Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Apabila kita
berbicara tentang pemikiran Bung Natsir maka kita seolah sedang pula mencicipi
sedikit masakan pemikiran ala HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan sedikit
pemikiran Bung Karno. Warna pemikiran dari ketiga tokoh tersebut rupanya Bung
Natsirpun punya. Hanya saja memang mesti ada uniknya sedikit, diantaranya
adalah karena Bung Natsir bukan saja diakui kepemimpinannya di dalam
masyarakatnya sendiri (dalam hal ini masyarakat Islam) tetapi beliaupun mampu
membuktikan diri untuk berkiprah dalam panggung perpolitikan Indonesia. Hal inilah
yang kemudian membuat Bung Natsir layak untuk disebut sebagai ulama intelek.
Yaitu ulama yang bisa menerapkan pengetahuan dan kemampuannya pada dunia
modern.
Akibat dari pemikirannya yang mampu
menghayati nuansa kekeluargaan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka rasanya tidak ada seorangpun yang menolak untuk mengakui bahwa tokoh yang
memiliki nama lengkap Muhammad Natsir ini untuk disebut sebagai tokoh
pergerakan kebangsaan Indonesia yang telah memberikan saham pemikiraannya dalam
dasar-dasar (pondasi) Negara kesatuan republik Indonesia. Maka alangkah
bangganya penulis jika menyebutnya sebagai bapak bangsa seluruh masyarakat
Indonesia.
Jika saja kita tengok pada konteks
kekinian maka alangkah inginnya rasa hati ini memiliki seseorang tokoh seperti
Natsir ini. Betapa tidak? Karena pada zaman ini kita sangat sulit sekali
menemukan tokoh ulama yang berfikiran terbuka dan mampu memasuki alam bathin
dari masyarakat. Kebanyakan tokoh yang ada sekarang ini, entah itu dari
golongan manapun masih berpendapat bahwa hanya kelompoknyalah yang berhak untuk
maju, dan bahwa hanya kelompoknyalah yang ia bela. Maka kemudian kalau kita
masih berfikiran seperti itu, lalu apa bedanya kita dengan tindakan fasis yang
dahulu dilakukan Hitler? Pemikiran pemikiran yang hanya mementingkan
golongannya itulah yang kemudian akan menciptakan Hitler-Hitler model baru yang
mungkin akan berdampak besar terhadap kelangsungan kehidupan masa depan bangsa
dan Negara ini.
Natsir merupakan orang yang mampu
berfikir jauh ke depan, bahkan ia telah melampaui beberapa abad jalan pemikiran bangsa ini. Beliau mampu
membebaskan dirinya dari belenggu golongan yang buta. Dialah yang bisa
melepaskan baju golongan ketika sedang berbicara tentang kemajuan bangsa. Jika
dianalogikan maka dialah yang memutuskan untuk menjadi sang pengikat sapu lidi,
bukan menjadi sebatang sapu lidi yang lemah. Bukan menjadi olrang perorangan,
tetapi ia memutuskan untuk menjadi sang nasionalis seperti nasionalisnya Nabi
Muhammad ketika ia dahulu membuat peraturan yang sekarang disebut sebagai
piagam madinah.
Jika
kita tarik arah pemikirannya Bung Natsir ini terhadap keadaan dunia
internasional pada waktu itu maka kita akan menemukan mutiaranya pemikiran
Natsir ini hampir sama dengan pemikiran Kemal Ataturk yang telah merubah Turki
keluar dari system kekhalifahan ke sistem Republik. Alasan dari Kemal pada
waktu itu adalah untuk memberikan kebebasan dari pemeluk agama Islam untuk
mengembangkan ke-Islamannya sesuai dengan kemampuannya masing-masing tanpa
adanya monopoli oleh orang-orang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan
keagamaan. Menurut penulis, bentuk pemikiran Natsir yang hamper serupa dengan Kemal
Attaturk itu menunjukkan bukan hanya pengetahuan luas yang dimiliki Natsir tetapi
juga disebabkan oleh rasa simpatik dan empatiknya terhadap seluruh komponen
yang ada di Negara ini. Maka lebih jauhnya sikap ini disebut sebagai rasa cinta
terhadap tanah air yang tidak buta. Sedangkan menurut ajaran yang dipercayai
Natsir sendiri menyebutkan bahwa sikap cinta terhadap tanah air merupakan
sebagian daripada iman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar