Setelah
semua persiapan dirasa cukup, akhirnya Rasyid segera keluar dari rumahnya
dengan hanya membawa tas sedang yang hanya beberapa potong pakaian dan beberapa
kitab yang dianggapnya masih ia butuhkan.
Dengan
perasaan mantap ia kemudian melangkahkan kakinya ke luar pintu rumah dan
membiarkan rumah tidak terkunci sesuai dengan pesan bapak pengurus kampung
ketika hari kemarin ia berpamitan. Tidak ada seorang pun yang mengantarkan Rasyid
dalam kepulangannya. Di saat semua warga masih terlelap tidur dan dibuai
mimpimimpinya, Rasyid meninggalkan kampung itu. Menembus pekatnya malam yang
sangat dingin laksana selimutnya dewi malam yang sedang dirundung duka rindu
karena menanti cahaya bulan yang tidak juga kunjung keluar di malam itu.
Ketika
Rasyid sedang khusyuk berjalan, tibatiba
dilihatnya
sosok Si Manusia Koboi yang sedang duduk di atas salah satu batu besar yang ada
di pinggir jalan. Sepertinya Si Manusia Koboi itu sudah memperhatikan Rasyid
dari tadi. Terlihat dari pantulan sinar lampu yang berasal dari rumah warga,
wajah Si Manusia Koboi seperti sedang tertawa kecil melihat Rasyid. Namun tidak
ada sedikit pun keinginan Rasyid untuk menyapanya, sampai pada saat dirinya
tepat berada di depan Si Manusia Koboi pun tidak sepatah katapun ia sampaikan. Rasyid
seolah tidak melihat Si Manusia Koboi sama sekali. Si Manusia Koboi pun hanya
tersenyum melihat kejadian seperti itu dan ia pun hanya terdiam saja seperti
patung di atas batu. Rasyid terus saja melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh
lagi ke belakang. Namun setelah beberapa jauh dari arah Si Manusia Koboi,
tibatiba terdengar Si Manusia Koboi itu memanggil Rasyid dengan nada suara khasnya.
“Syid,
apakah Kau tidak mau berpamitan terlebih dahulu kepadaku Syid? Manusia yang
selama ini menemanimu di saat Kau sedang menghabiskan waktu malam bersama
Tuhanmu?” Ucap Si Manusia Koboi dengan setengah berteriak.
Mendengar
panggilan tersebut,
Rasyid
menghentikan langkahnya serta kemudian menjawab.
“Kalau
Kau sudah tahu lebih daripada Aku, kenapa kemudian Aku harus memberitahumu
kembali?” Ucap Rasyid sambil tersenyum kecil tanpa menoleh lagi kea rah Si
Manusia Koboi.
“Hahahaaa…
baiklah kalau begitu wahai Ustadz Penggembala atau Ustadz Koboi. Do’aku akan
selalu ada di dalam setiap langkah kakimu.” Pungkas Si Manusia Koboi yang
kemudian tertangkap oleh juru mata Rasyid sudah tidak ada di tempatnya semula.
Tanpa
memperdulikan apaapa lagi kemudian Rasyid bergegas untuk menemui Mama Kiai di
pondok pesantren tempat dirinya dahulu menimba ilmu yang berjarak terhitung
jauh dari tempat itu.
***
Singkat
cerita kemudian Rasyid telah sampai di tempat yang dituju, yaitu pondok
pesantren tempat dirinya dahulu menimba ilmu. Dari kejauhan dia sudah dapat
melihat banyak perubahan yang terjadi di tempat itu jika dibandingkan dengan
kondisi pada saat dahulu ketika ia sedang menimba ilmu. Terlihat walaupun masih
sederhana namun sekarang bangunannya sudah semakin banyak. Masjidnya pun
sekarang sudah bertingkat dan megah dibandingkan dahulu yang masih kecil dan
tidak bertingkat. Terlihat santrisantri yang sedang beraktivitas di dalam
menyiratkan kesibukan namun tidak terlepas dari kebersahajaan dan keramahan.
Melihat hal tersebut Rasyid menjadi teringat dan merasa sangat rindu akan
masamasa ketika dirinya dahulu sedang menuntut ilmu bersama temantemannya yang
kini sudah tidak tahu keberadaannya.
Setelah berpamitan kepada penjaga
gerbang pe
santren,
akhirnya ia langsung kemudian menuju tempat kediaman Mama Kiai. Terlihat
olehnya bahwa satusatunya bangunan yang tidak berubah sedikitpun di tempat itu
hanyalah rumahnya Mama Kiai yang masih terlihat sederhana namun bersih dan
mengesankan ketenangan dan kedamaian.
Seperti
biasanya, waktu setelah Isya adalah waktu bebas para santri di mana mereka
dipersilakan untuk belajar pengetahuan umum di mana mereka sekolah di sekolah
umum pada pagi hingga siang harinya. Di pesantren ini para santri didik untuk
berdisiplin supaya mereka bisa menyeimbangkan antara pengetahuan umum dengan
pengetahuan agama. Mendidik para santri agar menjadi manusiamanusia yang
berakhlaqul karimah serta selalu berpegang teguh kepada ajaran kepada yang
telah dicontohkan oleh Muhammad SAW. Membentuk para santri agar selalu dinamis
serta luwes dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Sesampainya
di depan rumah Mama Kiai, didapatinya beliau sedang berdiri menyambutnya dengan
senyumannya yang khas. Dengan bergegas kemudian Rasyid menyalami Mama Kiai dan
kemudian memeluknya eraterat.
“Bagaimana
kabarmu Syid?” Tanya Mama Kiai setelah Rasyid melepaskan pelukannya.
“Alhamdulillah
baik Mama. Berkat do’a Mama beserta keluarga besar di sini.” Jawab Rasyid
sambil memperhatikan sosok Mama Kiai yang terlihat tidak ada perubahan semenjak
dirinya meninggalkan pondok pesantren itu. Mama Kiai terlihat awet muda
meskipun sosoknya sudah mendekati usia kepala tujuh.
“Silakan
duduk Syid, Mama sudah agak lama menunggumu di sini.”
“Mama
mendapat kabar dari mana bahwa saya akan datang malam ini?”
“Syid,
Mama ini sudah lama mengenalmu, jadi ada saja firasat batin bahwa Rasyid akan
datang pada malam hari ini.” Ucap Mama Kiai sambil tersenyum kecil dan kembali
mengajak duduk Rasyid di kursi yang berada di depan rumahnya.
Rasyid
kemudian duduk mengikuti ajakan Mama Kiai. Namun baru saja ia duduk, Rasyid
sudah dikagetkan oleh seorang santri yang kebetulan lewat di depan rumanya Mama
Kiai. Yang membuat Rasyid kaget adalah karena wajah dari santri itu mirip
sekali dengan muka Si Manusia Koboi. Sontak kemudian Rasyid bertanya kepada
Mama Kiai.
“Maaf
Mama, siapakan santri yang barusan lewat tadi itu?”
“Emang
kenapa Syid?” Tanya Mama Kiai kembali kepada Rasyid.
“Sepertinya
Saya kenal dia Mama. Orang yang akhirakhir ini selalu menemui saya dan
berdiskusi di mushola kampung tempat saya mengabdikan diri.”
“Hehehe…
Mungkin itu hanya kemiripan wajah
saja
Syid. Lagian Mama tidak hafal nama semua santri yang ada di sini. Sudah ada
yang mengurusinya masingmasing. Mama hanya mengawasi dan tidak terlalu banyak
turun ke halhal yang bersifat teknis.” Jawab Mama Kiai tenang.
“Oya
Syid, Mama selama ini banyak mendengar kabar beritamu selama Rasyid berada di
daerah tempat mengabdi.”
“Iya
Mama, terima kasih sudah banyak memperhatikan Saya. Saya ke sini juga mau
sekalian mohon maaf kepada Mama dan keluarga besar pesantren di sini karena
selama Saya berada di tempat pengabdian sudah banyak mengecewakan semua
keluarga besar di sini. Ini sematamata hanya karena kebodohan dan keterbatasan
ilmu yang masih saya miliki.” Ucap Rasyid langsung kepada tujuan dengan suara
lirih penuh dengan rasa takzim.
“Dahulu
juga Mama sewaktu seusiamu mengabdi di tempat tersebut Syid. Mama yakin, apapun
hasilnya, Kau pasti telah belajar banyak tentang kondisi keumatan yang sekarang
sedang terjadi. Di situlah perlu adanya sebagian orang yang senantiasa untuk menyerukan
kepada kebaikan. Kamu jangan terlalu bersalah atas pandangan orang terhadapmu.
Yang terpenting pakailah selalu hati nuranimu yang terbimbing oleh Al Qur’an
dan Al Hadits sebagai radar untuk membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Syid, manusia sangat memerlukan berbagai pengalaman batin sehingga bisa
menjadi semakin bijak di dalam hidupnya. Dengan kebijakan tersebutlah akan
semakin memperbesar rasa syukur dan ikhlas pada setiap ruang jiwa manusia.”
Ucap Mama Kiai panjang lebar.
“Apakah
Kamu bertemu dengan Yusuf Syid?” Tanya Mama Kiai mengalihkan pembicaraan.
“Iya
Mama, dari Yusuflah saya mendapatkan pesan Mama untuk datang ke sini.” Ucap Rasyid
pelan.
“Biarkanlah
Yusuf untuk belajar lebih banyak di sana. Mama rasa di usianya yang masih muda
ia memerlukan banyak pengalaman yang bermacammacam sebab sebagai pemuka agama
maka ia harus terbiasa dan tahu untuk hidup di luar mesjid atau pesantren.
Seperti yang pernah dicontohkan oleh Kanjeng Nabi dahulu dan para ulamaulama
besar setelah Beliau tiada. Sebab sekali sudah menjadi pemuka agama maka
tanggung jawab itu akan senantiasa melekat di atas pundaknya sehingga meskipun
raga berada di ruang tahanan maka batin, pemikiran, dan jiwa harus senantiasa
menunaikan tanggung jawab tersebut. Itulah makna sejati dari khoirunnaas anfauhum linnaas. Seorang
pemuka agama dituntut untuk selalu menjadi manusia yang berguna bagi
sebanyakbanyaknya manusia. Sehingga dalam kondisi yang seperti apapun harus
bisa menginspirasi manusiamanusia lain untuk senantiasa selalu memberikan
manfaat bagi manusia dan seluruh alam semesta. Harus bisa menginspirasi dari
mulai pimpinan sampai yang dipimpin sehingga barisan jamaah ummat ini
senantiasa rapi dan tertib yang kemudian akan melahirkan sebuah negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun gofuur
karena diisi oleh individuindividu yang senantiasa berbuat yang terbaik dalam
setiap peran yang diembannya.” Ucap Mama Kiai panjang lebar, penuh dengan rasa
tanggung jawab sebagai pendidik bagi Rasyid sehingga lupa untuk mempersilakan Rasyid
yang terlihat masih capek setelah perjalanan jauh untuk minum minuman yang
sudah tersedia di depan mereka.
Setelah
beberapa saat keduanya terdiam kemudian Mama Kiai melanjutkan pembicaraannya.
“Syid,
Mama sengaja mengundangmu ke sini untuk memintamu melanjutkan sekolah ke
universitas. Lalu apakah Kamu masih memiliki kemauan untuk belajar Syid?” Tanya
Mama Kiai yang sebelumnya tidak disangka terlebih dahulu oleh Rasyid tentang
pertanyaan Mama Kiai yang terkesan tibatiba seperti itu.
“Maksud
Mama apa? Saya masih belum mengerti?” Tanya Rasyid dengan penuh rasa heran.
“Syid,
di zaman yang seperti ini diperlukan pengetahuan umum untuk memahami secara
benar Al Qur’an dan Al Hadits karena Islam harus didakwahkan dengan cara yang
masuk akal dan up to date sehingga
Kau bisa membuat surga bagi siapapun, dari yang muda sampai yang tua; dari yang
pemimpin sampai yang dipimpin; dari yang miskin sampai yang kaya; dan dari yang
lembut budi pekertinya sampai yang keras perwatakannya. Sebagai pemuka agama
Kau harus memiliki bacaan yang banyak sehingga Kau bisa memahami masyarakat
yang terus berubah, terus maju, dan dinamis. Kau dituntut untuk bisa memberikan
pendidikan kepada ummat sehingga ummat memiliki semangat untuk bangkit dan
berjuang.” Pungkas Mama Kiai kepada Rasyid yang terlihat menunduk sambil
sesekali menganggukkan kepala.
“Bagaimana
Syid?”
“Kalau
begitu saya mengikuti apa yang Mama Kiai sarankan saja.” Jawab Rasyid pendek.
“Kalau
begitu, setelah ini Kau tinggal di sini saja Syid. Kamu bantu Mama dan para
pengajar di sini untuk membangun pondok pesantren ini sambil Kau kuliah lagi.
Apalagi bukankah Kau sekarang sudah tidak punya tujuan lagi untuk pulang?”
Mendengar
hal itu Rasyid hanya mengangguk pelan sambil menerawang masamasa kecilnya dahulu.
Semenjak bapak dan ibunya meninggal ia kemudian dititipkan oleh pamannya kepada
Mama Kiai untuk diasuh. Sekarang Rasyid sudah tidak tahu tentang dimana
keberadaan pamannya. Kini hanya Mama Kiai dan keluarga besar pondok pesantren
inilah yang merupakan keluarganya setelah ia gagal untuk menjalin hubungan
persaudaraan di kampung tempat mengabdinya dahulu.
Entah
kemudian Tuhan akan membimbing Rasyid
sampai
di titik batas yang mana. Yang terpenting sekarang bagi Rasyid hanyalah bisa
menghaturkan banyak rasa syukurnya kepada Tuhan atas segala nikmat pembelajaran
yang ia dapatkan melalui sikap Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dialah guru bagi semesta alam raya ini yang senantiasa dengan lembut membimbing
makhluk-makhlukNya di setiap waktu.
0*Tamat*0