Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Banyak orang yang menganggap bahwa seorang sosok Kartini hanya cukup sebagai seorang tokoh emansipasi wanita yang sengaja diangkat oleh pemerintah Orde Lama sebagai pelengkap peristiwa sejarah yang dipandang sangat minim akan tokoh pemikir wanita di awal era memasuki pergerakan pergolakan perjuangan di awal abad ke-20.
Hal ini ditambah lagi dengan
kodrat Kartini sebagai seorang
wanita yang pada waktu itu berumur sekitar belasan tahun. Hal-hal
itulah yang menyebabkan orang-orang yang kritis terhadap sejarah mempertanyakan
siapa sebenarnya sosok Kartini tersebut yang namanya besar dan abadi bahkan
menjadi sebuah tema dalam lagu nasional Indonesia.
Mungkin pada konteks kekinian sosok
Kartini ini sulit untuk dipahami, tetapi jika kita tengok kepada
kondisi masyarakat pada masa ketika Kartini itu hidup maka hal-hal pertanyaan
yang menyangsikan tokoh ini akan sedikit bisa dijawab. Apalagi jika ditambah
dengan beberapa tulisan seperti tulisannya Sartono, Ronggo Warsito, dan
Pramoedya Ananta Toer. Kartini ini akan semakin jelas sosoknya.
Kodrat Kartini
memang perempuan dan umurnyapun bisa dibilang sangat muda. Tetapi kita semua
harus memahami bahwa Kartini dibesarkan di dalam sebuah keluarga bangsawan yang pada waktu itu bisa
dengan mudah mengakses segala yang menjadi keresahan jiwanya. Ditambah lagi
bahwa pada zamannya itu banyak anak muda yang memulai gejolak pemikirannya pada
umur belasan sampai umur di awal dua puluh tahunan. Kita bisa melihat
tokoh-tokoh setelah Kartini seperti Sjahrir, Tan Malaka, dan Hatta, mereka
memulai proses keintelektualannya pada masa usia belasan tahun. Hal-hal itulah yang meyakinkan kita
bahwa wajar sajalah jika pada waktu itu Kartini memiliki pemikiran yang kritis
dan cemerlang, memang situasinya seperti itu.
Dari surat-suratnya yang
diterbitkan, bisa terlihat bahwa pemikiran Kartini tidak semata-mata curhatnya
akan perlakuan yang diterimanya sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki
keleluasaan seperti misalnya para laki-laki. Dalam salah satu suratnya yang
berjudul Serat Kala Tida sangat jelas Kartini menyebutkan bahwa dia
memiliki keprihatinan terhadap para penguasa Jawa yang menurutnya sudah melemah
dan terperosok dalam imoralitas kehidupan yang mengakibatkan banyak bencana.
Menurut Kartini, hal yang menyebabkan kelemahan itu adalah dikarenakan oleh
kekuatan di belakangnya, yaitu faktor para penjajah.
Pada masa yang masih belia ini
Kartini sudah menyadari akan keadaan yang sedang mencengkram nasib rakyatnya.
Kesadaran itu oleh Kartini dianalogikan sebagai sebuah kegelapan, sesuatu
keadaan yang diperkirakan segera muncul sebuah masa terang.
Pemahamannya yang sudah mampu
menerobos jauh ke depan itu diperdalam lagi dengan pengalaman yang harus
diterimanya, yaitu menjadi istri keempat dari seorang bupati. Dalam masa
pingitannya ini Kartini menyebutkan bahwa baju pengantin yang kelak akan
digunakannya saat pernikahan merupakan kain kafan baginya. Dan setelah
pernikahannya ini, Kartini seolah sudah siap menemui
kematiannya yang semakin dekat, dan akhirnya di tahun 1904 sosok Kartini meninggalkan kita semua. Mungkin ia meninggal tidak dalam keadaan tersenyum, tetapi
setidaknya ia meninggalkan nama yang sangat harum dan tanpa sepengetahuannya, ia telah menjadi sosok
pelopor dimulai berkembangnya ideologi untuk keluar dari suasana gelap menuju
terang.
Kartini memang tidak seperti
halnya Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno, dan Hatta. Mereka adalah ideolog yang
sangat mudah khalayak untuk menerimanya. Tetapi Kartini adalah seorang ideolog yang tidak
kentara, hampir saja kita saat ini tidak mengenal seorang Kartini, tetapi atas jasa teman curhatnya di Belanda dan dibantu oleh beberapa
pujangga, tokoh sastra, dan sejarawan akhirnya pemikiran mutiara Kartini dapat
diapresiasi sebagai “pemula dari zaman
modern Indonesia”.
Konteks Perempuan dalam Kehidupan
Bernegara
Kisah perempuan dalam sejarah
nasional atau dunia memang tidak bisa diragukan lagi. Khususnya dalam ajaran
agama Islam, kaum perempuan memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan
bernegara. Banyak contoh yang menggambarkan bahwa
kaum perempuan berperan aktif dalam kehidupan kenegaraan yang cakupannya lebih
besar, seperti misalnya Siti Fatimah yang sering berunding masalah kenegaraan,
Zubaidah (permaisuri Harun Al Rasyid) yang
membiayai pembuatan jalan air di Mekah dan mendirikan kembali kota Alexandria (setelah kota ini hancur oleh bangsa Griek), dan Fakhroenvissa Sheika Shulda yang membuat
terjemahan-terjemahan tentang sastra dan syair di Baghdad.
Dalam sejarah duniapun sangat banyak kita temukan
contoh kaum perempuan yang sangat berjasa terhadap negaranya. Beberapa nama
misalnya Halide Edib Hanum dan Nakie Hanum dari
Turki, Sarojini Naidu dan Sarala Devi dari India, Soong Ching Ling dari Tiongkok,
Zorah Hanum dari Persia, Istrinya Saad Zahlul Pasha dari Mesir, dan nama-nama lain di zaman
sekarang yang data dan namanya masih kita bisa akses di media massa.
Di
dalam konteks perjalanan sejarah bangsa Indonesiapun kita memiliki beberapa
nama perempuan yang namanya signifikan, diantaranya adalah Rahmah
El-Yunusiyyah, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Kartini, Fatmawati, dan nama-nama
lain yang sangat banyak jumlahnya. Beberapa nama kaum perempuanpun sampai
sekarang sangat banyak bermunculan dan berperan di Indonesia, di berbagaimacam
bidang, yang namanya masih kita bisa lihat di media massa.
Berdasarkan
fakta-fakta, penulis teringat dengan kata-kata dari Sarojini Naidu yang menyebutkan bahwa bukan kaum laki-laki saja yang
harus siap untuk menghadapi kematian dalam usaha membentuk sebuah negara,
tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki
tersebut. Bahkan menurut
Bung Karno menyebutkan bahwa laki-laki
dan perempuan diibaratkan sebagai kedua sayapnya seekor burung. Yang jika kedua
sayapnya dibuat sama kuatnya maka akan mampu untuk terbang menempuh udara
sampai ke puncak kemajuan yang setinggi-tingginya.
Besarnya
peran perempuan tersebut menurut Bung Karno tidak berarti perempuan itu harus meninggalkan kodratnya
sebagai perempuan, tetapi justru mereka berjuang harus berdasarkan kodratnya
sebagai perempuan, yang Bung Karno sebut sebagai kewajiban keperempuanan. Diantara kewajiban keperempuanan itu
adalah dengan cara mendidik putera-putrinya agar mereka menjadi putra-putri
yang cerdas dan siap untuk membantu berjuang demi kemerdekaan negaranya. Oleh
karena itu menurut Bung Karno, diharapkan kepada kaum perempuan untuk memiliki kemampuan yang baik dalam hal mendidik,
karena maju mundurnya suatu negara tergantung kepada kaum perempuannya dalam
mendidik putra-putri mereka. Karena kemampuan mendidik yang baik itu akan didapat oleh perempuan
yang mengenyam pendidikan pula maka menurut Bung Karno, pendidikan anak
perempuan di dalam keluarga harus menjadi konsen utama. Saking memandang sangat
pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, sampai-sampai Bung Karno
mengibaratkan bahwa jika ada dua orang anak laki-laki dan perempuan di sebuah
keluarga, sedangkan uang hanya cukup untuk menyekolahkan satu orang, maka anak
perempuanlah yang harus terlebih dahulu diprioritaskan untuk sekolah karena
perempuan itu akan mengurus anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa
ini.
Sebagai penutup dari tulisan ini
penulis ingin mengutip kata-kata Bung Karno dalam tulisannya yang berjudul Menyambut Kongres Kaum Ibu, yang menurut hemat penulis masih relevan untuk
direnungkan pada zaman sekarang ini.
“Sudah lama bunga Indonesia tiada mengeluarkan harumnya,
semenjak sekar yang terkemudian sudah menjadi layu. Tetapi sekarang bunga
Indonesia sudah kembang kembali, kembang ditimpa cahaya bulan persatuan
Indonesia; dalam bulan yang terang benderang ini, berbaulah sugandi segala
bunga-bungaan yang harum, dan menarik hati yang tahu akan harganya bunga
sebagai hiasan alam yang diturunkan Tuhan Illahi. Kembangnya bunga ini, ialah
bangunnya bangsa Indonesia menurut langkah yang terkemudian sekali, didahului
oleh bangunnya laki-laki Indonesia beserta pemudanya. Langkah yang terkemudian,
tetapi jejak yang pertama sekali dalam sejarah Indonesia, dan permulaan zaman
baru.
Sudah
lama Indonesia kehilangan ibu, sudah lama Indonesia kehilangan puterinya,
tetapi berkat: disinari cahaya persatuan Indonesia bertemulah anak piatu dan
ibu yang disangka sudah hilang, berjabatan tanganlah dengan puteri yang
disangka sudah berpulang. Pertemuan anak dengan ibu kandung, ialah saat yang
semulia-mulianya dalam sejarah anak piatu yang beribu kembali. Saat ini tiada
dapat dilupakan: sedih dan suka, pedih dan pilu bercampur baur, karena
kenang-kenangan yang sudah berlaku dan oleh karena nasib baru yang akan
dimulai. Baru sekarang persatuan Indonesia ada romantiknya; apa guna gamelan
dalam pendopo kalau tiada dibunyikan, terletak saja jadi pemandangan kaum
keluarga turun temurun? Gamelan Indonesia berbunyi kembali, berbunyi dalam
pendopo Indonesia dan melagukan persatuan Indonesia, pada waktu bulan
purnama-raja, penuh dengan bau bunga dan kembang yang harum. Indonesia piatu
sudah beribu kembali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar