Rabu, 13 November 2013

Banyak Prosesi Peng-iya-an di universitas?

Oleh: Qiki Qilang Syachbudy


          Tulisan ini terilhami oleh pertunjukan teater di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang berjudul Mastodon dan Burung Kondor. Pertunjukan ini dahulu pernah dimainkan oleh sastrawan besar Indonesia yang bernama WS Rendra. Kini pertunjukan ini dimainkan lagi oleh istrinya WS Rendra yang bernama Kenzuraida dalam rangka memperingati dua tahun wafatnya rendra. Lalu kenapa dalam rangka memperingati dua tahun wafatnya Rendra ini harus memainkan Mastodon dan Burung Kondor? Menurut Ken hal ini disebabkan karena nuansa yang dibawa dalam teater itu hampir mirip dengan permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini. Oleh karena itu menurut Ken mudah-mudahan pertunjukan ini bisa menjawab persoalan-persoalan yang ada sekarang ini.
        Pertunjukan ini diadakan di Gedung Graha Bhakti Budaya yang berada di wilayah TIM pada tanggal 11-14 Agustus 2011. Walaupun begitu menurut penulis tidaklah terlalu terlambat bagi kita untuk membicarakan tentang makna isi yang ada di dalam pertunjukan tersebut.
         Inti dari cerita Mastodon dan Burung Kondor ini mengisahkan tentang keadaan di sebuah negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang dzalim dan gemar menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan kedudukannya. Akibat kedzalimannya ini maka muncullah pemberontakan yang diawali oleh pergerakan sekelompok mahasiswa dari dalam kampus. Penguasa tiran yang disini disebut Mastodon atau gajah dalam bahasa Spanyol akhirnya berhasil dipukul mundur oleh para mahasiswa yang dianalogikan sebagai burung kondor. Tetapi kemudian di tengah-tengah huru-hara mastodon ini bisa kembali melakukan penyerangan terhadap para burung kondor tersebut.
       Penampilan teater ini sangat menarik sekali. Hal ini bisa dilihat dari kematangannya para pemeran di atas panggung yang terlihat sangat matang. Pantas saja mungkin pada masa dahulu menjadi tontonan favoritnya para remaja, meskipun sangat berbeda sekali dengan sikap para remaja kita saat ini yang terkesan kurang bisa mengapresiasi karya yang semacam ini.
       Salah satu hal yang sangat menarik dari pertunjukan teater malam itu adalah ketika ada pernyataan dari salah satu aktornya yang menyebutkan bahwa ia kurang setuju dengan sistem pendidikan di universitas yang menurutnya hanyalah sebuah prosesi peng-iya-an terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada, sehingga para mahasiswanya seperti dihentikan daya kritis dan kreativitasnya. Kegiata-kegiatan seminar maupun diskusi yang dilakukan di universita-universitas menurutnya hanyalah sebagai upacara peng-iya-an yang sudah menjadi sebuah tradisi di zaman sekarang.
      Cara-cara pengajaran yang seperti itulah yang menurutnya telah menyebabkan pembekuan pemikiran dan ide di kalangan peserta didik. Hal ini juga telah mengakibatkan kebebasan jiwa para peserta didik terkungkug oleh suatu keadaan yang membuatnya tidak bisa mengekspresikan seluruh ide dan rasa kemanusiaan. Menurutnya hal-hal seperti itulah yang pada akhirnya telah mengakibatkan peran dari para mahasiswa yang kurang optimal di kalangan mahasiswa.

Membumikan pemikiran Ki Hajar Dewantara pada konteks kekinian
        Penggalan percakapan dari cerita Mastodon dan Burung Kondor di atas tentunya akan menghasilkan tanggapan yang pro dan kontra. Sikap pro dan kontra ini berawal dari cara pandang orang dalam memahami dan memaknai akan pentingnya sebuah pendidikan. Melalui makna yang utopis pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk membebaskan keterbelengguan jiwa dan cara pandang orang sehingga mereka bisa hidup dengan bebas dengan menuruti minat dan bakatnya. Pendidikan seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi seseorang dalam memaknai dan mengerti akan kehidupan yang menyangkut dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarnya.
       Makna pendidikan yang seperti di atas sebetulnya sudah diperkenalkan dari jauh hari sebelumnya oleh Ki Hajar Dewantara. Berasal dari pengamatannya terhadap anak-anak muda yang sedang dipenjara bersamanya, maka Ki Hajar Dewantara menyimpulkan bahwa anak-anak muda tersebut masing-masing memiliki bakat yang unik dan dapat diarahkan supaya hidup mereka menjadi bermakna banyak bagi orang lain. Semenjak itulah Ki Hajar Dewantara merasa yakin bahwa semua manusia memiliki potensinya masing-masing. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa dalam proses pendidikan ini diperlukan sikap Tut Wuri Handayani yang bermakna sokongan bantuan dari luar yang membimbing dan mengayomi para peserta didik. Sokongan bantuan itu menurutnya tidaklah seperti cara mendidiknya sistem yang diterapkan oleh Belanda yang hanya mengarah kepada hukuman, disiplin, dan ketertiban. Ki Hajar Dewantara dalam hal ini sangat menganjurkan sistem pendidikan yang demokratis dan menjunjung nilai-nilai interest para peserta didik.
       Semenjak dicetuskannya taman siswa sebagai lembaga pendidikan yang dijiwai oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara, banyak diantaranya sekolah termasuk pesantren yang kemudian secara terang-terangan mengaku mengikuti konsepnya taman siswa tersebut.
       Kembali kepada isu yang dilemparkan dalam pertunjukan Mastodon dan Burung Kondor maka menurut penulis jika memang benar pada waktu sekarang ini di universitas-universitas banyak terjadi prosesi peng-iya-an maka sebetulnya pemikiran Ki Hajar Dewantara inilah yang merupakan antitesi dari keadaan yang dianggap masih kuno tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar