Minggu, 10 November 2013

Membumikan Pemikiran dan Sikap Hidup Haji Agus Salim di Era Reformasi

Oleh: Qiki Qilang Syachbudy



Kita yang cinta akan negara Indonesia tentulah tidak akan lupa dengan peristiwa awal permulaan dimulainya era reformasi pada tahun 1998. Pada tahun tersebut semuanya setuju bahwa dengan berakhirnya rezim Orde Baru maka kita akan segera menyongsong kehidupan baru yang lebih baik,lebih terbuka dan lebih sejahtera.
Cerita terus berlanjut, sampailah kita bangsa Indonesia pada tahun 2011. Dengan tahun 2011 ini berarti kita bangsa Indonesia telah berada di alam reformasi selama hampir 13 tahun. Maka sudah layaklah sekiranya kita bersama melakukan introspeksi diri terhadap perjalanan bangsa ini. Apakah sudah sesuai dengan semangat dan harapan kita pada waktu menggelorakan semangat perubahan pada tahun 1998 ataukah malah justru perjalanan ini perlu sebuah reinterpretasi kembali secara menyeluruh?
Perubahan memang selalu ada. Walaupun sedikit tapi hal itu terus menjadi konsen di selama lima periode kepemimpinan setelah Orde Baru collapse. Perbaikanpun dinilai selalu ada. Tetapi yang menjadi kegelisahan rakyat itu bukanlah ada atau tidak adanya sebuah perbaikan. Yang ditanyakan rakyat adalah sebesar apa kesungguhan pemerintah dalam melakukan perubahan itu dan sebesar apa perubahan itu dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Jawaban-jawaban yang dipertanyakan rakyat itu sebenarnya sedikit demi sedikit terungkap dan terjawab dengan maraknya pemberitaan di media-media massa. Dari pemberitaan-pemberitaan itulah setidaknya rakyat yang jauh dari sistem sudah bisa mengamati. Meskipun bagi rakyat kecil belum bisa menyimpulkannya, tetapi setidaknya mereka merasakan ketidak pastian hidup yang berujung pada keputusasaan dan perbuatan-perbuatan nekad yang berimbas kepada tindakan kriminal.
Semakin terlihatnya oknum-oknum yang melakukan penyimpangan, seperti misalnya jual beli keadilan, jual beli suara, politik dagang sapi, korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia sebetulnya bukanlah disebabkan oleh karena undang-undang hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Tetapi hal ini diakibatkan oleh orang-orang yang menjalankan hukum dan perundang-undangan tersebut. Bangsa ini sepertinya sudah keranjingan sifat egoisme nasional yang pada akhirnya menyebabkan keserakahan nasional.
Dengan kata lain negara ini sudah tidak lagi memiliki keteladanan nasional. Moral hazard ini sangat kompleks dan sistemik, dari ujung sampai akarnya seperti perlu lagi pemupukan nasional. Kuncinya adalah perbaikan moral orang perorangnya yang harus segera dibenahi. Yaitu dengan cara penyadaran secara nasional. Tapi bagaimana caranya? Menurut Cak Nur katanya rakyat Indonesia perlu melakukan taubat secara nasional. Tetapi menurut hemat penulis, selain taubat nasional juga para pemimpin negeri ini perlu melakukan pembacaan ulang terhadap kisah-kisah orang besar yang bukan hanya besar namanya, tetapi besar karena kebesaran jiwa dan kebesaran cita-citanya untuk membangun bangsa. Kepemimpinan rakyat yang selalu menitik beratkan kepada kemaslahatan bersama dan tanpa mengedepankan egonya masing-masing inilah yang kiranya belum tampak dari perjalanan era reformasi ini.
Kepemimpinan rakyat yang seperti demikian itu tidaklah mustahil keberadaannya di Indonesia. Kepemimpinan rakyat yang demikian itu sebenarnya bisa kita lihat dari seorang sosok yang bernama Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1884 di kota Gedang Bukit Tinggi. Ia adalah anak keempat dari Sutan Moehamad Salim, seorang jaksa pada sebuah pengadilan negeri. Pada saat masa-masa sekolahnya (sampai tingkat HBS) ia termasuk kepada anak yang pandai. Setelah itu ia bekerja pada konsulat Belanda di Jedah dari tahun 1906-1911. Masa-masa sekolah dan bekerja di lingkungan Belanda inilah yang ia sebut sebagai jalan yang berlumpur.
Semasa hidupnya ia pernah menjadi menteri luar negeri pada kabinet Sjahrir II, kabinet Sjahrir III dan kabinet Amir Syarifudin. Iapun adalah salah seorang yang berjasa dalam permintaan dukungan dari negara timur tengah (dalam hal ini adalah Mesir) sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Semasa mudanyapun ia adalah seorang yang sangat aktif pada partai Sarekat Islam. Ia merupakan dwitunggal yang dipasangkan dengan Tjokroaminoto.
Banyaknya jasa yang ia keluarkan untuk Indonesia dan tingginya jabatan yang pernah ia pikul tidak pernah mendorongnya untuk berhenti hidup secara sederhana. Sehingga tokoh termashur yang pandai menguasai sembilan bahasa ini tercatat sebagai tokoh yang semasa hidupnya belum pernah memiliki rumah pribadi.
Penulis yakin bahwa mudah saja sebenarnya untuk Haji Agus Salim jika ia ingin hidup bermegah-megahan. Tetapi hebatnya Haji Agus Salim adalah ia tidak memilih jalan yang demikian. Ia memilih sebagai pemimpin rakyat yang namanya harum dan abadi. Ia memilih untuk menjadi pemimpin rakyat bukan hanya untuk rakyat pada zamannya, tetapi ia memilih untuk menjadi pemimpin rakyat selama negara Indonesia ini berdiri.
Seandainya penulis bisa berbicara melalui lorong waktu kepada Haji Agus Salim. Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada beliau atas pilihannya untuk hidup sederhana sehingga jikapun ada anak bangsa yang memilih jalan hidupnya seperti Haji Agus Salim, tentulah ia tidak akan merasakan hal yang lebih ringan jika dibandingkan dengan cara hidup Haji Agus Salim.
 Di penghujung tulisan ini sempat terpikir oleh penulis bahwa seandainya para pemimpin kita hari ini mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah semuanya memilih hidup seperti Haji Agus Salim, bahwa memimpin berarti menderita maka cita-cita reformasi ini akan segera tercapai. Tapi pertanyaannya apakah ada pemimpin kita hari ini yang mau benar-benar menderita untuk rakyatnya dan tidak mencari keistimewaan di dalam jabatannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar