuhan rakyatnya,
maka hal ini akan menjadi sebuah ironi bahwa negara ini masih tak jauh bedanya
seperti pada zaman awal-awal kemerdekaan. Dengan kata lain bahwa pembangunan Negara
Indonesia ini dirasa sangat lambat.
Entah
apa yang menyebabkan lambatnya pembangunan di Indonesia. Tetapi disini Bung
Karno sedikit memberikan analisis pemikirannya.
Indonesia dan Kehidupan
Ketatanegaraannya
Salah
satu hal yang menjadi penghambat tidak optimalnya pembangunan bangsa Indonesia
adalah terletak pada kekurangberesan tata kelola negaranya. Hal inilah yang
menyebabkan pula cita-cita demokrasi sosial (demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi) sepertinya hanyalah sebuah cita-cita belaka yang sulit untuk
diwujudkan.
Menurut
Bung Karno, untuk membangun kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang baik maka
diperlukanlah sebuah persatuan dan kerjasama yang baik antara rakyat dengan
rakyat, kerjasama yang baik antara rakyat dengan alat pemerintah, dan kerjasama
yang baik antar instansi-instansi pemerintah dan swasta. Selanjutnya menurut
Bung Karno bahwa persatuan dan kerjasama itu harus didasari oleh kesadaran
bahwa menjunjung tinggi dan memperkuat negara adalah sebuah keharusan bagi
setiap warga negaranya. Karena menurut Bung Karno, bahwa dengan negara itulah
kita mengerahkan dan mengkoordinir semua tenaga laksana satu mesin maha raksasa
yang berjiwa Pancasila.
Mengingat
pentingnya peran persatuan dan kerjasama tersebut maka hal ini menjadi sebuah
tugas dari pemerintah untuk mengatur dan mengondisikannya dengan baik.
Pemerintahlah disini yang dianggap memiliki peran sentral dalam pembentukan
persatuan dan kerjasama tersebut. Oleh karena itulah maka menurut Bung Karno
disini dibutuhkan peran dari pemerintah yang netral. Karena menurutnya bahwa pemerintah bukanlah pengurus golongan, bukan pula pengurus
partai, tetapi mereka adalah pengurus negara, kekuasaan negara, dan mereka harus
tahu dan dapat bersikap dan bertindak sebagai kekuasaan negara.
Peran Kaum
Intelektual dan Kaum Muda di Era Pembangunan
Berdasarkan
sumber dari Wikipedia, Intelektual
ialah orang yang menggunakan inteleknya untuk bekerja, belajar,
membayangkan, mengagak, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai idea. Secara umunya
terdapat tiga makna moden untuk istilah "intelektual", yaitu:
1.
mereka yang amat terlibat dalam ide-ide
dan buku-buku;
2.
mereka yang mempunyai kepakaran dalam budaya dan seni yang memberikan
mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu
untuk berbicara mengenai masalah-masalah lain di khalayak ramai. Golongan ini
dikenal sebagai "intelektual kebudayaan".
3.
dari segi Marxisme,
intelektual adalah mereka yang tergolong dalam kelas pensyarah, guru, prmbicara, wartawan,
dan sebagainya.
Oleh karena itu, intelektual
sering dikaitkan dengan mereka yang lulus dari universitas. Tetapi menurut Sharif Shaary, dramatis Malaysia
yang terkenal, mengatakan bahwa pada hakikatnya
tidak semudah untuk seseorang menjadi intelektual. Menurutnya definisi dari
seorang intelektual adalah sebagai berikut:
"Belajar
di universiti bukan jaminan seseorang boleh menjadi intelektual... seorang
intelektual itu adalah seorang pemikir yang sentiasa berfikir dan mengembangkan
[serta] menyumbangkan idenya untuk kesejahteraan masyarakat. Dia juga adalah
seorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman fikirannya untuk mengkaji,
menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama
masyarakat di mana dia hadir khususnya dan di peringkat global umumnya untuk
mencari kebenaran
dan menegakkan kebenaran tersebut. Lebih daripada itu, seorang intelektual juga
adalah seorang yang kenal akan kebenaran dan berani pula memperjuangkan
kebenaran itu, meski bagaimanapun tekanan dan ancaman yang dihadapinya,
terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
(www.wikipedia.org)
Secara harfiah, kamus Websters, Princeton dalam Asmara (2009)
kaum muda atau pemuda adalah the time of
life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young
or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a
young person. Lebih lanjut menurut Asmara, berdasarkan definisi tersebut
maka dapat diinterpretasikan bahwa pemuda adalah individu dengan karakter yang
dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi
yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Di
dalam masyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial. Kedudukannya
yang strategis sebagai penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber insani
bagi pembangunan bangsanya.
Berdasarkan definisi kaum intelektual
dan kaum muda di atas maka Bung Karno memandang pentingnya kedua golongan
tersebut untuk begerak. Bahkan Bung Karno menyebut kedua golongan ini sebagai
motor dan pengarah geraknya rakyat.3
Berikut adalah seruan Bung Karno
terhadap kaum muda yang pada intinya menghimbau untuk bergerak lebih demi
bangsa dan negaranya.
“Wahai pemuda-pemudi, sudahkah engkau berasa
berfikir bertindak sedemikian rupa, sehingga engkau merasakan dirimu itu
seolah-olah hidup dalam obsesi, merasakan dirimu itu alat-alat sejarah,
alat-alat yang berjiwa, yang dengannya sejarah itu menggempur kekolotan dan
ketama’an, menggempur perbudakan dan penjajahan menggembleng dunia baru buat
bangsamu sendiri dan dunia baru buat sekalian bangsa? Sudahkah engkau semua
pemuda-pemudi Indonesia tidak mengutamakan pelesiran lagi.” 4
Khusus menyikapi potensi yang dimiliki
oleh kaum muda dalam pengembangan dan pembangunan bangsa, Bung Karno dalam
salah satu pidatonya mengeritik perilaku kaum muda yang berjejal di Pulau Jawa
yang menurutnya sudah padat dan penat. Bung karno menghimbau kepada kaum muda
yang sudah selesai studi di kota-kota untuk kembali ke daerah-daerah guna
membangun pengembangan daerah tersebut. Karena menurut Bung Karno justru
daerah-daerah itulah yang lebih memerlukan tenaga, fikiran,dan kepemimpinan
mereka.
“Kepada pemuda aku bertanya: kenapa kamu,
harapan-harapan bangsa dan potensi-potensi bangsa, semua bertumpuk tundung
berjejal-jejal menetap di pulau jawa ini, di Pulau Jawa yang sudah padat penat
ini? Mengapa kamu yang sudah menyelesaikan pelajaran di kota-kota, tidak
menyebarkan diri ke daerah-daerah yang masih perawan, yang lebih memerlukan
tenagamu, fikiranmu, pimpinanmu?”5
Berdasarkan
pemikiran itulah mungkin jika kita interpretasi lebih jauh maka tujuan dari
Bung Karno adalah untuk menciptakan pembangunan yang merata di daerah-daerah.
Konsep pembangunan merata ini menurut Bung Karno adalah dengan memunculkan
keunggulan komparatif ekonomi dari setiap daerah. Sehingga setiap daerah
memiliki daya saing ekonomi yang baik dan pada akhirnya akan mengurangi
ketergantungannya terhadap center city
yang dalam hal ini adalah Jakarta.
Oleh karena itulah dipandang sangat
perlu peran sosok agen sosial sebagai mesin penggerak pembangunan nasiona dalam
rangka pengembangan konsep keunggulan komparatif ini. Dalam hal inilah maka
Bung Karno memandang perlunya peningkatan peran dari kalangan intelektual dan
pemuda dalam rangka mencapai cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan masyarakat
Indonesia seluruhnya.
Peran Gerakan
Moral di Era Pembangunan
Setelah
berbicara mengenai peran kaum intelektual dan kaum muda dalam pembangunan
nasional maka selanjutnya Bung Karno berbicara tentang gerakan moral atau cara
bersikap rakyat Indonesia pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal
ini dalam sebuah pidatonya Bung Karno pernah memaparkan konsep sebuah gerakan
yang ia namakan sebagai Gerakan Hidup Baru. Tujuan dari Gerakan Hidup Baru itu
menurutnya adalah untuk melaksanakan revolusi mental sebagai persiapan
membangun masyarakat yang dicita-citakan oleh proklamasi 17 Agustus 1945. Selanjutnya
beliau memaparkan poin-poin dari revolusi
mental tersebut yang diantaranya adalah: a) perombakan cara berfikir, cara kerja,
cara hidup, yang menghambat kemajuan, dan b) peningkatan dan pembangunan cara
berfikir, cara kerja, cara hidup yang baik.
Gerakan
moral yang dinamakan Bung Karno sebagai Gerakan Hidup Baru ini dipandang perlu
untuk dijadikan sebagai sebuah “bahan bakar” bagi bergeraknya mesin sosial yang
dalam hal ini adalah kaum intelektual dan kaum muda. Pada intinya bahwa Bung
Karno ingin mengatakan bahwa adanya kaum intelektual saja atau kaum muda saja
di tengah masyarakat adalah tidak ada artinya tanpa disertai dengan karya nyata
dan gerak langkah yang konkrit.
Perlunya
gerakan moral Gerakan Hidup Baru ini didasari oleh pemahaman Bung Karno bahwa yang
membuat suatu bangsa bertumbuh dan menjadi besar ialah disebabkan oleh usaha,
keringat, dinamika, kerja keras, perjuangan, aktivitas yang kreatif, inventif,
dan vital.
Gerakan
moral Gerakan Hidup Baru ini dipandang perlu oleh Bung Karno sebagai cara untuk
membangun sumber daya manusia (SDM) saat ini yang kompetitif. Menurut Bung
Karno, kita yang hidup pada zaman sekaranglah yang memiliki tanggung jawab
besar bagi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kini dan
masa depan. Karena menurut Bung Karno bahwa kebesaran dan kebahagiaan manusia
di zaman ini tidak lagi di ditentukan oleh tangan leluhurnya yang telah
mangkat, sebaliknya kebesaran dan kebahagiaan kita di zaman ini adalah di
tangan kita sendiri yang terus berjuang.
Peran Sikap, Jati Diri, dan
Kepercayaan Diri di Era Pembangunan
Secara hakiki terdapat tiga nilai inti
pembangunan, diantaranya adalah (1) kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar yang mencakup sandang, papan, kesehatan, dan keamanan, (2) jati
diri dalam rangka mewujudkan manusia seutuhnya yang didorong oleh dorongan yang
bersumber dari diri sendiri untuk maju dan tanpa merasa rendah, dan (3)
kebebasan dari sikap menghamba atau kemampuan untuk memilih dan berani berkata
obyektif.
Mengenai poin yang pertama, jawabannya
sudah dijelaskan pada bagian terdahulu, yang pada intinya adalah dengan
pengembangan sektor agraris sehingga harapannya tercipta swasembada pangan
nasional.
Pada bagian ini penulis ingin menyoroti
masalah poin dua dan poin tiga, yaitu mengenai jati diri dan kebebasan dari
sikap menghamba. Kedua poin ini penulis anggap sebagai suatu hal yang sangat
penting perannya dalam melengkapi peran aktor intelektual dan kaum muda beserta
peran gerakan moralnya dalam pemikiran Bung Karno.
Berdasarkan kedua poin tersebut maka
saya ingin mengingatkan kembali semboyan Bung Karno yang terkenal dengan berdikari
sebagai kepanjangan dari kalimat berdiri di atas kaki sendiri. Semboyan inilah
yang menurut penulis sangat besar artinya dalam membentuk moral mandiri bangsa
Indonesia. Hal tersebut merupakan cerminan dari pemikiran Bung Karno yang
memiliki kepercayaan diri kuat dan usahanya untuk bebas daripada upaya-upaya bangsa
asing yang selalu menginginkan sikap Indonesia yang menghamba.
Bung Karno adalah orang yang sangat
faham mengenai pentingnya permasalahan identitas dan jati diri sebagai sebuah
bangsa. Ia adalah orang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal
dan sangat mengharapkan budaya lokal ini dapat berkembang dengan baik dan
menjadi kebanggaan para warganya. Meskipun rasa cintanya kepada kebudayaan
lokal sangat dalam tapi tidak lantas membuat Bung Karno membuang setiap
kebudayaan yang berasal dari luar. Dalam hal ini Bung Karno seperti biasanya
tetap memiliki pandangan yang modern dan jauh ke depan, beliau berpendapat bahwa
kebudayaan bukan hanya cinta kepada kemerdekaan sendiri dan kepada harga diri
sendiri, tetapi juga menghormati milik, fikiran, perasaan, dan jiwa orang lain.
Pemahaman budaya yang akan berujung pada
pemahaman akan jati diri yang diambil dari jati diri bangsa ini dipandang perlu
dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia Indonesia
yang hidup di dalam bathin bangsanya sendiri yang sealu mencari kepeloporan
mental dan konsep konsep melalui nilai-nilai bangsanya sendiri.
Merangkum dari segala pemikiran pada
bagian ini penulis ingat apa yang telah dikatakan Bung Karno yang menyeru
kepada seluruh bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar dengan tidak
menjadi bangsa penjiplak “jadilah bangsa yang besar dan tidak menjiplak.
Jadilah mercusuar yang gemilang bersinar sendiri.” Kalimat itulah yang kemudian
penulis pandang sebagai solusi dari semua krisis yang sedang menimpa bumi
pertiwi ini.
Penutup
Satu hal yang sepertinya harus
direnungkan oleh kita semua pada zaman sekarang yaitu mengenai sikap optimis
dan mimpi seorang Soekarno yang sangat menghujam jauh ke depan mengenai
kejayaan dan kemakmuran rakyat Indonesia pada umumnya. Padahal seperti kita
ketahui bahwa pada saat perjuangan waktu itu hal apapun bisa saja terjadi yang
pada akhirnya tidak mustahil bangsa ini akan hilang sama-sekali keberaniannya
untuk membebaskan diri dari kaum penjajah.
Disinilah penulis sangat mengapresiasi
sikap kepercayaan diri beliau untuk terus bermimpi dan berbuat sesuatu yang
besar bagi bangsa ini. Jika Bung Karno saja masih bisa memikirkan konsep-konsep
kenegaraan di saat negara ini terjajah maka seharunya kita yang hidup di zaman
kemerdekaan minimal bisa mengamalkan segala buah pemikirannya yang dipandang
masih relevan untuk diaplikasikan.
Sebagai
akhir dari tulisan ini penulis mencoba untuk memahami pemikiran Bung Karno
secara keseluruhan melalui sebuah kalimat dalam salah satu pidatonya yang
berbunyi “If you try to do great things,
the shadow of their greatness partly falls upon you also.” (jika engkau
mencoba membuat sesuatu yang besar, maka bayangkan kebesarannya sebagian jatuh
kepadamu juga). Pernyataan inilah yang kemudian penulis anggap sebagai pesan
dari Bung Karno kepada seluruh komponen bangsa Indonesia untuk tetap bekerja
secara continue bagi negaranya.
Awsome....
BalasHapus