Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Banyaknya masalah yang terjadi saat zaman reformasi ini tidaklah jauh dengan aspek SDM yang ada. Terungkapnya banyak kasus di negeri ini telah membuka mata kita untuk mengakui bahwa kepedulian orang per orang terhadap yang lainnya masih rendah. Banyak moral hazard yang terjadi seperti sikap acuh tak acuh terhadap nasib orang lain yang notabene adalah saudaranya sendiri. Sehingga kemudian menganggap bahwa segala ketidak beresan yang dilakukannya hanyalah suatu akibat yang biasa harus ditanggung oleh orang lain sebagai konsekuensi dari ketidak mampuannya untuk mengakses kekuasaan.
Dalam
hal inilah mungkin kita bisa menyebutkan bahwa rasa kekeluargaan yang ada di
Negara ini masih dirasa kurang. Oleh karena itulah penulis merasa perlu untuk
menganalogikan antara Negara dan sebuah rumah tangga dengan sebuah harapan agar
kita lebih bisa melihat secara sederhana apa yang sedang terjadi dalam
kehidupan bernegara.
Seperti
kita ketahui bersama bahwa di dalam keluarga minimal terdiri dari ayah, ibu,
dan anak. Kemudian ada juga keluarga lain yang juga tercatat sebagai anggota
keluarga. Tugas-tugasnyapun secara tertulis atau tidak tertulis sudah sangat
jelas. Seperti misalnya ayah bertugas memberikan nafkah keluarga, memberi rasa
aman, dan memberikan rasa keadilan terhadap semua anggota keluarga. Kemudian
ibu bertugas untuk mengelola jalannya rumah tangga, menjadi wakil dari ayah
ketika beliau sedang tidak ada di rumah, dan menjadi pelengkap kekurangan ayah
dalam kepemimpinannya. Sedangkan anak, sebelum ia berkeluarga, berkewajiban
untuk patuh terhadap peraturan yang ada di rumah tersebut, menjadi kebanggaan
keluarga, dan juga berhak mendapatkan perlindungan dari ayah dan ibu mereka.
Secara sederhananya dari semua anggota keluarga tersebut harus saling menjaga
dan melindungi. Jika satu anggota sakit maka sakitlah anggota keluarga yang lain.
Negara
tidak ubahnya seperti sebuah keluarga. Di dalam sebuah Negara ada pemerintah
dan ada pula rakyat. Kedua komponen tersebut memiliki tugas dan wewenang yang
sudah disepakati bersama. Pemerintah adalah wakil rakyat yang dipilih secara
demokratis oleh rakyatnya. Pemerintah bertugas untuk melayani masyarakat dalam
melakukan aktifitasnya, seperti misal menjaga dan melindungi rakyatnya,
menjamin rakyatnya untuk bisa mempertahankan hidup, dan mengayomi rakyatnya
untuk terus senantiasa hidup dengan bebas mengekspresikan pendapat serta
memiliki kebanggaan akan identitasnya. Di lain pihak rakyatpun memiliki
tugasnya tersendiri seperti menaati peraturan yang beraku, ikut menjaga
keberlangsungan kehidupan bernegara, dan menjaga nama baik dan martabat Negara
di mata internasional. Secara sederhananya, antara komponen-komponen dalam
Negara tersebut harus memiliki kesatuan ikatan batin yang merasakan penderitaan
ketika komponen yang lainnya menderita. Begitupun ikut bahagia ketika komponen
yang lainnya merasa bahagia.
Dalam
kebiasaan sebuah keluarga. Biasanya orang akan malu ketika mendapati bahwa ada
salah satu dari anggota keluarganya yang tersangkut masalah. Atau orang akan
berfikir beberapa kali tentang nama baik keluarganya ketika ia akan melakukan
hal-hal yang negatif. Hal itu biasanya terjadi dikarenakan rasa sayangnya
anggota keluarga terhadap keluarga yang lainnya.
Dalam
kebiasaan sebuah keluargapun biasanya seorang kepala keluarga mati-matian
berusaha dalam memperjuangkan nafkah bagi anggota keluarganya. Sehingga
kemudian kita mengenal peribahasa banting
tulang atau kepala jadi kaki, kaki
jadi kepala. Hal tersebut dilakukannya karena rasa tanggung jawabnya kepada
keluarga yang notabene adalah titipan Tuhan yang akan ditanyakan pertanggung
jawabannya di hari kemudian.
Begitu
pula halnya dengan sebuah Negara. Dalam hal ini pemerintah yang berfungsi
sebagai orang tua secara normatif harus mampu melindungi, mengayomi, menjamin
pekerjaan, dan menjamin rakyatnya hidup merdeka secara lahir dan batinnya. Sehingga
kemudian kita mengenal slogan pemerintah yang berbunyi pro growth, pro job, dan pro
poor.
Sudah
selayaknya ketiga slogan itu selalu menjadi sebuah ekspresi dari rasa kasih
sayang dari pemerintah sebagai orang tua kepada rakyatnya yang sebagai anak.
Karena secara lebih jauhnya ketiga slogan itu merupakan janji dari kemerdekaan
yang belum terlunasi.
Masalahnya
kemudian muncul ketika pemerintah tidak
secara bulat hati untuk memenuhi janji kemerdekaan tersebut. Dengan kata lain
pemerintah acuh terhadap kepentingan rakyatnya, menganggap bahwa rakyat harus
bisa menyelesaikan segala kebutuhannya secara mandiri (tanpa bantuan
pemerintah) dengan berbagai macam dalih, misalnya agar rakyatnya terpacu untuk
mengembangkan diri, melatih rakyat untuk tidak bergantung kepada orang lain,
dan sebagainya dan sebagainya yang menurut logika memang sepertinya masuk akal.
Malah yang lebih parahnya adalah jika oknum pemerintah ini sudah membiarkan
kesengsaraan yang menimpa rakyat dengan asumsi bahwa kalau rakyat sudah sangat
menderita maka tanpa bantuan pemerintahpun mereka akan bergerak untuk
memperbaiki hidupnya.
Maka
kemudian muncullah istilah neoliberalisme
atau yang lebih dikenal sebagai neolib. Penyakit neolib inilah yang sangat
berbahaya terhadap kehidupan berbangsa karena sifat ini sudah tidak
mencerminkan lagi sikap pro terhadap
rakyat apalagi menganggap rakyat sebagai sebuah tanggung jawab yang akan
dipertanyakan di hari akhir nanti. Fenomena neolib ini bukanlah hal yang baru,
dahulu Bung Karno dalam tulisannya memperkenalkan sifat neolib ini dengan
sebutan wanhoopstheorie, yaitu teori
yang menyebutkan bahwa rakyat akan bergerak jika kemelaratan semakin hebat.
Oleh karena itulah kita sebagai mahasiswa harus
berhati-hati terhadap pemikiran neolib dan wanhoopstheorie.
Kita hendaknya bisa berempatik kepada rakyat sebagai anak agar tidak
diterlantarkan oleh pemerintah sebagai orang tuanya. Karena seperti kita
ketahui bahwa jika orang tuanya saja sudah tidak peduli maka siapa lagi yang
diharapkan untuk mengurusi rakyat. Kita semua tidak mau rakyat ini kemudian
terlantar dan menjadi budak di negerinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar