Bunga melati, bunga yang sangat disukai oleh hampir setiap manusia, atau mungkin oleh setiap manusia. Alasan seseorang menyukai bunga ini sangat bermacam-macam. Ada yang karena bau harumnya dan ada
pula yang karena warna bunganya yang aduhai menggoda nurani.
Bukan hanya manusia yang menyukai keindahan bunga melati nan molek menggoda hati ini. Tetapi
setiap makhluk lainpun, yang dianugerahi kelembutan rohani pasti
terkagum-kagum, terpesona melihat keindahan sang melati ciptaan Tuhan itu.
Dikala sang
surya mulai keluar dari peraduannya, segeralah ia menyinari sekuntum bunga melati yang berada
diantara bunga-bunga mawar berduri.
Terlihat
sekarang kekhawatiran semua makhluk yang sudah lama hanya memperhatikan dan
mengagumi sang melati. Semuanya terlihat kaget karena mereka baru mengetahui
bahwa ternyata sang melati berada diantara sela-selanya tanaman bunga mawar yang sangat berduri. Semuanya mengkhawatirkan
jikalau suatu saat nanti, kembang pusaka yang bernama melati itu tergores oleh
durinya mawar, sehingga melati akan terluka.
Tetapi apa
boleh buat, semuanya tidak berdaya. Semuanya tidak berdaya untuk memisahkan
antara melati dari kebun mawar tersebut. Karena tidak ada satupun diantara
makhluk yang bisa menjamin apakah dia akan tetap hidup kalau ia dipisahkan dari
kumpulan mawar itu.
“Biarkanlah,
biarkanlah bunga melati itu diam disana dengan segala kelemahannya. Biarkanlah
ia tumbuh mekar di kebun mawar. Biarkanlah ia tertusuk duri-durinya mawar saat
angin lembut membelai tempat ini. Biarkanlah. Karena hidup adalah perjuangan,
karena hidup adalah sebuah kesanggupan untuk berani.” Begitulah seruan
universal yang datang pada tiap-tiap makhluk yang sedang memperhatikan sang
melati. Seolah memberi harapan bahwa sebuah kelembutan yang dilambangkan oleh
melati akan menang melawan duri-durinya mawar, seperti kisah perjuangannya rakyat
India dahulu yang dimotori oleh Mahatma Gandhi ketika melawan penjajahan
Inggris.
“Ingatlah
tentang ahimsa wahai segenap rakyatku,
tetaplah perjuangan kita seperti itu. Perjuangan yang sesuai dengan jiwa dan
karakter dari hatinya orang-orang Hindustan. Dengan semangat ahimsa ini kita
lawan bangsa Inggris itu dengan swadesi,
sebuah alat yang elegan. Sebuah alat bak trisulanya Dewa Kresna. Tetaplah
seperti itu. Kuatkanlah segala pondasi dan tiang yang berada di rumahmu, dan
biarkanlah angin masuk dari berbagai arah. Tetaplah tegar, karena kita akan
menang. Semua itu tidaklah ada artinya bagi kita sedikitpun, sampai pada suatu
saat semuanya terlihat tenang, semuanya terlihat sepertinya ikhlas dengan
keadaan sang melati.”
Kini tibalah
bagian sang kumbang yang dengan penuh semangat hinggap di bagian mahkota sang
melati, seakan baru sadar akan fungsinya, bahwa dia mempu-nyai tugas suci untuk
segera mengawinkan sang putik dengan benang sari agar sang melati dapat
mempunyai keturunan, sehingga ia tidak hidup merana sendirian lagi.
Tidak lama
kemuadian datanglah sang kupu-kupu yang memiliki warna indah, meskipun tidak
seindah pelangi. Begitu tenang, anggun, seketika kupu-kupu itu bisa menaklukkan
sang melati dengan mudah. Dan melatipun tunduk dan merelakan madunya untuk
dihisap sang kupu-kupu.
Begitulah
sekilas gambaran tentang hiruk-pikuk dan kisah makhluk-makhluk Tuhan. Semuanya
telah tertulis di sana, di tempat dimana Tuhan bertahta. Dan tanpa disadari
oleh Habibah, bahwa hidupnya kini hampir sama dengan kisah sang melati di kebun
mawar
itu.
Setelah ia
selesai lulus sekolah, banyak sekali sang kumbang dan sang kupu-kupu yang
berniat untuk menghampirinya, berusaha untuk memiliki cintanya.
Maklumlah,
Habibah adalah seorang wanita yang berparas cantik dan ia pantas disebut
sebagai kembang desa. Bukan hanya cantik, tetapi dia yang terhitung bisa berdan-dan.
Maklum, ia terbiasa di kota, jadi tahu ber-make
up. Tidak seperti para wanita lain di desanya yang kalau berdan-dan, mesti
ada bisikan-bisikan nakal yang menyebutkan “kampungan, dandannya norak.”
“Ya ampun,
banyak sekali para lelaki yang da-tang ke rumah. Sedangkan aku belum siap untuk
meni-kah.” Ucap Habibah kepada seorang temannya yang bernama Siti.
“Habibah, kau
kan sudah dewasa, umurmu sudah me-nginjak 20 tahun.” Ucap Siti.
“Emangnya ada
apa dengan umurku yang 20 tahun?”
“Sudah
menjadi kebiasaan disini Habibah, seorang wanita yang sudah berumur maksimal 20
tahun itu harus menikah. Kalau tidak, nanti kau banyak yang memanggil perawan
tua.”
“Aku tidak
ingin mendahuluimu Siti. Nanti kalau aku menikah, makin banyaklah yang
memperolokmu sebagai perawan tua.” Ucap Habibah sambil tersenyum kepada Siti
yang terlihat juga membalas senyumannya sambil menggelengkan kepala.
Sudah menjadi
kebiasaan di sini memang. Bahwa seorang anak perempuan itu harus dinikahkan
sebelum mereka berumur dua puluh tahun, atau mereka nanti cepet tua. Tua karena
seringnya diomongin orang sebagai perawan tua.
Ini merupakan
sebuah contoh daripada gembok psikologi yang dialami oleh warga desa. Gembok
psikologi itu banyak sekali macamnya. Contohnya saja ada yang menye-butkan
bahwa seorang perawan itu dilarang makan pisang ambon, karena pamali, atau jangan makan di lawang
pintu, nanti akan nongtot jodoh (sulit
dapat jodoh). Begitulah, hal ini adalah bagian daripada takhayul yang katanya
merupakan ciri daripada masyarakat agraris. Dan hal inilah yang membuat
sulitnya para warga desa untuk menerima suatu hal yang rasional dan ilmiah
seperti kasus yang dialami Habibah sekarang ini. Apa dasarnya bahwa seorang
anak perawan itu harus menikah sebelum umur mereka 20 tahun? Apakah sudah ada
penelitiannya? Padahal pernikahan itu intinya adalah karena ada dua orang yang
saling mencintai, lantas mereka berjanji untuk hidup secara berdampingan dan
saling menjaga satu sama lain. Jadi, seharusnya demokrasi sedikit dong, wong
anaknya belum mau menikah, kok dipaksa-paksa. Biarkanlah mereka untuk menentukan
nasibnya sendiri dan menemukan orang yang ia percaya bahwa ia akan bahagia
selamanya dengan pasangannya tersebut sampai nyawa meninggalkan raga.
Tapi sayang,
cara berfikir yang demikian itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang
memiliki ilmu pengetahuan atau orang-orang yang berilmu. Tanpa adanya cahaya
ilmu, orang-orang desa ini akan seterusnya seperti ini, yaitu ketergantungan
terhadap alam.
Begitupun
terhadap orang tuanya Habibah, mereka tetap dan keukeuh untuk segera menikahkan Habibah dengan seorang pemuda yang
kini pemilihannya atau seleksinya, sudah pada tahap semifinal.
Setelah hampir
ada satu tahun. Mulanya banyak para pemuda bahkan juga duda yang sengaja datang
ke rumah Habibah. Tapi sedikit demi sedikit, alam dengan dibantu oleh sang
bapak telah menyeleksi mereka secara alamiah sampai sekarang yang tersisa hanya
tinggal tiga orang.
“Untunglah
dari ketiganya tidak ada yang duda.” Ucap Siti ketika suatu hari berbincang
dengan Habibah.
Tapi entahlah,
dari ketiga kumbang besar itu tidak ada satupun yang menarik perhatian sang
melati.
“Mengapa kau
tidak memilih Idrus? Dia sholeh, aga-mis dan selalu sopan. Banyak para orang
tua yang tergiur untuk mengangkatnya menjadi mantu.” Ucap Siti berbisik.
“Aku sangat
setuju dengan pendapatmu Siti. Aku lihatpun demikian. Idrus adalah seorang yang
sopan, sholeh, dan agamis. Tapi pemikirannya masih orthodox. Kamu bisa bayangkan, saat aku ngobrol dengan dia, hampir
tidak ada sesi untuk aku berbicara, selama 60 menit aku berbincang dengannya,
dia menguasai pembicaraan 55 menit dan aku hanya 5 menit saja. Dan kamu tahu
apa yang ia perbincangkan selama itu? Selama itu yang ia perbincangkan hanyalah
soal surga dan neraka. Dia membicarakan keindahan surga yang membuat aku
terjatuh dan terhanyut, dan kemu-dian dia menceritakan tentang mengerikannya
neraka itu bagi orang-orang yang penuh dosa dan tanpa amal kebaikan di dunia
ini. Aku dianggapnya hanya sebagai pendengar saja. Dan aku kira dia menikah
hanya karena butuh pendengar saja, bukan butuh pendamping hidup untuk bertukar
pikiran dan saling mengerti.”
Satu orang
telah tereliminasi, pria yang bernama Idrus Wibawa ini yang semula menjadi
kandidat nomor satu dan banyak yang mengelu-elukan karena keramahannya, mudah tersenyum, rambut
selalu disisir menyamping ala
Rosululloh, berkacamata dan baju selalu dimasukkan ke dalam celana.
Kabar burung
yang dibawa oleh seekor burung yang bernama Sitipun telah sampai kepada pemuda
baik yang bernama Idrus, dan kemudian membuat Idrus harus merelakan hal ini
dan mundur jauh sejauh-jauhnya sambil menerka apa yang tengah terjadi. Yang ia
pahami hanyalah “Mungkin karena aku orang yang tidak punya” yang ia simpan di
dalam kalbunya yang paling dalam. Niatnya untuk menjadi seorang imam dalam
sebuah bahtera rumah tangga, kali ini telah pupus.
“Tenanglah
Idrus, kau adalah orang suci, pasti di luar banyak orang yang mau menerima kamu
apa adanya. Ini adalah cobaan, dan kalau kau berhasil menerima cobaan ini, kau
akan masuk surga yang di dalamnya banyak bidadari-bidadari bermata jeli lagi
molek.” Bisik hati yang selama ini membisiki Idrus yang selama ini ia tidak
kenali dan ia tidak pahami sebagai sesuatu yang bernama ikhlas kepadaNya.
Satu orang
telah tereliminasi. Kini semuanya menga-lihkan perhatiannya kepada dua orang
yang tersisa yang tentu satu dari keduanya akan berhasil memetik bunga melati
yang sudah lama disayembarakan. Cukuplah satu jawaban lagi, cukuplah satu komentar
lagi yang keluar dari mulut sang burung tentang ya atau tidaknya salah satu
diantara pesaing dan semuanya boleh mengucapkan selamat kepada sang pemenang, The Best, yang berhasil membawa piala
dengan ukiran bunga melati berwarna merah darah.
“Bagaimana
dengan Otong?” Ucap Siti berbisik lebih keras.
“Aku tidak
tahu Ti, Otong Dananjaya adalah orang yang baik, dia adalah seorang pemuda yang
mandiri, punya usaha di kota. Tapi aku menilai bahwa dia itu terlalu perhi-tungan.”
Ucap Habibah menerawang.
“Maksudmu?”
Ucap Siti agaknya tertantang.
“Kamu lihat
sepatu yang berwarna merah jambu itu, terus jaket yang berwarna hitam itu, dan
kaos kaki yang ber-warna merah jambu itu?” Tanya Habibah kepada Siti sambil
menunjuk barang-barang yang ada di dalam sebuah kantong plastik besar yang
bertuliskan sebuah nama supermarket yang ternama.
“Ya, aku
lihat. Emangnya ada apa dengan barang-barang itu?”
“Itu semua
adalah barang-barang pemberian Otong. Dia memberitahuku bahwa sepatu itu
harganya Rp 500 ribu, jaket Rp 600 ribu, dan kaus kaki harganya Rp 3 ribu.
Bukan hanya itu, dia memberi tahuku bahwa untuk membeli ba-rang-barang ini dia
mengeluarkan ongkos sebesar Rp 300 ribu untuk pulang pergi dari desa ke Tanah
Abang. O…ya, dia juga memberitahuku tentang konsumsi yang harus ia keluarkan
untuk dalam perjalanan membeli barang-barang itu. Kalau aku tidak lupa, dia
menyebutkan Rp 150 ribu untuk konsumsi plus rokok pulang pergi. Dan total dari
semua pengor-banannya untuk membelikanku barang-barang itu sebesar Rp.
1.553.000.”
“Jadi
kesimpulannya?”
“Maksudmu?”
“Kamu menolak
atau menerima?”
“Menolak!!!”
Begitulah
keputusan Habibah telah keluar, dan tidak bisa ditarik kembali karena burung
yang bernama Siti segera menyebarkan keputusan ini kepada Kerajaan Sulaiman
yang kini sudah berganti raja dengan raja yang bernama Otong Dananjaya.
Pemuda yang
berperawakan tinggi kurus, sehingga bila kemana-mana mesti memakai jaket.
Pemuda yang sangat mengerti ekonomi, sehingga kemana-mana mesti membawa
kalkulator, untuk memudahkannya dia ketika menghitung harga barang asli dari
harga barang yang didiskon. Dan kini pemuda ini telah ditolak. Semua orang
menyayangkan, semuanya menggelengkan kepala sambil berucap “Apa yang kurang
dari Otong?” Seorang pemuda yang mandiri, mapan, sudah punya rumah sendiri.
Sayang. Sungguh bodoh orang yang menolaknya, pasti ia pada suatu hari akan
menangis darah, sambil memohon kebijaksanaan Otong Dananjaya untuk memikirkan
lagi tentang pernikahan.”
Kabar burung
ini pun segera sampai kepada Otong sang pengganti Sulaiman. Segera ia menyadari
bahwa ia te-lah kehilangan uang Rp 1.553.000. Uang yang begitu ba-nyaknya bagi
dia sudah terbuang secara cuma-cuma tanpa menghasilkan sebuah laba.
“Kasihan kamu
Otong, sekarang kamu baru saja menerima pelajaran bahwa harta kadang-kadang
kurang berfungsi dalam menaklukkan hati wanita. Wanita itu perlu perlindungan
dari seseorang yang memiliki otot, sehingga ia akan merasa aman ketika ia
berjalan dengan sang pujaan hatinya. Inilah pelajaran yang berharga bagimu
Otong. Mulai hari ini berjanjilah untuk selalu berolah raga saat pagi dan
petang, mudah-mudahan Tuhan melihat usahamu sehingga Dia kasihan kepada-mu
untuk menurunkan bidadari khusus bagimu, yang tidak pernah Dia berikan kepada
siapapun.” Bisik hati Otong dalam keputusasaan dan kerugiannya.
Kini, setelah
tumbangnya dua kumbang dalam kompetisinya memperoleh sang melati, semua mata
ter-tuju kepada seorang kandidat terakhir yang bernama Beni.
Semuanya
mulai mendekati Beni untuk menjabat tangannya Beni dan mengucap selamat atas
keberha-silannya memenangkan kompetisi ini.
Beni The Winner, dialah seorang pemuda yang
memiliki perawakan tinggi dan berotot besar, sehingga anjingpun takut
terhadapnya. Dialah Beni yang akan menja-di penjaga sang melati sampai selanjutnya
tanpa ada kekha-watiran bahwa melati akan tersakiti. Kini bukan lagi sang
kumbang yang akan menjaga sang melati, melainkan seekor anjing yang siap
mencakar siapapun termasuk mawar yang berani menyentuh sang melati.
Kemenangan
Beni sebetulnya sudah banyak yang
memprediksi
sebelumnya oleh para pengamat cinta di seki-tar desa ini. Mengingat tentang
kedekatan bapak Habibah yang sudah terjalin semenjak dahulu kala. Hanya saja
banyak juga memang yang tidak menjagokan Beni karena ia dianggap tidak ada
spesialisasi keintelektualan melainkan hanya bermodal otot besar. Tapi
mengingat bapaknya Beni yang paling kaya di desa ini, ya logis juga memang jika
Habibah memilih Beni karena Beni memenuhi kriteria keturunan orang yang telah
memiliki gelar haji, yang menurut pandangan orang kampung, haji itu adalah
sebuah gelar tertinggi dari keagamaan. Hal itu bisa dilihat ketika ada pak
ustadz berjalan dengan pak haji, pak hajilah yang pertama-tama di salam cium
tangan. Selain itu meskipun Beni seorang pengangguran, tapi toh orang tuanya
adalah seorang orang kaya yang siap membantu kapanpun sang anak membutuhkan
bantuannya. Apalagi Beni adalah anak semata wayangnya pak haji. Dan inilah
kriteria yang ketiga yang dimiliki Beni yang tidak dimiliki oleh kedua kandidat
yang lainnya, yaitu sebuah badan yang atletis akibat dari latihan fitnessnya
selama ini secara rutin di kota.
Kejadian ini
mengakibatkan para pemuda yang me-ngikuti kompetisi ini dipaksa untuk menyadari
akan segala kelemahan yang dimiliki oleh mereka. Kini semuanya mengikhlaskan
sang melati dipetik oleh Beni The Winner.
Semuanya sekarang melirik ke arah Beni hendak menjabat tangannya dan
mengucapkan kata-kata pujian dan kata-kata selamat.
Hampir saja
salah seorang diantara mereka berjabatan tangan dengan Beni The Winner yang matanya bersinar-sinar
dengan senyuman yang selalu tersungging. Tiba-tiba sang burung ababilpun datang
dan berbisik bahwa Habibah menolak Beni untuk menjadi suaminya.
Semuanya
tersentak, dan segera jabatan tangan yang tinggal beberapa sentimeter lagi itu
jaraknya gagal terjadi. Semuanya bingung, begitupun dengan Beni yang tadi matanya
bersinar-sinar, sekarang sinar itu telah tersibak oleh air mata dan diganti
dengan mata yang berkaca-kaca.
Tetapi ada
pula perasaan percaya diri yang segera tumbuh subur kembali di dalam
masing-masing dada mereka, mengingat bahwa dalam urusan cinta, bukan harta,
agama, atau kekuatan yang menjadikan dasar pertimbangan. Tetapi yang berperan
di sini ialah hati, yang semuanya tidak pernah tahu tentang hal ini sedikitpun,
karena tidak ada tempat kursusnya.
“Semua orang
heran. Kenapa kau tidak memilih Beni?” Tanya Siti.
“Biarkanlah
semuanya heran, kali ini aku tidak akan memberikan alasannya, karena
sesungguhnya alasan itu sebenarnya sudah ada dalam hati tiap-tiap insan yang
bijak, yang tidak hanya berfikir tentang keadaan dunia yang terlihat saja.
Biarkanlah mereka mengerti bahwa dalam masalah kehidupan ini tidaklah sama
dengan matematik, bahwa dua ditambah dua harus sama dengan empat. Biarkanlah mereka
mengetahui bahwa dua ditambah dua adalah dua puluh dua, atau tujuh, atau tak
terhingga, atau seterusnya. Biarkanlah mereka mengetahui bahwa Tuhanlah yang
memiliki hak tentang hati.”
Dan kini
pertempuran selesai. Panggung sudah tidak berpenghuni, penonton sudah tidak
mempedulikan lagi. Dalang sudah mengucap tutup lawang sigotaga. Kini semuanya
sudah tidak peduli lagi tentang keberadaannya sekuntum bunga melati di kebun
mawar. Biarkanlah bunga itu tumbuh subur dengan sendirinya, kita hanya puja
saja dia dari kejauhan, melihat usaha kumbang dan kupu-kupu kemudian untuk
mendapatkan madu sang bunga sampai kumbang dan kupu-kupu itu lelah dan putus
asa karena melihat sang bunga yang setiap hari ia hampiri tidak pernah tersenyum
kepadanya.
“Habibah,
kalau aku sudah menikah, apakah kau juga akan menikah secepatnya?”
“Aku menikah
kalau aku sudah siap. Hei….siapakah yang sudah berhasil menundukkan seekor
burung ababil ini?” Ucap Habibah menggoda.
“Apakah aku
perlu memberitahukanmu?”
“Kalau kau
menganggap aku perlu.”
“Tidak, aku
hanya akan memberikan klunya
saja.”
“Aku tidak
suka klu, tapi apapun maumu, cepat beri-kan klunya!” Ucap Habibah tertawa
kecil.
“Dia seorang
lelaki yang sopan, berkacamata dan……………..”
“Cukup! Aku
yang meneruskan. Bajunya selalu dima-sukkan ke dalam celana, bicaranya tentang
surga dan neraka.”
“Bagaimana
kau tahu?”
“Bagaimana
aku tahu? Apakah salah seorang sahabat mencari tahu?” Ucap Habibah tertawa
puas.
Mereka berdua pun larut dalam kebahagiaan, dan pada
saat yang sama Idrus sedang memegangi kupingnya yang terasa mendadak
panas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar