Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Cokro
sebagai organisatoris, ideolog, dan Islamis
H.O.S.
Cokroaminoto yang selanjutnya dipanggil Cokro merupakan seorang keturunan
priyayi yang bisa dibilang sebagai golongan priyayi yang tercerahkan. Nenek
Cokro adalah seorang bupati dan konon memiliki juga ilmu kebatinan.
Pada
awal karirnya Cokro adalah seorang pegawai negeri, tetapi kemudian ia
memutuskan untuk keluar sebagai pegawai negeri dan memilih berprofesi sebagai
pedagang.
Pemikiran
besar yang harus mendapat sorotan lebih besar ddari seorang Cokro adalah
mengenai konsepnya tentang demokrasi dan sosialisme yang dikaitkan dengan
Islam.
Cokro
menjadi ketua SI yang didirikan oleh Samanhudi pada tahun 1911. Dalam
kapasitasnya sebagai ketua SI maka Cokro terus berfikir untuk kemajuan
bangsanya. Buah fikirannya tentang konsep demokrasi sangat tampak jelas pada
tahun 1916 ketika menanggapi UU desentralisasi yang dibuat Belanda pada tahun
1903. Pada kongres SI tahun 1916 itu Cokro menuntut kepada Belanda agar
memberikan kepada pribumi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Selanjutnya
Cokro menjelaskan bahwa jika pribumi diberi kesempatan untuk mengatur dirinya
sendiri maka Indonesia akan menggunakan demokrasi yang menurutnya merupakan
sistem yang dekat dengan pandangan Islam.
Pada
tahun 1912 Cokro harus dihadapkan kepada ideologi sosialis-komunis yang awalnya
dibawa oleh Semaun. Untuk menjawab ideologi komunis yang sudah mulai berkembang
pada tubuh SI sejak tahun 1920 maka Cokro pada tahun 1924 menulis sebuah buku
yang berjudul Islam dan sosialisme dengan tujuan untuk menunjukkan kepada kaum
sosialis komunis bahwa di dalam Islam juga ada sosialisme, karena menurut Cikro
nabi Muammad saw juga adalah seorang yang sosialistis.
Pemikiran
komunis terus menjamur dan berkembang di tubuh SI, sehingga kemudia pada tahun
1923 ketika sedang diadakan kongres SI di Yogya maka atas usulan Agus Salim PSI
memilih jalan tegas untuk menentukan ideologinya secara lurus, apakah Islam
atau Komunis. Dari semenjak itulah maka terbentuklah dua kubu yang disebut
dengan PSI merah dan PSI murni.
Pada
saat terbelah duanya PSI, yaitu antara PSI merah dan PSI putih maka Cokro
mengambil sikap untuk bergabung dengan PSI murni. Karena meskipun Cokro telah
menulis Islam dan Sosialisme, tetapi
dalam kenyataannya kedua pandangan besar itu tidak bisa berdampingan dalam
proses perjuangan. Hal ini disebabkan karena sikap prinsip dari kaum sosialis
yang memiliki hipotesis bahwa kekuasaan harus direbut dan tidak mengenal sikap
kompromi.
Bagi
sebagian orang melihat Cokro sebagai seorang cendikiawan Islam. Hal ini mungkin
karena memang Cokro memiliki pandangan yang berorientasi jauh ke depan tentang
sistem kenegaraan yang berlandaskan akan nilai-nilai Islam. Salah satu
pemikiran yang sangat menonjol dari seorang Cokro adalah kecenderungan
keinginannya dalam menata republik ini dengan sistem perwakilan yang dipilih
yang mirip dengan trias politika.
Yang lebih menarik dari pemikirannya ini adalah bahwa Cokro akan
memformulasikan nilai-nilai Islam terutama dalam hal kepemimpinan dan hak
rakyatnya. Sehingga boleh kita bilang bahwa pemikiran Cokro adalah awal dari kemajuan
pemikian Islam yang kemudian mempengaruhi gaya berfikirnya Soekarno dan
akhirnya menular sampai zaman kontemporer, seperti kita sekarang kenal
pemikiran dari Nurcholish Madjid.
Cokro
sebagai guru yang demokratis
Cerita ini
mungkin bisa kita mulai dari rumah Cokro di Surabaya, yang sekarang dikenal
dengan rumah dialog.
Sebagai
seorang petinggi dari organisasi yang memiliki massa terbesar pada waktu itu
maka pemikiran Cokro ini menyebar ke berbagai kalangan. Banyak diantaranya
anak-anak muda yang progressive terpesona dengan pidato-pidatonya Cokro. Sikap
Cokro yang progressive dan terbuka terhadap berbagaimacam ideologi membuat
rumah Cokro ini menjadi tempat untuk bertemunya berbagaimacam faham untuk
saling berdialog tanpa ada kekhawatiran akan terjadinya konflik yang
berkepanjangan.
Banyak
diantaranya tokoh-tokoh yang dikemudian hari menjadi besar namanya berasal dari
rumah Cokro ini. Sebut saja diataranya Tan Malaka, Alimin, Kartoswirjo, Bung
Karno, dll.
Hal
yang mungkin kita patut untuk acungi jempol adalah sikap Cokro yang samasekali
tidak pernah memaksakan keyakinannya, yaitu ideologi keislaman untuk diturut
oleh para murid-muridnya itu. Dia adalah seorang guru yang sangat bijaksana
yang membiarkan para anak didiknya untuk berkiprah dibergai bidang yang mereka
senangi dan sesuai dengan naluri mereka masing-masing sebagai sebuah titah
Tuhan yang telah diberikanNya.
Kebasaran
hatinya dan keluasan fikirannya telah membawa sebuah garis lurus dalam seluruh
sejarah bangsa Indonesia. Meskipun pada akhirnya sejarah tidak banyak
menuliskan namanya, tetapi penulis yakin bahwa tinta untuk Cokro tidak harus
semuanya ditumpahkan ke atas kertas, tetapi tinta untuk Cokro sudah sangat
mulia untuk melukis fikiran dan nuraninya para pemikir besar pada zaman setelahnya,
mungkin sampai waktu yang tidak ditentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar