Jumat, 10 Juli 2020

YANG MUNGKIN TAK AKAN PERNAH KEMBALI

Setelah semua persiapan dirasa cukup, akhirnya Rasyid segera keluar dari rumahnya dengan hanya membawa tas sedang yang hanya beberapa potong pakaian dan beberapa kitab yang dianggapnya masih ia butuhkan.
Dengan perasaan mantap ia kemudian melangkahkan kakinya ke luar pintu rumah dan membiarkan rumah tidak terkunci sesuai dengan pesan bapak pengurus kampung ketika hari kemarin ia berpamitan. Tidak ada seorang pun yang mengantarkan Rasyid dalam kepulangannya. Di saat semua warga masih terlelap tidur dan dibuai mimpimimpinya, Rasyid meninggalkan kampung itu. Menembus pekatnya malam yang sangat dingin laksana selimutnya dewi malam yang sedang dirundung duka rindu karena menanti cahaya bulan yang tidak juga kunjung keluar di malam itu.
Ketika Rasyid sedang khusyuk berjalan, tibatiba
dilihatnya sosok Si Manusia Koboi yang sedang duduk di atas salah satu batu besar yang ada di pinggir jalan. Sepertinya Si Manusia Koboi itu sudah memperhatikan Rasyid dari tadi. Terlihat dari pantulan sinar lampu yang berasal dari rumah warga, wajah Si Manusia Koboi seperti sedang tertawa kecil melihat Rasyid. Namun tidak ada sedikit pun keinginan Rasyid untuk menyapanya, sampai pada saat dirinya tepat berada di depan Si Manusia Koboi pun tidak sepatah katapun ia sampaikan. Rasyid seolah tidak melihat Si Manusia Koboi sama sekali. Si Manusia Koboi pun hanya tersenyum melihat kejadian seperti itu dan ia pun hanya terdiam saja seperti patung di atas batu. Rasyid terus saja melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh lagi ke belakang. Namun setelah beberapa jauh dari arah Si Manusia Koboi, tibatiba terdengar Si Manusia Koboi itu memanggil Rasyid dengan nada suara khasnya.
“Syid, apakah Kau tidak mau berpamitan terlebih dahulu kepadaku Syid? Manusia yang selama ini menemanimu di saat Kau sedang menghabiskan waktu malam bersama Tuhanmu?” Ucap Si Manusia Koboi dengan setengah berteriak.
Mendengar panggilan tersebut, Rasyid menghentikan langkahnya serta kemudian menjawab.
“Kalau Kau sudah tahu lebih daripada Aku, kenapa kemudian Aku harus memberitahumu kembali?” Ucap Rasyid sambil tersenyum kecil tanpa menoleh lagi kea rah Si Manusia Koboi.
“Hahahaaa… baiklah kalau begitu wahai Ustadz Penggembala atau Ustadz Koboi. Do’aku akan selalu ada di dalam setiap langkah kakimu.” Pungkas Si Manusia Koboi yang kemudian tertangkap oleh juru mata Rasyid sudah tidak ada di tempatnya semula.
Tanpa memperdulikan apaapa lagi kemudian Rasyid bergegas untuk menemui Mama Kiai di pondok pesantren tempat dirinya dahulu menimba ilmu yang berjarak terhitung jauh dari tempat itu.

***
Singkat cerita kemudian Rasyid telah sampai di tempat yang dituju, yaitu pondok pesantren tempat dirinya dahulu menimba ilmu. Dari kejauhan dia sudah dapat melihat banyak perubahan yang terjadi di tempat itu jika dibandingkan dengan kondisi pada saat dahulu ketika ia sedang menimba ilmu. Terlihat walaupun masih sederhana namun sekarang bangunannya sudah semakin banyak. Masjidnya pun sekarang sudah bertingkat dan megah dibandingkan dahulu yang masih kecil dan tidak bertingkat. Terlihat santrisantri yang sedang beraktivitas di dalam menyiratkan kesibukan namun tidak terlepas dari kebersahajaan dan keramahan. Melihat hal tersebut Rasyid menjadi teringat dan merasa sangat rindu akan masamasa ketika dirinya dahulu sedang menuntut ilmu bersama temantemannya yang kini sudah tidak tahu keberadaannya.
Setelah  berpamitan  kepada  penjaga gerbang pe
santren, akhirnya ia langsung kemudian menuju tempat kediaman Mama Kiai. Terlihat olehnya bahwa satusatunya bangunan yang tidak berubah sedikitpun di tempat itu hanyalah rumahnya Mama Kiai yang masih terlihat sederhana namun bersih dan mengesankan ketenangan dan kedamaian.
Seperti biasanya, waktu setelah Isya adalah waktu bebas para santri di mana mereka dipersilakan untuk belajar pengetahuan umum di mana mereka sekolah di sekolah umum pada pagi hingga siang harinya. Di pesantren ini para santri didik untuk berdisiplin supaya mereka bisa menyeimbangkan antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama. Mendidik para santri agar menjadi manusiamanusia yang berakhlaqul karimah serta selalu berpegang teguh kepada ajaran kepada yang telah dicontohkan oleh Muhammad SAW. Membentuk para santri agar selalu dinamis serta luwes dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Sesampainya di depan rumah Mama Kiai, didapatinya beliau sedang berdiri menyambutnya dengan senyumannya yang khas. Dengan bergegas kemudian Rasyid menyalami Mama Kiai dan kemudian memeluknya eraterat.
“Bagaimana kabarmu Syid?” Tanya Mama Kiai setelah Rasyid melepaskan pelukannya.
“Alhamdulillah baik Mama. Berkat do’a Mama beserta keluarga besar di sini.” Jawab Rasyid sambil memperhatikan sosok Mama Kiai yang terlihat tidak ada perubahan semenjak dirinya meninggalkan pondok pesantren itu. Mama Kiai terlihat awet muda meskipun sosoknya sudah mendekati usia kepala tujuh.
“Silakan duduk Syid, Mama sudah agak lama menunggumu di sini.”
“Mama mendapat kabar dari mana bahwa saya akan datang malam ini?”
“Syid, Mama ini sudah lama mengenalmu, jadi ada saja firasat batin bahwa Rasyid akan datang pada malam hari ini.” Ucap Mama Kiai sambil tersenyum kecil dan kembali mengajak duduk Rasyid di kursi yang berada di depan rumahnya.
Rasyid kemudian duduk mengikuti ajakan Mama Kiai. Namun baru saja ia duduk, Rasyid sudah dikagetkan oleh seorang santri yang kebetulan lewat di depan rumanya Mama Kiai. Yang membuat Rasyid kaget adalah karena wajah dari santri itu mirip sekali dengan muka Si Manusia Koboi. Sontak kemudian Rasyid bertanya kepada Mama Kiai.
“Maaf Mama, siapakan santri yang barusan lewat tadi itu?”
“Emang kenapa Syid?” Tanya Mama Kiai kembali kepada Rasyid.
“Sepertinya Saya kenal dia Mama. Orang yang akhirakhir ini selalu menemui saya dan berdiskusi di mushola kampung tempat saya mengabdikan diri.”  
“Hehehe… Mungkin itu  hanya  kemiripan  wajah
saja Syid. Lagian Mama tidak hafal nama semua santri yang ada di sini. Sudah ada yang mengurusinya masingmasing. Mama hanya mengawasi dan tidak terlalu banyak turun ke halhal yang bersifat teknis.” Jawab Mama Kiai tenang.
“Oya Syid, Mama selama ini banyak mendengar kabar beritamu selama Rasyid berada di daerah tempat mengabdi.”
“Iya Mama, terima kasih sudah banyak memperhatikan Saya. Saya ke sini juga mau sekalian mohon maaf kepada Mama dan keluarga besar pesantren di sini karena selama Saya berada di tempat pengabdian sudah banyak mengecewakan semua keluarga besar di sini. Ini sematamata hanya karena kebodohan dan keterbatasan ilmu yang masih saya miliki.” Ucap Rasyid langsung kepada tujuan dengan suara lirih penuh dengan rasa takzim.
“Dahulu juga Mama sewaktu seusiamu mengabdi di tempat tersebut Syid. Mama yakin, apapun hasilnya, Kau pasti telah belajar banyak tentang kondisi keumatan yang sekarang sedang terjadi. Di situlah perlu adanya sebagian orang yang senantiasa untuk menyerukan kepada kebaikan. Kamu jangan terlalu bersalah atas pandangan orang terhadapmu. Yang terpenting pakailah selalu hati nuranimu yang terbimbing oleh Al Qur’an dan Al Hadits sebagai radar untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Syid, manusia sangat memerlukan berbagai pengalaman batin sehingga bisa menjadi semakin bijak di dalam hidupnya. Dengan kebijakan tersebutlah akan semakin memperbesar rasa syukur dan ikhlas pada setiap ruang jiwa manusia.” Ucap Mama Kiai panjang lebar.
“Apakah Kamu bertemu dengan Yusuf Syid?” Tanya Mama Kiai mengalihkan pembicaraan.
“Iya Mama, dari Yusuflah saya mendapatkan pesan Mama untuk datang ke sini.” Ucap Rasyid pelan.
“Biarkanlah Yusuf untuk belajar lebih banyak di sana. Mama rasa di usianya yang masih muda ia memerlukan banyak pengalaman yang bermacammacam sebab sebagai pemuka agama maka ia harus terbiasa dan tahu untuk hidup di luar mesjid atau pesantren. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Kanjeng Nabi dahulu dan para ulamaulama besar setelah Beliau tiada. Sebab sekali sudah menjadi pemuka agama maka tanggung jawab itu akan senantiasa melekat di atas pundaknya sehingga meskipun raga berada di ruang tahanan maka batin, pemikiran, dan jiwa harus senantiasa menunaikan tanggung jawab tersebut. Itulah makna sejati dari khoirunnaas anfauhum linnaas. Seorang pemuka agama dituntut untuk selalu menjadi manusia yang berguna bagi sebanyakbanyaknya manusia. Sehingga dalam kondisi yang seperti apapun harus bisa menginspirasi manusiamanusia lain untuk senantiasa selalu memberikan manfaat bagi manusia dan seluruh alam semesta. Harus bisa menginspirasi dari mulai pimpinan sampai yang dipimpin sehingga barisan jamaah ummat ini senantiasa rapi dan tertib yang kemudian akan melahirkan sebuah negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun gofuur karena diisi oleh individuindividu yang senantiasa berbuat yang terbaik dalam setiap peran yang diembannya.” Ucap Mama Kiai panjang lebar, penuh dengan rasa tanggung jawab sebagai pendidik bagi Rasyid sehingga lupa untuk mempersilakan Rasyid yang terlihat masih capek setelah perjalanan jauh untuk minum minuman yang sudah tersedia di depan mereka.
Setelah beberapa saat keduanya terdiam kemudian Mama Kiai melanjutkan pembicaraannya.
“Syid, Mama sengaja mengundangmu ke sini untuk memintamu melanjutkan sekolah ke universitas. Lalu apakah Kamu masih memiliki kemauan untuk belajar Syid?” Tanya Mama Kiai yang sebelumnya tidak disangka terlebih dahulu oleh Rasyid tentang pertanyaan Mama Kiai yang terkesan tibatiba seperti itu.
“Maksud Mama apa? Saya masih belum mengerti?” Tanya Rasyid dengan penuh rasa heran.
“Syid, di zaman yang seperti ini diperlukan pengetahuan umum untuk memahami secara benar Al Qur’an dan Al Hadits karena Islam harus didakwahkan dengan cara yang masuk akal dan up to date sehingga Kau bisa membuat surga bagi siapapun, dari yang muda sampai yang tua; dari yang pemimpin sampai yang dipimpin; dari yang miskin sampai yang kaya; dan dari yang lembut budi pekertinya sampai yang keras perwatakannya. Sebagai pemuka agama Kau harus memiliki bacaan yang banyak sehingga Kau bisa memahami masyarakat yang terus berubah, terus maju, dan dinamis. Kau dituntut untuk bisa memberikan pendidikan kepada ummat sehingga ummat memiliki semangat untuk bangkit dan berjuang.” Pungkas Mama Kiai kepada Rasyid yang terlihat menunduk sambil sesekali menganggukkan kepala.
“Bagaimana Syid?”
“Kalau begitu saya mengikuti apa yang Mama Kiai sarankan saja.” Jawab Rasyid pendek.
“Kalau begitu, setelah ini Kau tinggal di sini saja Syid. Kamu bantu Mama dan para pengajar di sini untuk membangun pondok pesantren ini sambil Kau kuliah lagi. Apalagi bukankah Kau sekarang sudah tidak punya tujuan lagi untuk pulang?”
Mendengar hal itu Rasyid hanya mengangguk pelan sambil menerawang masamasa kecilnya dahulu. Semenjak bapak dan ibunya meninggal ia kemudian dititipkan oleh pamannya kepada Mama Kiai untuk diasuh. Sekarang Rasyid sudah tidak tahu tentang dimana keberadaan pamannya. Kini hanya Mama Kiai dan keluarga besar pondok pesantren inilah yang merupakan keluarganya setelah ia gagal untuk menjalin hubungan persaudaraan di kampung tempat mengabdinya dahulu.
Entah kemudian Tuhan akan membimbing Rasyid
sampai di titik batas yang mana. Yang terpenting sekarang bagi Rasyid hanyalah bisa menghaturkan banyak rasa syukurnya kepada Tuhan atas segala nikmat pembelajaran yang ia dapatkan melalui sikap Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dialah guru bagi semesta alam raya ini yang senantiasa dengan lembut membimbing makhluk-makhlukNya di setiap waktu.


0*Tamat*0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar