Sabtu, 23 November 2013

MEMBUMIKAN IDEOLOGI DAN PERAN KARTINI

Oleh: Qiki Qilang Syachbudy


Banyak orang yang menganggap bahwa seorang sosok Kartini hanya cukup sebagai seorang tokoh emansipasi wanita yang sengaja diangkat oleh pemerintah Orde Lama sebagai pelengkap peristiwa sejarah yang dipandang sangat minim akan tokoh pemikir wanita di awal era memasuki pergerakan pergolakan perjuangan di awal abad ke-20.
        Hal ini ditambah lagi dengan kodrat Kartini sebagai seorang wanita yang pada waktu itu berumur sekitar belasan tahun. Hal-hal itulah yang menyebabkan orang-orang yang kritis terhadap sejarah mempertanyakan siapa sebenarnya sosok Kartini tersebut yang namanya besar dan abadi bahkan menjadi sebuah tema dalam lagu nasional Indonesia.
     Mungkin pada konteks kekinian sosok Kartini ini sulit untuk dipahami, tetapi jika kita tengok kepada kondisi masyarakat pada masa ketika Kartini itu hidup maka hal-hal pertanyaan yang menyangsikan tokoh ini akan sedikit bisa dijawab. Apalagi jika ditambah dengan beberapa tulisan seperti tulisannya Sartono, Ronggo Warsito, dan Pramoedya Ananta Toer. Kartini ini akan semakin jelas sosoknya.
         Kodrat Kartini memang perempuan dan umurnyapun bisa dibilang sangat muda. Tetapi kita semua harus memahami bahwa Kartini dibesarkan di dalam sebuah keluarga bangsawan yang pada waktu itu bisa dengan mudah mengakses segala yang menjadi keresahan jiwanya. Ditambah lagi bahwa pada zamannya itu banyak anak muda yang memulai gejolak pemikirannya pada umur belasan sampai umur di awal dua puluh tahunan. Kita bisa melihat tokoh-tokoh setelah Kartini seperti Sjahrir, Tan Malaka, dan Hatta, mereka memulai proses keintelektualannya pada masa usia belasan tahun. Hal-hal itulah yang meyakinkan kita bahwa wajar sajalah jika pada waktu itu Kartini memiliki pemikiran yang kritis dan cemerlang, memang situasinya seperti itu.
      Dari surat-suratnya yang diterbitkan, bisa terlihat bahwa pemikiran Kartini tidak semata-mata curhatnya akan perlakuan yang diterimanya sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki keleluasaan seperti misalnya para laki-laki. Dalam salah satu suratnya yang berjudul Serat Kala Tida sangat jelas Kartini menyebutkan bahwa dia memiliki keprihatinan terhadap para penguasa Jawa yang menurutnya sudah melemah dan terperosok dalam imoralitas kehidupan yang mengakibatkan banyak bencana. Menurut Kartini, hal yang menyebabkan kelemahan itu adalah dikarenakan oleh kekuatan di belakangnya, yaitu faktor para penjajah.
        Pada masa yang masih belia ini Kartini sudah menyadari akan keadaan yang sedang mencengkram nasib rakyatnya. Kesadaran itu oleh Kartini dianalogikan sebagai sebuah kegelapan, sesuatu keadaan yang diperkirakan segera muncul sebuah masa terang.
        Pemahamannya yang sudah mampu menerobos jauh ke depan itu diperdalam lagi dengan pengalaman yang harus diterimanya, yaitu menjadi istri keempat dari seorang bupati. Dalam masa pingitannya ini Kartini menyebutkan bahwa baju pengantin yang kelak akan digunakannya saat pernikahan merupakan kain kafan baginya. Dan setelah pernikahannya ini, Kartini seolah sudah siap menemui kematiannya yang semakin dekat, dan akhirnya di tahun 1904 sosok Kartini meninggalkan kita semua. Mungkin ia meninggal tidak dalam keadaan tersenyum, tetapi setidaknya ia meninggalkan nama yang sangat harum dan tanpa sepengetahuannya, ia telah menjadi sosok pelopor dimulai berkembangnya ideologi untuk keluar dari suasana gelap menuju terang.
       Kartini memang tidak seperti halnya Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno, dan Hatta. Mereka adalah ideolog yang sangat mudah khalayak untuk menerimanya. Tetapi Kartini adalah seorang ideolog yang tidak kentara, hampir saja kita saat ini tidak mengenal seorang Kartini, tetapi atas jasa teman curhatnya di Belanda dan dibantu oleh beberapa pujangga, tokoh sastra, dan sejarawan akhirnya pemikiran mutiara Kartini dapat diapresiasi sebagai “pemula dari zaman modern Indonesia”.

Konteks Perempuan dalam Kehidupan Bernegara
Kisah perempuan dalam sejarah nasional atau dunia memang tidak bisa diragukan lagi. Khususnya dalam ajaran agama Islam, kaum perempuan memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan bernegara. Banyak contoh yang menggambarkan bahwa kaum perempuan berperan aktif dalam kehidupan kenegaraan yang cakupannya lebih besar, seperti misalnya Siti Fatimah yang sering berunding masalah kenegaraan, Zubaidah (permaisuri Harun Al Rasyid) yang membiayai pembuatan jalan air di Mekah dan mendirikan kembali kota Alexandria (setelah kota ini hancur oleh bangsa Griek), dan Fakhroenvissa Sheika Shulda yang membuat terjemahan-terjemahan tentang sastra dan syair di Baghdad.
       Dalam sejarah duniapun sangat banyak kita temukan contoh kaum perempuan yang sangat berjasa terhadap negaranya. Beberapa nama misalnya Halide Edib Hanum dan Nakie Hanum dari Turki, Sarojini Naidu dan Sarala Devi dari India, Soong Ching Ling dari Tiongkok, Zorah Hanum dari Persia, Istrinya Saad Zahlul Pasha dari Mesir, dan nama-nama lain di zaman sekarang yang data dan namanya masih kita bisa akses di media massa.
            Di dalam konteks perjalanan sejarah bangsa Indonesiapun kita memiliki beberapa nama perempuan yang namanya signifikan, diantaranya adalah Rahmah El-Yunusiyyah, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Kartini, Fatmawati, dan nama-nama lain yang sangat banyak jumlahnya. Beberapa nama kaum perempuanpun sampai sekarang sangat banyak bermunculan dan berperan di Indonesia, di berbagaimacam bidang, yang namanya masih kita bisa lihat di media massa.  
          Berdasarkan fakta-fakta, penulis teringat dengan kata-kata dari Sarojini Naidu yang menyebutkan bahwa bukan kaum laki-laki saja yang harus siap untuk menghadapi kematian dalam usaha membentuk sebuah negara, tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki tersebut. Bahkan menurut Bung Karno menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan diibaratkan sebagai kedua sayapnya seekor burung. Yang jika kedua sayapnya dibuat sama kuatnya maka akan mampu untuk terbang menempuh udara sampai ke puncak kemajuan yang setinggi-tingginya.
        Besarnya peran perempuan tersebut menurut Bung Karno tidak berarti perempuan itu harus meninggalkan kodratnya sebagai perempuan, tetapi justru mereka berjuang harus berdasarkan kodratnya sebagai perempuan, yang Bung Karno sebut sebagai kewajiban keperempuanan. Diantara kewajiban keperempuanan itu adalah dengan cara mendidik putera-putrinya agar mereka menjadi putra-putri yang cerdas dan siap untuk membantu berjuang demi kemerdekaan negaranya. Oleh karena itu menurut Bung Karno, diharapkan kepada kaum perempuan untuk memiliki kemampuan yang baik dalam hal mendidik, karena maju mundurnya suatu negara tergantung kepada kaum perempuannya dalam mendidik putra-putri mereka. Karena kemampuan mendidik yang baik itu akan didapat oleh perempuan yang mengenyam pendidikan pula maka menurut Bung Karno, pendidikan anak perempuan di dalam keluarga harus menjadi konsen utama. Saking memandang sangat pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, sampai-sampai Bung Karno mengibaratkan bahwa jika ada dua orang anak laki-laki dan perempuan di sebuah keluarga, sedangkan uang hanya cukup untuk menyekolahkan satu orang, maka anak perempuanlah yang harus terlebih dahulu diprioritaskan untuk sekolah karena perempuan itu akan mengurus anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa ini. 
       Sebagai penutup dari tulisan ini penulis ingin mengutip kata-kata Bung Karno dalam tulisannya yang berjudul Menyambut Kongres Kaum Ibu,  yang menurut hemat penulis masih relevan untuk direnungkan pada zaman sekarang ini. 

Sudah lama bunga Indonesia tiada mengeluarkan harumnya, semenjak sekar yang terkemudian sudah menjadi layu. Tetapi sekarang bunga Indonesia sudah kembang kembali, kembang ditimpa cahaya bulan persatuan Indonesia; dalam bulan yang terang benderang ini, berbaulah sugandi segala bunga-bungaan yang harum, dan menarik hati yang tahu akan harganya bunga sebagai hiasan alam yang diturunkan Tuhan Illahi. Kembangnya bunga ini, ialah bangunnya bangsa Indonesia menurut langkah yang terkemudian sekali, didahului oleh bangunnya laki-laki Indonesia beserta pemudanya. Langkah yang terkemudian, tetapi jejak yang pertama sekali dalam sejarah Indonesia, dan permulaan zaman baru.
Sudah lama Indonesia kehilangan ibu, sudah lama Indonesia kehilangan puterinya, tetapi berkat: disinari cahaya persatuan Indonesia bertemulah anak piatu dan ibu yang disangka sudah hilang, berjabatan tanganlah dengan puteri yang disangka sudah berpulang. Pertemuan anak dengan ibu kandung, ialah saat yang semulia-mulianya dalam sejarah anak piatu yang beribu kembali. Saat ini tiada dapat dilupakan: sedih dan suka, pedih dan pilu bercampur baur, karena kenang-kenangan yang sudah berlaku dan oleh karena nasib baru yang akan dimulai. Baru sekarang persatuan Indonesia ada romantiknya; apa guna gamelan dalam pendopo kalau tiada dibunyikan, terletak saja jadi pemandangan kaum keluarga turun temurun? Gamelan Indonesia berbunyi kembali, berbunyi dalam pendopo Indonesia dan melagukan persatuan Indonesia, pada waktu bulan purnama-raja, penuh dengan bau bunga dan kembang yang harum. Indonesia piatu sudah beribu kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar