Rabu, 06 November 2013

Analogi Negara Sebagai Sebuah Rumah

 Oleh: Qiki Qilang Syachbudy


Banyaknya masalah yang terjadi saat zaman reformasi ini tidaklah jauh dengan aspek SDM yang ada. Terungkapnya banyak kasus di negeri ini telah membuka mata kita untuk mengakui bahwa kepedulian orang per orang terhadap yang lainnya masih rendah. Banyak moral hazard yang terjadi seperti sikap acuh tak acuh terhadap nasib orang lain yang notabene adalah saudaranya sendiri. Sehingga kemudian menganggap bahwa segala ketidak beresan yang dilakukannya hanyalah suatu akibat yang biasa harus ditanggung oleh orang lain sebagai konsekuensi dari ketidak mampuannya untuk mengakses kekuasaan.

Dalam hal inilah mungkin kita bisa menyebutkan bahwa rasa kekeluargaan yang ada di Negara ini masih dirasa kurang. Oleh karena itulah penulis merasa perlu untuk menganalogikan antara Negara dan sebuah rumah tangga dengan sebuah harapan agar kita lebih bisa melihat secara sederhana apa yang sedang terjadi dalam kehidupan bernegara.

Seperti kita ketahui bersama bahwa di dalam keluarga minimal terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kemudian ada juga keluarga lain yang juga tercatat sebagai anggota keluarga. Tugas-tugasnyapun secara tertulis atau tidak tertulis sudah sangat jelas. Seperti misalnya ayah bertugas memberikan nafkah keluarga, memberi rasa aman, dan memberikan rasa keadilan terhadap semua anggota keluarga. Kemudian ibu bertugas untuk mengelola jalannya rumah tangga, menjadi wakil dari ayah ketika beliau sedang tidak ada di rumah, dan menjadi pelengkap kekurangan ayah dalam kepemimpinannya. Sedangkan anak, sebelum ia berkeluarga, berkewajiban untuk patuh terhadap peraturan yang ada di rumah tersebut, menjadi kebanggaan keluarga, dan juga berhak mendapatkan perlindungan dari ayah dan ibu mereka. Secara sederhananya dari semua anggota keluarga tersebut harus saling menjaga dan melindungi. Jika satu anggota sakit maka sakitlah anggota keluarga yang lain.

Negara tidak ubahnya seperti sebuah keluarga. Di dalam sebuah Negara ada pemerintah dan ada pula rakyat. Kedua komponen tersebut memiliki tugas dan wewenang yang sudah disepakati bersama. Pemerintah adalah wakil rakyat yang dipilih secara demokratis oleh rakyatnya. Pemerintah bertugas untuk melayani masyarakat dalam melakukan aktifitasnya, seperti misal menjaga dan melindungi rakyatnya, menjamin rakyatnya untuk bisa mempertahankan hidup, dan mengayomi rakyatnya untuk terus senantiasa hidup dengan bebas mengekspresikan pendapat serta memiliki kebanggaan akan identitasnya. Di lain pihak rakyatpun memiliki tugasnya tersendiri seperti menaati peraturan yang beraku, ikut menjaga keberlangsungan kehidupan bernegara, dan menjaga nama baik dan martabat Negara di mata internasional. Secara sederhananya, antara komponen-komponen dalam Negara tersebut harus memiliki kesatuan ikatan batin yang merasakan penderitaan ketika komponen yang lainnya menderita. Begitupun ikut bahagia ketika komponen yang lainnya merasa bahagia.

Dalam kebiasaan sebuah keluarga. Biasanya orang akan malu ketika mendapati bahwa ada salah satu dari anggota keluarganya yang tersangkut masalah. Atau orang akan berfikir beberapa kali tentang nama baik keluarganya ketika ia akan melakukan hal-hal yang negatif. Hal itu biasanya terjadi dikarenakan rasa sayangnya anggota keluarga terhadap keluarga yang lainnya.

Dalam kebiasaan sebuah keluargapun biasanya seorang kepala keluarga mati-matian berusaha dalam memperjuangkan nafkah bagi anggota keluarganya. Sehingga kemudian kita mengenal peribahasa banting tulang atau kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Hal tersebut dilakukannya karena rasa tanggung jawabnya kepada keluarga yang notabene adalah titipan Tuhan yang akan ditanyakan pertanggung jawabannya di hari kemudian. 

Begitu pula halnya dengan sebuah Negara. Dalam hal ini pemerintah yang berfungsi sebagai orang tua secara normatif harus mampu melindungi, mengayomi, menjamin pekerjaan, dan menjamin rakyatnya hidup merdeka secara lahir dan batinnya. Sehingga kemudian kita mengenal slogan pemerintah yang berbunyi pro growth, pro job, dan pro poor.

Sudah selayaknya ketiga slogan itu selalu menjadi sebuah ekspresi dari rasa kasih sayang dari pemerintah sebagai orang tua kepada rakyatnya yang sebagai anak. Karena secara lebih jauhnya ketiga slogan itu merupakan janji dari kemerdekaan yang belum terlunasi.

Masalahnya kemudian muncul ketika  pemerintah tidak secara bulat hati untuk memenuhi janji kemerdekaan tersebut. Dengan kata lain pemerintah acuh terhadap kepentingan rakyatnya, menganggap bahwa rakyat harus bisa menyelesaikan segala kebutuhannya secara mandiri (tanpa bantuan pemerintah) dengan berbagai macam dalih, misalnya agar rakyatnya terpacu untuk mengembangkan diri, melatih rakyat untuk tidak bergantung kepada orang lain, dan sebagainya dan sebagainya yang menurut logika memang sepertinya masuk akal. Malah yang lebih parahnya adalah jika oknum pemerintah ini sudah membiarkan kesengsaraan yang menimpa rakyat dengan asumsi bahwa kalau rakyat sudah sangat menderita maka tanpa bantuan pemerintahpun mereka akan bergerak untuk memperbaiki hidupnya.

Maka kemudian muncullah istilah neoliberalisme atau yang lebih dikenal sebagai neolib. Penyakit neolib inilah yang sangat berbahaya terhadap kehidupan berbangsa karena sifat ini sudah tidak mencerminkan lagi sikap pro terhadap rakyat apalagi menganggap rakyat sebagai sebuah tanggung jawab yang akan dipertanyakan di hari akhir nanti. Fenomena neolib ini bukanlah hal yang baru, dahulu Bung Karno dalam tulisannya memperkenalkan sifat neolib ini dengan sebutan wanhoopstheorie, yaitu teori yang menyebutkan bahwa rakyat akan bergerak jika kemelaratan semakin hebat.

Oleh karena itulah kita sebagai mahasiswa harus berhati-hati terhadap pemikiran neolib dan wanhoopstheorie. Kita hendaknya bisa berempatik kepada rakyat sebagai anak agar tidak diterlantarkan oleh pemerintah sebagai orang tuanya. Karena seperti kita ketahui bahwa jika orang tuanya saja sudah tidak peduli maka siapa lagi yang diharapkan untuk mengurusi rakyat. Kita semua tidak mau rakyat ini kemudian terlantar dan menjadi budak di negerinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar