Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Tulisan ini
terilhami oleh pertunjukan teater di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang berjudul
Mastodon dan Burung Kondor. Pertunjukan ini dahulu pernah dimainkan oleh
sastrawan besar Indonesia yang bernama WS Rendra. Kini pertunjukan ini
dimainkan lagi oleh istrinya WS Rendra yang bernama Kenzuraida dalam rangka
memperingati dua tahun wafatnya rendra. Lalu kenapa dalam rangka memperingati
dua tahun wafatnya Rendra ini harus memainkan Mastodon dan Burung Kondor?
Menurut Ken hal ini disebabkan karena nuansa yang dibawa dalam teater itu
hampir mirip dengan permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini.
Oleh karena itu menurut Ken mudah-mudahan pertunjukan ini bisa menjawab
persoalan-persoalan yang ada sekarang ini.
Pertunjukan
ini diadakan di Gedung Graha Bhakti Budaya yang berada di wilayah TIM pada
tanggal 11-14 Agustus 2011. Walaupun begitu menurut penulis tidaklah terlalu
terlambat bagi kita untuk membicarakan tentang makna isi yang ada di dalam
pertunjukan tersebut.
Inti
dari cerita Mastodon dan Burung Kondor ini mengisahkan tentang keadaan di
sebuah negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang dzalim dan gemar
menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan kedudukannya. Akibat
kedzalimannya ini maka muncullah pemberontakan yang diawali oleh pergerakan
sekelompok mahasiswa dari dalam kampus. Penguasa tiran yang disini disebut
Mastodon atau gajah dalam bahasa Spanyol akhirnya berhasil dipukul mundur oleh
para mahasiswa yang dianalogikan sebagai burung kondor. Tetapi kemudian di
tengah-tengah huru-hara mastodon ini bisa kembali melakukan penyerangan
terhadap para burung kondor tersebut.
Penampilan
teater ini sangat menarik sekali. Hal ini bisa dilihat dari kematangannya para
pemeran di atas panggung yang terlihat sangat matang. Pantas saja mungkin pada
masa dahulu menjadi tontonan favoritnya para remaja, meskipun sangat berbeda
sekali dengan sikap para remaja kita saat ini yang terkesan kurang bisa
mengapresiasi karya yang semacam ini.
Salah
satu hal yang sangat menarik dari pertunjukan teater malam itu adalah ketika
ada pernyataan dari salah satu aktornya yang menyebutkan bahwa ia kurang setuju
dengan sistem pendidikan di universitas yang menurutnya hanyalah sebuah prosesi
peng-iya-an terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada, sehingga para mahasiswanya seperti
dihentikan daya kritis dan kreativitasnya. Kegiata-kegiatan seminar maupun
diskusi yang dilakukan di universita-universitas menurutnya hanyalah sebagai
upacara peng-iya-an yang sudah menjadi sebuah tradisi di zaman sekarang.
Cara-cara
pengajaran yang seperti itulah yang menurutnya telah menyebabkan pembekuan
pemikiran dan ide di kalangan peserta didik. Hal ini juga telah mengakibatkan
kebebasan jiwa para peserta didik terkungkug oleh suatu keadaan yang membuatnya
tidak bisa mengekspresikan seluruh ide dan rasa kemanusiaan. Menurutnya hal-hal
seperti itulah yang pada akhirnya telah mengakibatkan peran dari para mahasiswa
yang kurang optimal di kalangan mahasiswa.
Membumikan
pemikiran Ki Hajar Dewantara pada konteks kekinian
Penggalan
percakapan dari cerita Mastodon dan Burung Kondor di atas tentunya akan
menghasilkan tanggapan yang pro dan kontra. Sikap pro dan kontra ini berawal
dari cara pandang orang dalam memahami dan memaknai akan pentingnya sebuah
pendidikan. Melalui makna yang utopis pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah
cara untuk membebaskan keterbelengguan jiwa dan cara pandang orang sehingga
mereka bisa hidup dengan bebas dengan menuruti minat dan bakatnya. Pendidikan
seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi seseorang dalam memaknai dan
mengerti akan kehidupan yang menyangkut dirinya sendiri dan lingkungan di
sekitarnya.
Makna
pendidikan yang seperti di atas sebetulnya sudah diperkenalkan dari jauh hari
sebelumnya oleh Ki Hajar Dewantara. Berasal dari pengamatannya terhadap anak-anak
muda yang sedang dipenjara bersamanya, maka Ki Hajar Dewantara menyimpulkan
bahwa anak-anak muda tersebut masing-masing memiliki bakat yang unik dan dapat
diarahkan supaya hidup mereka menjadi bermakna banyak bagi orang lain. Semenjak
itulah Ki Hajar Dewantara merasa yakin bahwa semua manusia memiliki potensinya
masing-masing. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa dalam proses pendidikan ini
diperlukan sikap Tut Wuri Handayani yang bermakna sokongan bantuan dari luar
yang membimbing dan mengayomi para peserta didik. Sokongan bantuan itu
menurutnya tidaklah seperti cara mendidiknya sistem yang diterapkan oleh
Belanda yang hanya mengarah kepada hukuman, disiplin, dan ketertiban. Ki Hajar
Dewantara dalam hal ini sangat menganjurkan sistem pendidikan yang demokratis
dan menjunjung nilai-nilai interest
para peserta didik.
Semenjak
dicetuskannya taman siswa sebagai lembaga pendidikan yang dijiwai oleh
pemikiran Ki Hajar Dewantara, banyak diantaranya sekolah termasuk pesantren
yang kemudian secara terang-terangan mengaku mengikuti konsepnya taman siswa
tersebut.
Kembali
kepada isu yang dilemparkan dalam pertunjukan Mastodon dan Burung Kondor maka
menurut penulis jika memang benar pada waktu sekarang ini di
universitas-universitas banyak terjadi prosesi peng-iya-an maka sebetulnya
pemikiran Ki Hajar Dewantara inilah yang merupakan antitesi dari keadaan yang
dianggap masih kuno tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar