Kamis, 09 Juli 2020

BAB II Kembang Desa

Bunga melati, bunga yang sangat disukai oleh hampir setiap manusia, atau mungkin oleh setiap manusia. Alasan seseorang menyukai bunga ini sangat bermacam-macam. Ada yang karena bau harumnya dan ada pula yang karena warna bunganya yang aduhai menggoda nurani.
Bukan hanya manusia yang menyukai keindahan bunga melati nan molek menggoda hati ini. Tetapi setiap makhluk lainpun, yang dianugerahi kelembutan rohani pasti terkagum-kagum, terpesona melihat keindahan sang melati ciptaan Tuhan itu.
Dikala sang surya mulai keluar dari peraduannya, segeralah ia menyinari sekuntum bunga melati yang berada diantara bunga-bunga mawar berduri.
Terlihat sekarang kekhawatiran semua makhluk yang sudah lama hanya memperhatikan dan mengagumi sang melati. Semuanya terlihat kaget karena mereka baru mengetahui bahwa ternyata sang melati berada diantara sela-selanya tanaman bunga mawar yang sangat berduri. Semuanya mengkhawatirkan jikalau suatu saat nanti, kembang pusaka yang bernama melati itu tergores oleh durinya mawar, sehingga melati akan terluka.
Tetapi apa boleh buat, semuanya tidak berdaya. Semuanya tidak berdaya untuk memisahkan antara melati dari kebun mawar tersebut. Karena tidak ada satupun diantara makhluk yang bisa menjamin apakah dia akan tetap hidup kalau ia dipisahkan dari kumpulan mawar itu.
“Biarkanlah, biarkanlah bunga melati itu diam disana dengan segala kelemahannya. Biarkanlah ia tumbuh mekar di kebun mawar. Biarkanlah ia tertusuk duri-durinya mawar saat angin lembut membelai tempat ini. Biarkanlah. Karena hidup adalah perjuangan, karena hidup adalah sebuah kesanggupan untuk berani.” Begitulah seruan universal yang datang pada tiap-tiap makhluk yang sedang memperhatikan sang melati. Seolah memberi harapan bahwa sebuah kelembutan yang dilambangkan oleh melati akan menang melawan duri-durinya mawar, seperti kisah perjuangannya rakyat India dahulu yang dimotori oleh Mahatma Gandhi ketika melawan penjajahan Inggris.
“Ingatlah tentang ahimsa wahai segenap rakyatku, tetaplah perjuangan kita seperti itu. Perjuangan yang sesuai dengan jiwa dan karakter dari hatinya orang-orang Hindustan. Dengan semangat ahimsa ini kita lawan bangsa Inggris itu dengan swadesi, sebuah alat yang elegan. Sebuah alat bak trisulanya Dewa Kresna. Tetaplah seperti itu. Kuatkanlah segala pondasi dan tiang yang berada di rumahmu, dan biarkanlah angin masuk dari berbagai arah. Tetaplah tegar, karena kita akan menang. Semua itu tidaklah ada artinya bagi kita sedikitpun, sampai pada suatu saat semuanya terlihat tenang, semuanya terlihat sepertinya ikhlas dengan keadaan sang melati.”
Kini tibalah bagian sang kumbang yang dengan penuh semangat hinggap di bagian mahkota sang melati, seakan baru sadar akan fungsinya, bahwa dia mempu-nyai tugas suci untuk segera mengawinkan sang putik dengan benang sari agar sang melati dapat mempunyai keturunan, sehingga ia tidak hidup merana sendirian lagi.
Tidak lama kemuadian datanglah sang kupu-kupu yang memiliki warna indah, meskipun tidak seindah pelangi. Begitu tenang, anggun, seketika kupu-kupu itu bisa menaklukkan sang melati dengan mudah. Dan melatipun tunduk dan merelakan madunya untuk dihisap sang kupu-kupu.
Begitulah sekilas gambaran tentang hiruk-pikuk dan kisah makhluk-makhluk Tuhan. Semuanya telah tertulis di sana, di tempat dimana Tuhan bertahta. Dan tanpa disadari oleh Habibah, bahwa hidupnya kini hampir sama dengan kisah sang melati di kebun mawar
itu.
Setelah ia selesai lulus sekolah, banyak sekali sang kumbang dan sang kupu-kupu yang berniat untuk menghampirinya, berusaha untuk memiliki cintanya.
Maklumlah, Habibah adalah seorang wanita yang berparas cantik dan ia pantas disebut sebagai kembang desa. Bukan hanya cantik, tetapi dia yang terhitung bisa berdan-dan. Maklum, ia terbiasa di kota, jadi tahu ber-make up. Tidak seperti para wanita lain di desanya yang kalau berdan-dan, mesti ada bisikan-bisikan nakal yang menyebutkan “kampungan, dandannya norak.”
“Ya ampun, banyak sekali para lelaki yang da-tang ke rumah. Sedangkan aku belum siap untuk meni-kah.” Ucap Habibah kepada seorang temannya yang bernama Siti.
“Habibah, kau kan sudah dewasa, umurmu sudah me-nginjak 20 tahun.” Ucap Siti.
“Emangnya ada apa dengan umurku yang 20 tahun?”
“Sudah menjadi kebiasaan disini Habibah, seorang wanita yang sudah berumur maksimal 20 tahun itu harus menikah. Kalau tidak, nanti kau banyak yang memanggil perawan tua.”
“Aku tidak ingin mendahuluimu Siti. Nanti kalau aku menikah, makin banyaklah yang memperolokmu sebagai perawan tua.” Ucap Habibah sambil tersenyum kepada Siti yang terlihat juga membalas senyumannya sambil menggelengkan kepala.
Sudah menjadi kebiasaan di sini memang. Bahwa seorang anak perempuan itu harus dinikahkan sebelum mereka berumur dua puluh tahun, atau mereka nanti cepet tua. Tua karena seringnya diomongin orang sebagai perawan tua.
Ini merupakan sebuah contoh daripada gembok psikologi yang dialami oleh warga desa. Gembok psikologi itu banyak sekali macamnya. Contohnya saja ada yang menye-butkan bahwa seorang perawan itu dilarang makan pisang ambon, karena pamali, atau jangan makan di lawang pintu, nanti akan nongtot jodoh (sulit dapat jodoh). Begitulah, hal ini adalah bagian daripada takhayul yang katanya merupakan ciri daripada masyarakat agraris. Dan hal inilah yang membuat sulitnya para warga desa untuk menerima suatu hal yang rasional dan ilmiah seperti kasus yang dialami Habibah sekarang ini. Apa dasarnya bahwa seorang anak perawan itu harus menikah sebelum umur mereka 20 tahun? Apakah sudah ada penelitiannya? Padahal pernikahan itu intinya adalah karena ada dua orang yang saling mencintai, lantas mereka berjanji untuk hidup secara berdampingan dan saling menjaga satu sama lain. Jadi, seharusnya demokrasi sedikit dong, wong anaknya belum mau menikah, kok dipaksa-paksa. Biarkanlah mereka untuk menentukan nasibnya sendiri dan menemukan orang yang ia percaya bahwa ia akan bahagia selamanya dengan pasangannya tersebut sampai nyawa meninggalkan raga.
Tapi sayang, cara berfikir yang demikian itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau orang-orang yang berilmu. Tanpa adanya cahaya ilmu, orang-orang desa ini akan seterusnya seperti ini, yaitu ketergantungan terhadap alam.
Begitupun terhadap orang tuanya Habibah, mereka tetap dan keukeuh untuk segera menikahkan Habibah dengan seorang pemuda yang kini pemilihannya atau seleksinya, sudah pada tahap semifinal.
Setelah hampir ada satu tahun. Mulanya banyak para pemuda bahkan juga duda yang sengaja datang ke rumah Habibah. Tapi sedikit demi sedikit, alam dengan dibantu oleh sang bapak telah menyeleksi mereka secara alamiah sampai sekarang yang tersisa hanya tinggal tiga orang.
“Untunglah dari ketiganya tidak ada yang duda.” Ucap Siti ketika suatu hari berbincang dengan Habibah.
Tapi entahlah, dari ketiga kumbang besar itu tidak ada satupun yang menarik perhatian sang melati.
“Mengapa kau tidak memilih Idrus? Dia sholeh, aga-mis dan selalu sopan. Banyak para orang tua yang tergiur untuk mengangkatnya menjadi mantu.” Ucap Siti berbisik.
“Aku sangat setuju dengan pendapatmu Siti. Aku lihatpun demikian. Idrus adalah seorang yang sopan, sholeh, dan agamis. Tapi pemikirannya masih orthodox. Kamu bisa bayangkan, saat aku ngobrol dengan dia, hampir tidak ada sesi untuk aku berbicara, selama 60 menit aku berbincang dengannya, dia menguasai pembicaraan 55 menit dan aku hanya 5 menit saja. Dan kamu tahu apa yang ia perbincangkan selama itu? Selama itu yang ia perbincangkan hanyalah soal surga dan neraka. Dia membicarakan keindahan surga yang membuat aku terjatuh dan terhanyut, dan kemu-dian dia menceritakan tentang mengerikannya neraka itu bagi orang-orang yang penuh dosa dan tanpa amal kebaikan di dunia ini. Aku dianggapnya hanya sebagai pendengar saja. Dan aku kira dia menikah hanya karena butuh pendengar saja, bukan butuh pendamping hidup untuk bertukar pikiran dan saling mengerti.”
Satu orang telah tereliminasi, pria yang bernama Idrus Wibawa ini yang semula menjadi kandidat nomor satu dan banyak yang mengelu-elukan  karena keramahannya, mudah tersenyum, rambut selalu disisir menyamping ala Rosululloh, berkacamata dan baju selalu dimasukkan ke dalam celana.
Kabar burung yang dibawa oleh seekor burung yang bernama Sitipun telah sampai kepada pemuda baik yang bernama Idrus, dan kemudian membuat Idrus harus merelakan hal ini dan mundur jauh sejauh-jauhnya sambil menerka apa yang tengah terjadi. Yang ia pahami hanyalah “Mungkin karena aku orang yang tidak punya” yang ia simpan di dalam kalbunya yang paling dalam. Niatnya untuk menjadi seorang imam dalam sebuah bahtera rumah tangga, kali ini telah pupus.
“Tenanglah Idrus, kau adalah orang suci, pasti di luar banyak orang yang mau menerima kamu apa adanya. Ini adalah cobaan, dan kalau kau berhasil menerima cobaan ini, kau akan masuk surga yang di dalamnya banyak bidadari-bidadari bermata jeli lagi molek.” Bisik hati yang selama ini membisiki Idrus yang selama ini ia tidak kenali dan ia tidak pahami sebagai sesuatu yang bernama ikhlas kepadaNya.
Satu orang telah tereliminasi. Kini semuanya menga-lihkan perhatiannya kepada dua orang yang tersisa yang tentu satu dari keduanya akan berhasil memetik bunga melati yang sudah lama disayembarakan. Cukuplah satu jawaban lagi, cukuplah satu komentar lagi yang keluar dari mulut sang burung tentang ya atau tidaknya salah satu diantara pesaing dan semuanya boleh mengucapkan selamat kepada sang pemenang, The Best, yang berhasil membawa piala dengan ukiran bunga melati berwarna merah darah.
“Bagaimana dengan Otong?” Ucap Siti berbisik lebih keras.
“Aku tidak tahu Ti, Otong Dananjaya adalah orang yang baik, dia adalah seorang pemuda yang mandiri, punya usaha di kota. Tapi aku menilai bahwa dia itu terlalu perhi-tungan.” Ucap Habibah menerawang.
“Maksudmu?” Ucap Siti agaknya tertantang.
“Kamu lihat sepatu yang berwarna merah jambu itu, terus jaket yang berwarna hitam itu, dan kaos kaki yang ber-warna merah jambu itu?” Tanya Habibah kepada Siti sambil menunjuk barang-barang yang ada di dalam sebuah kantong plastik besar yang bertuliskan sebuah nama supermarket yang ternama.
“Ya, aku lihat. Emangnya ada apa dengan barang-barang itu?”
“Itu semua adalah barang-barang pemberian Otong. Dia memberitahuku bahwa sepatu itu harganya Rp 500 ribu, jaket Rp 600 ribu, dan kaus kaki harganya Rp 3 ribu. Bukan hanya itu, dia memberi tahuku bahwa untuk membeli ba-rang-barang ini dia mengeluarkan ongkos sebesar Rp 300 ribu untuk pulang pergi dari desa ke Tanah Abang. O…ya, dia juga memberitahuku tentang konsumsi yang harus ia keluarkan untuk dalam perjalanan membeli barang-barang itu. Kalau aku tidak lupa, dia menyebutkan Rp 150 ribu untuk konsumsi plus rokok pulang pergi. Dan total dari semua pengor-banannya untuk membelikanku barang-barang itu sebesar Rp. 1.553.000.”
“Jadi kesimpulannya?”
“Maksudmu?”
“Kamu menolak atau menerima?”
“Menolak!!!”
Begitulah keputusan Habibah telah keluar, dan tidak bisa ditarik kembali karena burung yang bernama Siti segera menyebarkan keputusan ini kepada Kerajaan Sulaiman yang kini sudah berganti raja dengan raja yang bernama Otong Dananjaya.
Pemuda yang berperawakan tinggi kurus, sehingga bila kemana-mana mesti memakai jaket. Pemuda yang sangat mengerti ekonomi, sehingga kemana-mana mesti membawa kalkulator, untuk memudahkannya dia ketika menghitung harga barang asli dari harga barang yang didiskon. Dan kini pemuda ini telah ditolak. Semua orang menyayangkan, semuanya menggelengkan kepala sambil berucap “Apa yang kurang dari Otong?” Seorang pemuda yang mandiri, mapan, sudah punya rumah sendiri. Sayang. Sungguh bodoh orang yang menolaknya, pasti ia pada suatu hari akan menangis darah, sambil memohon kebijaksanaan Otong Dananjaya untuk memikirkan lagi tentang pernikahan.”
Kabar burung ini pun segera sampai kepada Otong sang pengganti Sulaiman. Segera ia menyadari bahwa ia te-lah kehilangan uang Rp 1.553.000. Uang yang begitu ba-nyaknya bagi dia sudah terbuang secara cuma-cuma tanpa menghasilkan sebuah laba.
“Kasihan kamu Otong, sekarang kamu baru saja menerima pelajaran bahwa harta kadang-kadang kurang berfungsi dalam menaklukkan hati wanita. Wanita itu perlu perlindungan dari seseorang yang memiliki otot, sehingga ia akan merasa aman ketika ia berjalan dengan sang pujaan hatinya. Inilah pelajaran yang berharga bagimu Otong. Mulai hari ini berjanjilah untuk selalu berolah raga saat pagi dan petang, mudah-mudahan Tuhan melihat usahamu sehingga Dia kasihan kepada-mu untuk menurunkan bidadari khusus bagimu, yang tidak pernah Dia berikan kepada siapapun.” Bisik hati Otong dalam keputusasaan dan kerugiannya.
Kini, setelah tumbangnya dua kumbang dalam kompetisinya memperoleh sang melati, semua mata ter-tuju kepada seorang kandidat terakhir yang bernama Beni.
Semuanya mulai mendekati Beni untuk menjabat tangannya Beni dan mengucap selamat atas keberha-silannya memenangkan kompetisi ini.
Beni The Winner, dialah seorang pemuda yang memiliki perawakan tinggi dan berotot besar, sehingga anjingpun takut terhadapnya. Dialah Beni yang akan menja-di penjaga sang melati sampai selanjutnya tanpa ada kekha-watiran bahwa melati akan tersakiti. Kini bukan lagi sang kumbang yang akan menjaga sang melati, melainkan seekor anjing yang siap mencakar siapapun termasuk mawar yang berani menyentuh sang melati.
Kemenangan Beni sebetulnya sudah banyak yang
memprediksi sebelumnya oleh para pengamat cinta di seki-tar desa ini. Mengingat tentang kedekatan bapak Habibah yang sudah terjalin semenjak dahulu kala. Hanya saja banyak juga memang yang tidak menjagokan Beni karena ia dianggap tidak ada spesialisasi keintelektualan melainkan hanya bermodal otot besar. Tapi mengingat bapaknya Beni yang paling kaya di desa ini, ya logis juga memang jika Habibah memilih Beni karena Beni memenuhi kriteria keturunan orang yang telah memiliki gelar haji, yang menurut pandangan orang kampung, haji itu adalah sebuah gelar tertinggi dari keagamaan. Hal itu bisa dilihat ketika ada pak ustadz berjalan dengan pak haji, pak hajilah yang pertama-tama di salam cium tangan. Selain itu meskipun Beni seorang pengangguran, tapi toh orang tuanya adalah seorang orang kaya yang siap membantu kapanpun sang anak membutuhkan bantuannya. Apalagi Beni adalah anak semata wayangnya pak haji. Dan inilah kriteria yang ketiga yang dimiliki Beni yang tidak dimiliki oleh kedua kandidat yang lainnya, yaitu sebuah badan yang atletis akibat dari latihan fitnessnya selama ini secara rutin di kota.
Kejadian ini mengakibatkan para pemuda yang me-ngikuti kompetisi ini dipaksa untuk menyadari akan segala kelemahan yang dimiliki oleh mereka. Kini semuanya mengikhlaskan sang melati dipetik oleh Beni The Winner. Semuanya sekarang melirik ke arah Beni hendak menjabat tangannya dan mengucapkan kata-kata pujian dan kata-kata selamat.
Hampir saja salah seorang diantara mereka berjabatan tangan dengan Beni The Winner yang matanya bersinar-sinar dengan senyuman yang selalu tersungging. Tiba-tiba sang burung ababilpun datang dan berbisik bahwa Habibah menolak Beni untuk menjadi suaminya.
Semuanya tersentak, dan segera jabatan tangan yang tinggal beberapa sentimeter lagi itu jaraknya gagal terjadi. Semuanya bingung, begitupun dengan Beni yang tadi matanya bersinar-sinar, sekarang sinar itu telah tersibak oleh air mata dan diganti dengan mata yang berkaca-kaca.
Tetapi ada pula perasaan percaya diri yang segera tumbuh subur kembali di dalam masing-masing dada mereka, mengingat bahwa dalam urusan cinta, bukan harta, agama, atau kekuatan yang menjadikan dasar pertimbangan. Tetapi yang berperan di sini ialah hati, yang semuanya tidak pernah tahu tentang hal ini sedikitpun, karena tidak ada tempat kursusnya.
“Semua orang heran. Kenapa kau tidak memilih Beni?” Tanya Siti.
“Biarkanlah semuanya heran, kali ini aku tidak akan memberikan alasannya, karena sesungguhnya alasan itu sebenarnya sudah ada dalam hati tiap-tiap insan yang bijak, yang tidak hanya berfikir tentang keadaan dunia yang terlihat saja. Biarkanlah mereka mengerti bahwa dalam masalah kehidupan ini tidaklah sama dengan matematik, bahwa dua ditambah dua harus sama dengan empat. Biarkanlah mereka mengetahui bahwa dua ditambah dua adalah dua puluh dua, atau tujuh, atau tak terhingga, atau seterusnya. Biarkanlah mereka mengetahui bahwa Tuhanlah yang memiliki hak tentang hati.”
Dan kini pertempuran selesai. Panggung sudah tidak berpenghuni, penonton sudah tidak mempedulikan lagi. Dalang sudah mengucap tutup lawang sigotaga. Kini semuanya sudah tidak peduli lagi tentang keberadaannya sekuntum bunga melati di kebun mawar. Biarkanlah bunga itu tumbuh subur dengan sendirinya, kita hanya puja saja dia dari kejauhan, melihat usaha kumbang dan kupu-kupu kemudian untuk mendapatkan madu sang bunga sampai kumbang dan kupu-kupu itu lelah dan putus asa karena melihat sang bunga yang setiap hari ia hampiri tidak pernah tersenyum kepadanya.
“Habibah, kalau aku sudah menikah, apakah kau juga akan menikah secepatnya?”
“Aku menikah kalau aku sudah siap. Hei….siapakah yang sudah berhasil menundukkan seekor burung ababil ini?” Ucap Habibah menggoda.
“Apakah aku perlu memberitahukanmu?”
“Kalau kau menganggap aku perlu.”
“Tidak, aku hanya akan memberikan klunya
saja.”
“Aku tidak suka klu, tapi apapun maumu, cepat beri-kan klunya!” Ucap Habibah tertawa kecil.
“Dia seorang lelaki yang sopan, berkacamata dan……………..”
“Cukup! Aku yang meneruskan. Bajunya selalu dima-sukkan ke dalam celana, bicaranya tentang surga dan neraka.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Bagaimana aku tahu? Apakah salah seorang sahabat mencari tahu?” Ucap Habibah tertawa puas. 
Mereka berdua pun larut dalam kebahagiaan, dan pada saat yang sama Idrus sedang memegangi kupingnya yang terasa mendadak panas.                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar