Senin, 06 Juli 2020

BAB I: If There is A Will, There is A Way


Hari ini sangat indah, seindah hari kemarin. Seluruh alam terasa sejuk, dingin sampai menusuk relung-relung sel tulang rusuk. Indahnya panorama di Kaki Gunung Ciremai memiliki andil dalam menciptakan suasana indah dan damai ini.
Hiruk pikuknya seluruh makhluk ciptaanNya telah membuat kekaguman yang menyelinap tanpa bisa dibendung lagi oleh seluruh insan, membuat setiap hati sadar dan kagum atas segala yang nampak indah dan damai seperti saat ini. Tanpa terasa, air bening dan dingin bagai embun di pagi hari yang bersumber dari hati yang penuh  syukur menggerakkan ucap untuk berkata “Maha Besar Allah atas segala yang telah Engkau ciptakan, Maha Besar Allah atas segala kenikmatan ini, yang kadang terlupakan karena jiwa yang penuh dengan angkara murka.”
Sungguh hebatlah segala yang telah Tuhan ciptakan di alam maya pada ini. Tidak ada satupun yang sia-sia,  semuanya penuh makna, semuanya penuh dengan iradat Tuhan yang penuh dengan cinta kasih kepada seluruh makhlukNya.
Maha Besar Tuhan yang telah menciptakan skenario kehidupan yang berwarna-warni, sehingga seluruh makhlukMu merasakan cinta yang maha dahsyat, cinta yang penuh dengan rasa keadilan.
Terimalah seluruh rasa syukur ini Tuhan, rasa syukur yang tidak hadir dalam setiap hari saat berjumpa denganMu. Rasa syukur ini yang tidak pernah aku ucapkan kepada siapapun. Yang selama ini cukup rapi tersimpan dalam arsip jiwa alam semesta.
Kini arsip itu telah terbuka dengan sendiri ruhnya karena telah menemukan waktu yang tepat. Mengalir dengan lembut melalui sebuah tulisan yang berkisah tentang perjalanan seorang wanita bernama Habibah. Sebagian liku hidupnya yang telah Engkau berikan, tengah dipotret dalam nuansa potret jiwa yang dimulai dengan sebuah petuah dari sang Bapak kepadanya, bahwa hidup itu harus bener, cageur, bageur, dan pinter (benar, sehat, baik hati, dan pintar).
Setelah bener, cageur, bageur, dan pinter, barulah manusia akan merasakan hidup yang sesungguhnya hidup.
“Janganlah engkau meninggalkan empat kesatuan ini, memilah-milah dan menjadi spesialis satu diantara yang empat ini. Ambillah empat-empatnya di dalam segala tingkah lakumu.” Begitulah kata sang Bapak.
Entah untuk yang kesekian kalinya ucapan ini terlontar dari mulutnya, itu tidak penting bagi Habibah, yang terpenting adalah maknanya, bahwa bapaknya sangat menyayangi dirinya sampai ia kini hampir lulus SMA.
***
Seorang ahli sejarah berkata bahwa sejarah adalah segala perbuatan manusia, segala tingkah laku manusia yang dilakukan saat ini akan menjadi sejarah di waktu selanjutnya. Dan sifat sejarah adalah selalu maju ke depan, meninggalkan hari kemarin. Satu abad di dunia nyata, boleh jadi hanya sehari di dalam sejarah. Semuanya begitu cepat, serba tidak terasa.
Begitu pula yang dirasakan Habibah, serasa baru kemarin masuk sebagai murid SMA, minggu depan ia sudah akan menerima kelulusan dan ijazah. Entah kelanjutan ceritanya bagaimana. Semuanya masih dirahasiakan Tuhan, dan makhluk manapun tidak bisa memiliki rahasia ini. Misteri inilah yang menurut para sastrawan telah membuat kehidupan ini menjadi sangat menggairahkan.
***
Hari telah berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, dan akhirnya sampailah kepada hari yang sangat spesial, yaitu hari pengumuman kelulusan.
Hasilnya memang tidak jauh dari usaha yang selama ini dilakukan. Habibah mendapatkan nilai terbaik diantara teman-temannya. Ia dinobatkan sebagai lulusan terbaik tahun ini. Dan dengan prestasinya itu, Habibah berhasil mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi tanpa tes.
Alangkah bahagianya Habibah. Begitupun teman dan guru-gurunya ikut berbahagia. Banyak yang mengira, Habibah calon orang penting dan the next orang sukses yang akan menjadi kebanggaan sekolah SMA ini yang telah berdiri sejak zaman Belanda.
Namun sayang, segera kegembiraan itu berubah menjadi kegelapan bagi Habibah setelah mendengarkan keputusan sang Bapak bahwa ia tidak sanggup lagi untuk meneruskan sekolah anak gadisnya pada jenjang selanjutnya.
Seorang petani yang miskin, memang kecil kemungkinan, bahkan mungkin  kemungkinannya tidak ada untuk bisa melanjutkan sekolah anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Membayangkannya saja sudah serasa mengerikan. Kata orang, perlu uang berpuluh-puluh juta untuk seseorang bisa mendapatkan gelar sarjana. Jangankan uang sebesar itu, untuk makan sehari-haripun kadang harus meminjam beras dari tetangga.
“Cukuplah kamu sekolah sampai sini. Kamu anak perempuan, juga anak semata wayang Ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak sudah tua, siapa nanti yang mengurus. Apakah kamu tahu anakku, SMA itu sekolah yang cukup tinggi bagi orang-orang desa kita. Walaupun hanya dengan ijazah SMA, hidupmu ke depan, tidak akan sesusah Bapak dan Ibumu ini.”
***
Inilah peristiwa awal akan mulainya pertarungan kehidupan bagi Habibah, cerita ini dimulai dengan sebuah rasa kecewa. Entah kemana Habibah harus mengadu. Tidak ada yang mengerti akan keinginannya untuk melanjutkan sekolah. Teman-temannya, guru-gurunya, tetangganya, saudara-saudaranya hanya sebatas berkata, “Sayang, anak sepintar itu tidak melanjutkan sekolah.”
Sejenak memang hatinya sangat kesal sekali mengalami keadaan ini, ingin rasanya ia minggat dari rumahnya itu. Rumah yang sudah salah mengartikan rasa sayang yang sesungguhnya. Minggat sebagai Habibah dan kembali sebagai Dewi Arimbi yang gagah perkasa di balik kecantikannya.
Tapi tidak, cintanya kepada orang tua melebihi rasa kecewanya. Cinta ini yang telah membutakan cita-citanya, sehingga tersesat di sebuah hutan yang sangat lebat. Entah kemana ia, entah sampai mana ia, semuanya tidak tahu, atau mungkin cita-cita itu telah tiada, mati, ditelan oleh binatang buas yang bernama keputusasaan.
Tetapi segera hati Habibah menjadi sadar, seolah ia mendapatkan penjelasan yang sangat memuaskan tentang keadaan ini. Sebuah kesimpulan yang didapatkannya dari realitas bahwa bukan hanya dirinya seorang yang mengalami pengalaman seperti ini. Salah satu temannya dari SMA yang berbeda, Yadi dan Nunung, nasibnya tidak jauh berbeda dengan yang dialaminya. Dua orang siswa yang pintar tetapi tidak bisa masuk ke perguruan tinggi karena orang tua mereka tidak mampu untuk menyekolahkan. Mereka miskin.
Hanya saja Yadi dan Nunung nasibnya lebih sulit. Mereka berdua anak pertama, dan keduanya kini harus siap untuk menjadi tulang punggung keluarga. Yadi dan Nunung keduanya langsung pergi ke Jakarta sehari setelah menerima ijazah SMA sebagai alat memenangkan pertarungan untuk mendapatkan pekerjaan di kota yang sangat padat itu.
Mereka berdua pergi setelah terlebih dahulu memasukkan cita-citanya ke dalam kaleng keputusasaan untuk dipajang di ruang tamu sebagai kenang-kenangan bahwa dahulu pernah bermimpi untuk menjadi seorang BJ Habibie. Tapi mimpi itu tidak pernah berwujud. Yang terwujud hanya menjadi kuli di super market atau kuli di perusahaan konveksi dengan tinggal di atas got-got yang bau dan banyak nyamuk.
Kadang rasa iri Habibah muncul ketika mendengar temannya yang lain, Roni. Seorang murid yang sulit untuk dikatakan baik, apalagi disebut pintar, namun ia berhasil melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
“Dia anak orang kaya, meskipun dia tolol.” Ucap Habibah di dalam hatinya sambil tersenyum geli.
“Sistem pendidikan ini menggelikan sekali. Masa seekor keledai, hanya karena dia membawa uang, kemudian  berhasil masuk Perguruan Tinggi. Sementara seorang BJ Habibie tidak diterima karena dia tidak membawa uang. Aku membayangkan betapa sulitnya para professor mendidik seekor keledai untuk menjadi seorang manusia?” Tulis Habibah di dalam buku hariannya.
Begitulah nasib anak-anak pintar seperti Habibah, Yadi, dan Nunung. Mereka bagaikan beberapa kuntum bunga yang mekar merekah oleh karena kesuburan tanah dan kesejukan gunung Ciremai. Namun kemudian dipaksa layu sebelum bisa mengundang sang kumbang untuk hinggap dan menghisap madunya.
Padahal mendapatkan pendidikan adalah hak mereka, karena mereka adalah tunas terbaik negeri ini. Namun mereka tidak bisa mendapatkan hak tersebut. Siapakah yang berkewajiban memenuhi hak mereka? Siapakah yang peduli akan keluh kesah mereka?
Zaman ini bukanlah zaman pewayangan lagi, yang orang dengan mudah diatur oleh sang dalang. Seperti pandawa ditetapkan sebagai keluarga intelek dan gareng ditetapkan sebagai keluarga kawula. Terus saja seperti itu turun temurun dari mulai diciptakannya.
Tidak mungkin pada suatu kisah, seorang dari Keluarga Pandawa Lima lantas menjadi pelayannya keluarga Semar Badranaya, atau tiba-tiba Gareng disembah oleh Pandawa Lima, dan untuk seterusnya gareng menggantikan posisi Pandawa Lima dan Pandawa Lima berubah episode menjadi keluarga kawula.
Zaman ini sudah berganti nama, yaitu yang disebut dengan zamannya reformasi atau perubahan. Dan seharusnyalah tidak seperti zamannya otokrasi atau zamannya penjajahan yang hanya berkiblat kepada sang penguasa dan kepada kapitalisme. Dimana pada zaman itu hanyalah anak seorang berpangkat atau anak seorang saudagar yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Kaum bawah tetaplah kaum bawah, seolah takdir sudah bisa ditentukan dan terlihat jelas ketika seseorang terlahir di rumah sakit atau lahir melalui seorang paradji kampung.
Zaman reformasi adalah penanda, bahwa kita semua, dari mulai zaman ini harus selalu mendengungkan yel-yel kemajuan. Kemajuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, termasuk hankam. Tapi bukankah demi kemajuan itu semua kita harus memulai dari SDMnya dahulu, akal budi manusianya dulu? Disinilah fungsi dari pendidikan yang sangat nyata yang sebenarnya harus kita pikirkan bersama.
“Tapi bagaimana?! Reformasi hanya reformasi. Mana janji sebuah kata suci yang tertulis pada UUD’45 yang menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya Negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Gerutu Habibah di dalam hatinya. Ya, hanya di dalam hati, karena kalau dikeluarkan, takut akan teriakan “Sang Pembela Negara” yang berusaha memperingan tugas-tugas mereka dengan menyebutkan bahwa “Janganlah kamu bertanya apa yang negaramu berikan kepadamu, tapi bertanyalah apa yang sudah kau berikan kepada negaramu.”
Payah, semuanya payah, kalau kata itu sudah terlontar dari para pepayung Negara ini. Lalu apakah salah anak-anak bangsa yang bertanya “Mana hak kami, kami ingin sekolah, kami ingin hidup layak, kami ingin mempunyai kesempatan untuk membangun negeri.” Kenapa semuanya tidak peduli? Kenapa semuanya hanya diam? Cobalah debat kami, salahkah kami, cambuklah kami dan masukkanlah kami ke dalam penjara kenistaan yang sunyi senyap, sehingga kami sadar bahwa tidak ada yang peduli terhadap kami. Sehingga hilanglah api cita-cita yang selama ini membakar hati sampai tidak bisa tertidur lelap. Biarkanlah cita-cita itu hanya tersimpan di dalam sebuah kaleng keputusasaan yang disimpan di ruang tamu dan bertuliskan “I very love my country. What do you love me my country?”” Tulis Habibah melanjutkan cerita buku hariannya.
Sampai suatu hari Habibah bertemu dengan Nunung.
“Sekarang kamu kuliah dimana Nung?”
“Aku bekerja di sebuah pabrik konveksi.”
“Kapan kamu diwisuda?”
“Aku tidak butuh diwisuda dan tidak butuh sebuah ijazah sarjana.”
“Kenapa?”
“Karena tahun depan aku akan keluar dari universitas pabrik konveksiku. Sekarang yang penting bagiku hanyalah sebuah gelar.”
“Gelar apa?”
“Gelar nyonya Yadi, IRT.”
Keduanya tertawa, seolah tidak ada beban apa-apa. Seolah penyesalan sudah hilang begitu saja ketika mereka ingat tentang generasi penerus yang akan meneruskan perjuangannya untuk bisa menginjakkan kaki di lantai universitas. Namun apakah generasi baru yang secara hukum alam sudah pasti ada itu bisa mereka perjuangkan? 
Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan besar yang sulit untuk dicarikan rumusannya, tetapi pertanyaan itu adalah pertanyaan tantangan. Siapakah yang bisa menyebutkan “bisa!”, dialah yang telah berhasil dengan mulus menjawab pertanyaan tantangan ini dengan nilai sempurna. Karena sesungguhnya seperti janji Tuhan, ada seribu satu penyelesaian setelah satu kali kata “sulit”. Hal ini adalah sebuah janji Tuhan yang kebenarannya selalu terbukti, meskipun dengan kalimat yang bermacam-macam seperti semboyannya kaum Barat yang percaya bahwa “If there is a will, there is a way.”   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar