Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Ketum HMI Cabang Bogor 2013-2014
Ketika saya memberika materi di
depan adik-adik yang sedang melakukan LK I, tak jarang diantaranya yang
bertanya mengenai masalah keuangan organi-sasi di HMI. Mereka biasanya bertanya
mengenai dari mana sumber pendapatan keuangan organisasi.
Memang serasa sulit rasanya ketika
mendapati pertanyaan seperti itu. Tapi ya bagaimana lagi, salah satu jalan yang
paling baik menurut saya adalah menjelaskan apa adanya. Karena organisasi ini
memang milik umat, sedangkan para pengurusnya hanya ditugasi untuk merawatnya
saja. Jadi tugas penguruslah yang menyampaikan semua hal yang ingin diketahui umat
tanpa ada tedeng aling-aling.
Alasan kesulitan saya untuk
menjelaskan mengenai hal keuangan karena memang harus diakui bahwa dalam hal
keuangan, peraturan tersebut di HMI terbilang sulit untuk diterapkan. Padahal, sudah
dijelaskan dalam konstitusi, diantaranya keuangan HMI didapat dari iuran wajib
anggota, iuran sukarela anggota, serta pendapatan lain di luar itu yang
sifatnya tidak mengikat.
Kita harus sadari, mungkin di
setiap cabang di Indonesia, saat ini sudah tidak menerapkan iuraniuran bagi
anggotanya, apalagi tentang ada aturan di dalam konstitusi bahwa Pengurus Besar
(PB) HMI juga mendapat bagian atas iuran wajib para anggota di tingkat cabang.
Padahal, dengan adanya peraturan
adanya iuran di HMI bagi para anggotanya itu menunjukkan bahwa HMI merupakan
sebuah organisasi modern. Kita bisa melihat tentang organisasi modern pada saat
ini yang bersifat internasional, semua mereka menggunakan sistem iuran kepada
para anggotanya untuk melaksanakan kegiatan operasional organisasi. Makanya
sangat disayangkan jika di HMI, aturan tentang iuran ini hanya menjadi
pelengkap konstitusi saja tanpa ada implementasi yang berani.
Tapi disini memang terasa serba
sulit, sebab yang saya rasakan sendiri, memang kondisi keuangan mahasiswa tidak
sama sekali bisa diandalkan. Rasa-rasanya ada perasaan keberatan jika peraturan
ini begitu tegas dijalankan. Belum lagi karena banyak karakter mahasiswa, pasti
kemudian akan terdapat mahasiswa yang rajin bayar iuran, dan yang malas bayar
iuran. Sementara di konstitusi tidak dibuat secara jelas tentang sanksi bagi
mereka yang tidak membayar iuran.
Alhasil, karena iuran di dalam
organisasi tidak berjalan, para penguruslah yang harus pintarpintar mencari
uang untuk membiayai segala kegiatan di organisasi. Sumber-sumber keuangan yang
biasanya menjadi andalan para pengurus adalah Alumni HMI dan lembaga-lembaga
yang terkait seperti KNPI atau lembaga terkait seperti perusahaan dan
kementerian.
Kondisi di atas, dimana iuran internal
organisasi sulit untuk diwujudkan sehingga pengurus disibukkan mencari uang
keluar, menurut hemat saya kurang baik. Hal ini setidaknya dapat menyebabkan
dua dampak negatif berikut: 1) dengan sibuknya mencari uang keluar, pengurus
biasanya kurang fokus dalam hal perbaikan kurikulum pengaderan, akhirnya proses
pengaderan hanya bersifat asal terlaksana saja tanpa memerhatikan lagi kualitas,
2) seperti pepatah “tidak ada makan siang yang gratis”, tentu di antara para
donatur itu ada yang ikhlas dalam memberi bantuan, tetapi ada juga yang memberi
bantuan dengan tujuan mengharapkan timbal balik HMI sebagai penekan salah satu
golongan disaat mereka butuhkan.
Suatu waktu saya sendiri pernah
mendengar sebuah ide supaya mengadakan iuran bersama di antara KAHMI atau
simpatisan untuk sebagai dana abadi kegiatan per cabang HMI. Idenya cukup
bagus, yaitu dengan cara mengadakan iuran auto debet dari rekening
donatur kepada rekening KAHMI secara rutin setiap bulan dengan besaran nilai iuran
minimal Rp 10.000 dan maksimal Rp 100.000 per bulan. Ketika nanti HMI membutuhkan
dana untuk kegiatan, mereka tinggal mengajukan pencairan uang ke KAHMI, dan
ketika selesai kegiatan, mereka tinggal menyampaikan laporan kegiatannya saja.
Lalu pertanyaan yang
paling mendasar adalah kenapa harus KAHMI yang bertanggung jawab untuk keuangan
di HMI? Apakah karena KAHMI dianggap memiliki hutang budi kepada HMI?
Saya dengan tegas menjawab tidak. Saya
memahami adanya ide untuk dana abadi HMI dengan sistem auto debet tersebut
bukan sama sekali terkait adanya hutang budi KAHMI terhadap HMI. Namun menurut
saya, lebih tepatnya disini adalah karena adanya dorongan moral sebagai sesama umat
seiman. Kebetulan dalam hal ini KAHMI merupakan “tetangga” terdekat HMI. Sementara
itu, HMI juga disini merupakan organisasi non profit yang tujuannya
ingin membangun generasi muda melalui pelatihan dan transfer pengetahuan.
Jika dihubungkan maka ada sebuah
kedekatan moral antara KAHMI dan HMI. Sewajarnyalah KAHMI dalam hal ini “keluar
uang” untuk HMI karena memang diantara keduanya memiliki tujuan yang sama,
yaitu demi terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Apalagi,
hidup dan matinya, berwibawa atau tidaknya KAHMI di masa depan tergantung
kepada HMI zaman sekarang.
Namun memang layak kita sadari
bahwa untuk menciptakan kemandirian organisasi HMI melalui jalur keuangan bak
harus menegakkan benang basah. Kita tidak tahu untuk memulainya dari mana.
Makanya, di akhir diskusi saya dengan para kader yang sedang melaksanakan LK I
tersebut selalu menegaskan bahwa “HMI adalah organisasi yang dirahmati Allah
SWT. HMI adalah rumah Allah, mesjid para generasi muda dalam melaksanakan
sholat sosial maupun solat lima waktu. Sebisa mungkin kita berinfaq
sebesar-besarnya di HMI. InsyaAllah, nilai infaq ke HMI dengan nilai infaq ke
mesjid raya nilainya sama saja, bahkan mungkin nilainya lebih berkelanjutan,
sebab uang yang digunakannya dipakai langsung untuk membiayai pembangunan
manusia unggulan, dengan manusia unggulan itu akan membangun peradaban yang
saling sambung menyambung sepanjang zaman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar