Hari ini sangat indah, seindah hari kemarin. Seluruh alam terasa sejuk,
dingin sampai menusuk relung-relung sel tulang rusuk. Indahnya panorama di Kaki
Gunung Ciremai memiliki andil dalam menciptakan suasana indah dan damai ini.
Hiruk
pikuknya seluruh makhluk ciptaanNya telah membuat kekaguman yang menyelinap
tanpa bisa dibendung lagi oleh seluruh insan, membuat setiap hati sadar dan
kagum atas segala yang nampak indah dan damai seperti saat ini. Tanpa terasa, air bening dan dingin bagai
embun di pagi hari yang bersumber dari hati yang penuh syukur menggerakkan ucap untuk berkata “Maha Besar Allah atas segala yang telah Engkau
ciptakan, Maha Besar Allah atas segala kenikmatan ini, yang kadang terlupakan karena jiwa yang penuh dengan angkara
murka.”
Sungguh
hebatlah segala yang telah Tuhan ciptakan di alam maya pada ini. Tidak ada
satupun yang sia-sia, semuanya penuh makna, semuanya penuh dengan
iradat Tuhan yang penuh dengan cinta kasih kepada seluruh makhlukNya.
Maha Besar
Tuhan yang telah menciptakan skenario kehidupan yang berwarna-warni, sehingga
seluruh makhlukMu merasakan cinta yang maha dahsyat, cinta yang penuh dengan rasa keadilan.
Terimalah seluruh
rasa syukur ini Tuhan, rasa syukur yang tidak hadir dalam setiap hari saat
berjumpa denganMu. Rasa syukur ini yang tidak pernah aku ucapkan kepada
siapapun. Yang selama ini cukup rapi tersimpan dalam
arsip jiwa alam semesta.
Kini arsip
itu telah terbuka
dengan sendiri ruhnya karena telah menemukan waktu
yang tepat. Mengalir dengan lembut melalui sebuah tulisan yang berkisah tentang
perjalanan seorang wanita bernama Habibah. Sebagian liku hidupnya yang telah
Engkau berikan, tengah dipotret dalam nuansa potret jiwa yang dimulai dengan
sebuah petuah dari sang Bapak kepadanya, bahwa hidup itu harus bener, cageur, bageur, dan pinter (benar, sehat, baik hati, dan
pintar).
Setelah bener, cageur, bageur, dan pinter, barulah manusia akan merasakan
hidup yang sesungguhnya hidup.
“Janganlah
engkau meninggalkan empat kesatuan ini, memilah-milah dan menjadi spesialis
satu diantara yang empat ini. Ambillah empat-empatnya di dalam segala tingkah
lakumu.” Begitulah kata sang Bapak.
Entah untuk
yang kesekian kalinya ucapan ini terlontar dari mulutnya, itu tidak penting
bagi Habibah, yang terpenting adalah maknanya, bahwa bapaknya sangat menyayangi dirinya sampai ia kini hampir lulus SMA.
***
Seorang ahli
sejarah berkata bahwa sejarah adalah segala perbuatan manusia, segala tingkah laku manusia yang dilakukan saat ini akan menjadi
sejarah di waktu selanjutnya. Dan sifat sejarah adalah selalu maju ke depan, meninggalkan hari kemarin. Satu abad di dunia nyata, boleh jadi hanya
sehari di dalam sejarah. Semuanya begitu cepat, serba tidak terasa.
Begitu pula
yang dirasakan Habibah, serasa baru kemarin masuk sebagai murid SMA, minggu
depan ia sudah akan menerima kelulusan dan ijazah. Entah kelanjutan ceritanya
bagaimana. Semuanya masih dirahasiakan Tuhan, dan makhluk
manapun tidak bisa memiliki rahasia ini. Misteri inilah yang menurut para
sastrawan telah membuat
kehidupan ini menjadi sangat menggairahkan.
***
Hari telah
berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, dan akhirnya sampailah
kepada hari yang sangat spesial, yaitu hari pengumuman kelulusan.
Hasilnya
memang tidak jauh dari usaha yang selama ini dilakukan. Habibah mendapatkan
nilai terbaik diantara teman-temannya. Ia dinobatkan sebagai lulusan terbaik tahun ini. Dan dengan prestasinya
itu, Habibah berhasil mendapat beasiswa masuk perguruan
tinggi tanpa tes.
Alangkah
bahagianya Habibah. Begitupun teman dan guru-gurunya ikut berbahagia. Banyak
yang mengira, Habibah calon orang penting dan the next orang sukses yang akan menjadi
kebanggaan sekolah SMA ini yang telah berdiri sejak zaman Belanda.
Namun sayang,
segera kegembiraan itu berubah menjadi kegelapan bagi Habibah
setelah mendengarkan keputusan sang Bapak bahwa ia tidak sanggup lagi untuk meneruskan sekolah anak gadisnya pada jenjang selanjutnya.
Seorang
petani yang miskin, memang kecil kemungkinan, bahkan mungkin kemungkinannya tidak ada untuk bisa melanjutkan
sekolah anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Membayangkannya saja sudah
serasa mengerikan. Kata orang, perlu uang berpuluh-puluh juta untuk seseorang
bisa mendapatkan gelar sarjana. Jangankan uang sebesar itu, untuk makan
sehari-haripun kadang harus meminjam beras dari tetangga.
“Cukuplah
kamu sekolah sampai sini. Kamu anak perempuan, juga anak semata wayang Ibu dan Bapak.
Ibu dan Bapak sudah tua, siapa nanti yang mengurus. Apakah kamu tahu anakku, SMA itu sekolah yang cukup tinggi bagi orang-orang desa
kita. Walaupun hanya dengan ijazah SMA, hidupmu ke depan, tidak akan sesusah Bapak dan Ibumu ini.”
***
Inilah
peristiwa awal akan mulainya pertarungan kehidupan bagi Habibah, cerita ini
dimulai dengan sebuah rasa kecewa. Entah kemana Habibah harus mengadu. Tidak
ada yang mengerti akan keinginannya untuk melanjutkan sekolah. Teman-temannya,
guru-gurunya, tetangganya, saudara-saudaranya hanya sebatas berkata, “Sayang,
anak sepintar itu tidak melanjutkan sekolah.”
Sejenak
memang hatinya sangat kesal sekali mengalami keadaan ini, ingin rasanya ia
minggat dari rumahnya itu. Rumah yang sudah salah
mengartikan rasa sayang yang sesungguhnya. Minggat sebagai Habibah dan kembali
sebagai Dewi Arimbi yang gagah perkasa di balik kecantikannya.
Tapi tidak,
cintanya kepada orang tua melebihi rasa kecewanya. Cinta ini
yang telah membutakan cita-citanya, sehingga tersesat di sebuah hutan yang
sangat lebat. Entah kemana ia, entah sampai mana ia, semuanya tidak tahu, atau
mungkin cita-cita itu telah tiada, mati, ditelan oleh binatang buas yang
bernama keputusasaan.
Tetapi segera
hati Habibah menjadi sadar, seolah ia mendapatkan penjelasan yang sangat
memuaskan tentang keadaan ini. Sebuah kesimpulan yang didapatkannya dari
realitas bahwa bukan hanya dirinya seorang yang mengalami pengalaman seperti ini. Salah satu temannya dari SMA yang
berbeda, Yadi dan Nunung, nasibnya tidak jauh berbeda dengan yang dialaminya. Dua orang siswa yang pintar tetapi tidak bisa masuk ke perguruan tinggi
karena orang tua mereka tidak mampu untuk menyekolahkan. Mereka miskin.
Hanya saja
Yadi dan Nunung nasibnya lebih sulit. Mereka berdua
anak pertama, dan keduanya kini harus siap untuk menjadi tulang punggung
keluarga. Yadi dan Nunung keduanya langsung pergi ke Jakarta sehari setelah
menerima ijazah SMA sebagai alat memenangkan pertarungan untuk
mendapatkan pekerjaan di kota yang sangat padat itu.
Mereka berdua
pergi setelah terlebih dahulu memasukkan cita-citanya ke dalam kaleng
keputusasaan untuk dipajang di ruang tamu sebagai kenang-kenangan bahwa dahulu pernah bermimpi untuk menjadi seorang BJ Habibie. Tapi mimpi itu tidak pernah berwujud.
Yang terwujud hanya menjadi kuli di super market atau
kuli di perusahaan konveksi dengan tinggal di atas got-got yang bau dan banyak nyamuk.
Kadang rasa
iri Habibah muncul ketika mendengar temannya yang lain, Roni. Seorang
murid yang sulit untuk dikatakan baik, apalagi disebut pintar, namun ia berhasil melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
“Dia anak
orang kaya, meskipun dia tolol.” Ucap Habibah di dalam hatinya sambil tersenyum geli.
“Sistem
pendidikan ini menggelikan sekali. Masa seekor keledai, hanya karena dia
membawa uang, kemudian berhasil masuk
Perguruan Tinggi. Sementara seorang BJ Habibie tidak diterima karena dia tidak
membawa uang. Aku membayangkan betapa sulitnya para professor mendidik seekor
keledai untuk menjadi seorang manusia?” Tulis Habibah di dalam buku hariannya.
Begitulah
nasib anak-anak pintar seperti Habibah, Yadi, dan Nunung. Mereka bagaikan
beberapa kuntum bunga yang mekar merekah oleh karena kesuburan tanah dan
kesejukan gunung Ciremai. Namun kemudian dipaksa layu sebelum
bisa mengundang sang kumbang untuk hinggap dan menghisap madunya.
Padahal mendapatkan
pendidikan adalah hak mereka, karena mereka adalah tunas terbaik negeri ini.
Namun mereka tidak bisa mendapatkan hak tersebut. Siapakah yang berkewajiban
memenuhi hak mereka? Siapakah yang peduli akan keluh kesah mereka?
Zaman ini
bukanlah zaman pewayangan lagi, yang orang dengan mudah diatur oleh sang
dalang. Seperti pandawa ditetapkan sebagai keluarga intelek dan gareng
ditetapkan sebagai keluarga kawula. Terus saja seperti itu turun temurun dari
mulai diciptakannya.
Tidak mungkin
pada suatu kisah, seorang dari Keluarga Pandawa Lima lantas menjadi pelayannya
keluarga Semar Badranaya, atau tiba-tiba Gareng disembah oleh Pandawa Lima, dan
untuk seterusnya gareng menggantikan posisi Pandawa Lima dan Pandawa Lima berubah
episode menjadi keluarga kawula.
Zaman ini
sudah berganti nama, yaitu yang disebut dengan zamannya reformasi atau
perubahan. Dan seharusnyalah tidak seperti zamannya otokrasi atau zamannya
penjajahan yang hanya berkiblat kepada sang penguasa dan kepada kapitalisme.
Dimana pada zaman itu hanyalah anak seorang berpangkat atau anak seorang
saudagar yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Kaum bawah tetaplah kaum bawah,
seolah takdir sudah bisa ditentukan dan terlihat jelas ketika seseorang
terlahir di rumah sakit atau lahir melalui seorang paradji kampung.
Zaman
reformasi adalah penanda, bahwa kita semua, dari mulai zaman ini harus selalu mendengungkan yel-yel kemajuan. Kemajuan di berbagai bidang, baik politik,
sosial, budaya, ekonomi, termasuk hankam. Tapi bukankah demi kemajuan itu semua
kita harus memulai dari SDMnya dahulu, akal budi manusianya dulu? Disinilah
fungsi dari pendidikan yang sangat nyata yang sebenarnya harus kita pikirkan
bersama.
“Tapi
bagaimana?! Reformasi hanya reformasi. Mana janji sebuah kata suci yang
tertulis pada UUD’45 yang menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya Negara ini
adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Gerutu Habibah di dalam hatinya.
Ya, hanya di dalam hati, karena kalau dikeluarkan, takut akan teriakan “Sang
Pembela Negara” yang berusaha memperingan tugas-tugas mereka dengan menyebutkan
bahwa “Janganlah kamu bertanya apa yang negaramu berikan kepadamu, tapi
bertanyalah apa yang sudah kau berikan kepada negaramu.”
“Payah, semuanya payah, kalau kata
itu sudah terlontar dari para pepayung Negara ini. Lalu apakah salah anak-anak
bangsa yang bertanya “Mana hak kami, kami ingin sekolah, kami ingin hidup
layak, kami ingin mempunyai kesempatan untuk membangun negeri.” Kenapa semuanya
tidak peduli? Kenapa semuanya hanya diam? Cobalah debat kami, salahkah kami,
cambuklah kami dan masukkanlah kami ke dalam penjara kenistaan yang sunyi senyap, sehingga kami sadar bahwa tidak ada yang peduli
terhadap kami. Sehingga hilanglah api cita-cita yang selama ini membakar hati sampai
tidak bisa tertidur lelap. Biarkanlah cita-cita itu hanya tersimpan di dalam
sebuah kaleng keputusasaan yang disimpan di ruang tamu dan bertuliskan “I very love my country. What do you love me
my country?”” Tulis Habibah melanjutkan cerita buku hariannya.
Sampai suatu
hari Habibah bertemu dengan Nunung.
“Sekarang
kamu kuliah dimana Nung?”
“Aku bekerja
di sebuah pabrik konveksi.”
“Kapan kamu
diwisuda?”
“Aku tidak
butuh diwisuda dan tidak butuh sebuah ijazah sarjana.”
“Kenapa?”
“Karena tahun
depan aku akan keluar dari universitas pabrik konveksiku. Sekarang yang penting
bagiku hanyalah sebuah gelar.”
“Gelar apa?”
“Gelar nyonya
Yadi, IRT.”
Keduanya
tertawa, seolah tidak ada beban apa-apa. Seolah penyesalan sudah hilang begitu
saja ketika mereka ingat tentang generasi penerus yang akan
meneruskan perjuangannya untuk bisa
menginjakkan kaki di lantai universitas. Namun apakah generasi baru yang secara
hukum alam sudah pasti ada itu bisa mereka perjuangkan?
Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan besar yang sulit
untuk dicarikan rumusannya, tetapi pertanyaan itu adalah pertanyaan tantangan.
Siapakah yang bisa menyebutkan “bisa!”, dialah yang telah berhasil dengan mulus
menjawab pertanyaan tantangan ini dengan nilai sempurna. Karena sesungguhnya
seperti janji Tuhan, ada seribu satu penyelesaian setelah satu kali kata
“sulit”. Hal ini adalah sebuah janji Tuhan yang kebenarannya selalu terbukti,
meskipun dengan kalimat yang bermacam-macam seperti semboyannya kaum Barat yang
percaya bahwa “If there is a will, there
is a way.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar