Senin, 06 Juli 2020

KEUANGAN DI HMI TANGGUNG JAWAB BERSAMA

 Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Ketum HMI Cabang Bogor 2013-2014


Ketika saya memberika materi di depan adik-adik yang sedang melakukan LK I, tak jarang diantaranya yang bertanya mengenai masalah keuangan organi-sasi di HMI. Mereka biasanya bertanya mengenai dari mana sumber pendapatan keuangan organisasi.

Memang serasa sulit rasanya ketika mendapati pertanyaan seperti itu. Tapi ya bagaimana lagi, salah satu jalan yang paling baik menurut saya adalah menjelaskan apa adanya. Karena organisasi ini memang milik umat, sedangkan para pengurusnya hanya ditugasi untuk merawatnya saja. Jadi tugas penguruslah yang menyampaikan semua hal yang ingin diketahui umat tanpa ada tedeng aling-aling.

Alasan kesulitan saya untuk menjelaskan mengenai hal keuangan karena memang harus diakui bahwa dalam hal keuangan, peraturan tersebut di HMI terbilang sulit untuk diterapkan. Padahal, sudah dijelaskan dalam konstitusi, diantaranya keuangan HMI didapat dari iuran wajib anggota, iuran sukarela anggota, serta pendapatan lain di luar itu yang sifatnya tidak mengikat.

Kita harus sadari, mungkin di setiap cabang di Indonesia, saat ini sudah tidak menerapkan iuraniuran bagi anggotanya, apalagi tentang ada aturan di dalam konstitusi bahwa Pengurus Besar (PB) HMI juga mendapat bagian atas iuran wajib para anggota di tingkat cabang. 

Padahal, dengan adanya peraturan adanya iuran di HMI bagi para anggotanya itu menunjukkan bahwa HMI merupakan sebuah organisasi modern. Kita bisa melihat tentang organisasi modern pada saat ini yang bersifat internasional, semua mereka menggunakan sistem iuran kepada para anggotanya untuk melaksanakan kegiatan operasional organisasi. Makanya sangat disayangkan jika di HMI, aturan tentang iuran ini hanya menjadi pelengkap konstitusi saja tanpa ada implementasi yang berani.

Tapi disini memang terasa serba sulit, sebab yang saya rasakan sendiri, memang kondisi keuangan mahasiswa tidak sama sekali bisa diandalkan. Rasa-rasanya ada perasaan keberatan jika peraturan ini begitu tegas dijalankan. Belum lagi karena banyak karakter mahasiswa, pasti kemudian akan terdapat mahasiswa yang rajin bayar iuran, dan yang malas bayar iuran. Sementara di konstitusi tidak dibuat secara jelas tentang sanksi bagi mereka yang tidak membayar iuran.

Alhasil, karena iuran di dalam organisasi tidak berjalan, para penguruslah yang harus pintarpintar mencari uang untuk membiayai segala kegiatan di organisasi. Sumber-sumber keuangan yang biasanya menjadi andalan para pengurus adalah Alumni HMI dan lembaga-lembaga yang terkait seperti KNPI atau lembaga terkait seperti perusahaan dan kementerian. 

Kondisi di atas, dimana iuran internal organisasi sulit untuk diwujudkan sehingga pengurus disibukkan mencari uang keluar, menurut hemat saya kurang baik. Hal ini setidaknya dapat menyebabkan dua dampak negatif berikut: 1) dengan sibuknya mencari uang keluar, pengurus biasanya kurang fokus dalam hal perbaikan kurikulum pengaderan, akhirnya proses pengaderan hanya bersifat asal terlaksana saja tanpa memerhatikan lagi kualitas, 2) seperti pepatah “tidak ada makan siang yang gratis”, tentu di antara para donatur itu ada yang ikhlas dalam memberi bantuan, tetapi ada juga yang memberi bantuan dengan tujuan mengharapkan timbal balik HMI sebagai penekan salah satu golongan disaat mereka butuhkan.

Suatu waktu saya sendiri pernah mendengar sebuah ide supaya mengadakan iuran bersama di antara KAHMI atau simpatisan untuk sebagai dana abadi kegiatan per cabang HMI. Idenya cukup bagus, yaitu dengan cara mengadakan iuran auto debet dari rekening donatur kepada rekening KAHMI secara rutin setiap bulan dengan besaran nilai iuran minimal Rp 10.000 dan maksimal Rp 100.000 per bulan. Ketika nanti HMI membutuhkan dana untuk kegiatan, mereka tinggal mengajukan pencairan uang ke KAHMI, dan ketika selesai kegiatan, mereka tinggal menyampaikan laporan kegiatannya saja.

Lalu pertanyaan yang paling mendasar adalah kenapa harus KAHMI yang bertanggung jawab untuk keuangan di HMI? Apakah karena KAHMI dianggap memiliki hutang budi kepada HMI?

Saya dengan tegas menjawab tidak. Saya memahami adanya ide untuk dana abadi HMI dengan sistem auto debet tersebut bukan sama sekali terkait adanya hutang budi KAHMI terhadap HMI. Namun menurut saya, lebih tepatnya disini adalah karena adanya dorongan moral sebagai sesama umat seiman. Kebetulan dalam hal ini KAHMI merupakan “tetangga” terdekat HMI. Sementara itu, HMI juga disini merupakan organisasi non profit yang tujuannya ingin membangun generasi muda melalui pelatihan dan transfer pengetahuan.

Jika dihubungkan maka ada sebuah kedekatan moral antara KAHMI dan HMI. Sewajarnyalah KAHMI dalam hal ini “keluar uang” untuk HMI karena memang diantara keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu demi terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Apalagi, hidup dan matinya, berwibawa atau tidaknya KAHMI di masa depan tergantung kepada HMI zaman sekarang.

Namun memang layak kita sadari bahwa untuk menciptakan kemandirian organisasi HMI melalui jalur keuangan bak harus menegakkan benang basah. Kita tidak tahu untuk memulainya dari mana. Makanya, di akhir diskusi saya dengan para kader yang sedang melaksanakan LK I tersebut selalu menegaskan bahwa “HMI adalah organisasi yang dirahmati Allah SWT. HMI adalah rumah Allah, mesjid para generasi muda dalam melaksanakan sholat sosial maupun solat lima waktu. Sebisa mungkin kita berinfaq sebesar-besarnya di HMI. InsyaAllah, nilai infaq ke HMI dengan nilai infaq ke mesjid raya nilainya sama saja, bahkan mungkin nilainya lebih berkelanjutan, sebab uang yang digunakannya dipakai langsung untuk membiayai pembangunan manusia unggulan, dengan manusia unggulan itu akan membangun peradaban yang saling sambung menyambung sepanjang zaman.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar