Kamis, 09 Juli 2020

BAB III Kelaban, I Am Coming


Semenjak kelulusannya dari SMA, Habibah kem-bali ke kampung halaman, meninggalkan semua kenangan perjuangan yang selama tiga tahun yang lalu telah ia perjuangkan dengan tertatih-tatih, dengan peluh dan air mata.
     Habibah kembali bagai seorang Djingis Khan yang telah kehilangan masanya untuk berjuang. Kem-bali dengan tanpa persiapan. Entah apa yang akan dilakukannya di desanya ini. Desa Kelaban yang tidak banyak diminati oleh warganya sebagai tempat untuk mencari nafkah, selain petani yang siap hidup menderita karena tanah yang dijadikannya untuk bertanam adalah tanah yang kurang menjanjikan. Tanah latosol kelabu. Atau mereka para supir angkutan yang hidupnya agak menjanjikan karena letak Desa Kelaban yang jauh dari perkotaan dan berpenduduk banyak.
     Kebanyakan dari penduduk yang sudah bosan di
desa karena tidak bisa kaya, mereka pergi ke kota-kota besar untuk bekerja. Mereka bisa dibilang nekad, dengan modal hanya ijazah setingkat SMP, SD, atau SMA.
     Yang bisa diacungi jempol untuk mereka yang pergi ke kota adalah mereka mempunyai sikap yang ulet, rajin, dan tidak ada kata gengsi. Mau kerja apapun boleh, asal masih ada uangnya untuk mereka memenuhi kebutuhan keluarga mereka di kampung.
     Wajarlah mereka memiliki begitu besar semangat, karena di dalam jiwa mereka telah tertanam tentang philosofi Kuda Kuningan yang kecil tapi enerjik, larinya cepat, menyusup bagaikan kilat yang berjalan di sela-sela udara. Terus maju dan menerjang ke medan perang membawa sang patriot di pundaknya. Tidak peduli badan dipenuhi luka, darah mengalir membasahi kaki sang patriot. Walau pahit getir, harus tetap maju, melesat. Kuda Kuningan hanya terdiam ketika menang atau mati sekalian.
     Philosofi itu mereka dapatkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dari sejak kecil mereka selalu mendengar bahwa warga Kuningan, khusus-nya warga Desa Kelaban adalah sebuah kota para pejuang yang gagah berani sejak dari dahulu semenjak pertama kali kota ini didirikan oleh Pangeran Aria Kamuning, yaitu anak dari Pangeran Siliwangi.
     Cerita perjuangan Kuda Kuningan dan Pangeran
Aria Kamuning inilah yang menjadikan warga di daerah Desa Kelaban tidak takut dengan apapun. Cerita ini yang benar-benar telah membakar, sebagaimana membakarnya cerita Suku Kyat kepada hati sang imperialis yang bernama Djingis Khan pada saat sang imperialis ini masih seorang Temujin. Setiap hari, ibunya yang sudah resmi dikeluarkan dari sukunya, menceritakan kepada Djingis Khan kecil bahwa ia adalah keturunan Suku Kyat yang gagah berani, yang disegani oleh suku-suku lain di sekitarnya. Begitulah, terus cerita itu diulang-ulang kepada Djingis Khan anaknya, sehingga tumbuhlah kepercayaan kepada Djingis Khan bahwa ia adalah bagian dari suku terkuat. Dan ia ditakdirkan untuk menjadi penguasa, seorang imperialis terbesar di dunia yang hidup di wilayah Asia.
     Atas keberhasilan Djingis Khan ini, banyak orang yang terinspirasi, banyak orang yang kemudian mencontoh akan taktik perangnya sang panglima terbesar tanpa guru itu. Seperti kemudian sejarah menulis bahwa Kubilai Khan dan Hittler adalah dua orang yang berhasil menjadi besar dengan mempelajari taktik perangnya Djingis Khan.
     Begitupun halnya dengan warga Desa Kelaban yang punya sikap pantang menyerah itu, mereka pergi ke kota untuk bertempur habis-habisan demi kesejahteraan rumah tangga mereka. Mereka bagaikan seorang Kubilai Khan yang terus berjuang tanpa mendengar, kecuali mendengar bahwa dulu, orang yang bernama Djingis Khan pun bisa, lalu mengapa kamu tidak bisa, kamu pasti bisa!
     Meskipun desa ini terkenal akan perantaunya, tetapi tidak semua warga desa merantau. Sebagian dari mereka ada yang beternak sapi atau kambing sayur, atau sebagian lagi ada yang bersawah atau berkebun. Dan sebagian lagi ada yang sebagai guru di SD, SMP dan SMA.
     Seperti halnya bapak dan ibu Habibah. Mereka ter-masuk petani yang memiliki tanah agak luas, meskipun kurang subur. Dari tanah inilah mereka bisa menyekolahkan Habibah sampai tingkat SMA.
     “Bapak dan ibu adalah petani, apakah aku harus men-jadi petani lagi?” Ucap Habibah di dalam kesendiriannya.
     Memang hal tersebut sudah menjadi lumrah sekali walaupun kini sudah zaman demokrasi. Anak seorang politisi akan menjadi politisi lagi, anak seorang pengusaha akan menjadi pengusaha lagi, anak seorang perwira militer akan menjadi perwira militer lagi, anak seorang petani akan menjadi petani lagi, anak seorang pedagang gorengan akan menjadi pedagang gorengan lagi, anak seorang buruh akan menjadi buruh lagi.
     “Habibah, kenapa kau tidak pergi saja ke kota? Dengan ijazahmu itu, dan dengan parasmu yang cantik itu pasti banyak perusahaan yang memerlikanmu minimal supermarket atau restoran”. Sahut sebuah suara yang tidak jelas bentuk rupanya.
     “Ah… Tidak, bapak dan ibuku tetap berpesan bahwa aku tidak boleh ke kota. Apalagi aku tidak mau nasibku sama dengan Nunung dan Yadi yang mereka seolah-olah tidak ada harapan lagi untuk melanjutkan sekolah. Sebisa-bisa aku akan hidup di desaku ini, sampai satu saat kemudian Tuhan memberiku rejeki agar aku bisa sekolah lagi di universitas daerah.” Jawab Habibah tegas.
     Ada sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa “Jadilah orang pintar, maka semua orang akan membutuhkanmu.” Begitu pula dengan Habibah. Tidak seberapa lama setelah Habibah lulus dari SMA, pada suatu hari datanglah sebuah tawaran untuk mengajar di sebuah SD sebagai guru. Kesempatan ini segeralah diambil oleh Habibah dengan rasa yang sangat gembira.
     “Saya senang dengan anak-anak, dan saya yakin saya bisa menjalankan tugas ini.” Jawab Habibah saat menjawab pertanyaan dari kepala sekolah pada saat wawancara.
     Akhirnya sebuah pekerjaan yang sebelumnya tidak disangka-sangka, kini harus ia kerjakan, yaitu seorang guru SD.
     Kata orang, guru adalah sebuah profesi yang memang kurang menjanjikan dalam hal kesejahteraan. Namanya memang mendadak terhormat di dalam kehidupan masyarakat, bahkan panggilannya pun menjadi Pak Guru atau Bu Guru, dan Pak Mantri atau Bu Mantri bagi kepala sekolahnya. Namun, hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak diantaranya orang tua sang gadis yang berbisik kepada anaknya, bahwa jangan sampai anaknya berjodoh dengan seorang guru, guru itu kehidupannya sudah bisa ditebak, yaitu kaya tidak, miskin tidak. Pada awalnya mereka mendiami rumah mertua atau rumah dinas, baru setelah itu sedikit demi sedikit menyicil rumah yang sederhana, dan seterusnya beranak dan mati di rumah itu.
     Begitupun sama halnya dengan orang tua Habibah yang sangat berpesan kepada anaknya janganlah tergoda oleh wibawa atau gayanya seorang guru, mereka cuma mempunyai wibawa dan cinta saja, yang tidak akan cukup untuk menjamin tetap mengepulnya asap dapur tanpa bantuan mertua.
     Sungguh ironis memang keadaan nasib seorang guru yang tugasnya membentuk jiwa karakter anak bangsa dan  menciptakan kecerdasan bangsa, yang menurut Bung Karno jabatan seorang guru adalah lebih penting daripada jabatan seorang jurnalis atau jabatan seorang politisi.
     Di satu sisi memang undang-undang pendidikan sudah baik daripada sebelumnya, tetapi di sisi yang lain lagi, marilah kita jujur bahwa nasib guru masih belum terjamin. Kita pasti sudah pernah mendengar bahwa gaji mereka perbulan hanya cukup untuk hidup selama satu minggu saja. Kita pasti sudah mendengar bahwa banyak guru yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek atau pemungut sampah.
     Hal ini percis dialami oleh Habibah. Gaji yang ia dapatkan dari honornya mengajar setiap hari dari jam 7 sampai dengan jam 12 itu hanya dihargai sebesar delapan puluh ribu rupiah atau sekitar Rp 2.400 perhari. Maka dari itu Habibah sangat memahami sekali ketika ada seorang guru yang mengatakan “Sudahlah Habibah, jangan terlalu rajin. Kita ini hanya seorang guru sukwan. Jangan membuat Negara makin menderita lagi karena ia punya utang kepadamu yang harus dibayar di akhirat kelak.” Mendengar perkataan itu Habibah hanya melirik dan tersenyum kepada seorang guru yang sedang menggodanya itu. Habibah tidak menjawabnya sama sekali. Ia mengerti bahwa jauh di dalam hati sang guru itu sebenarnya ada sebuah mutiara yang sangat berkilauan yang jauh melebihi cintanya seorang prajurit perang atau presiden sekalipun. Hanya saja guru tersebut memerlukan seseorang yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya dan kekhawatiran jika sang keluarganya hidup melarat dan anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah.
     Sulit memang jika kita harus mendengarkan segala keluh kesah para guru. Berbagai macam kisah yang ada mu-lai dari kecilnya gaji guru, sulitnya menjadi CPNS apalagi PNS dan yang paling sulit adalah ketika keluarga sedang kekurangan uang, kemana harus mencari? Mau korupsi pun apa yang bisa dikorupsi oleh seorang guru. Giliran seorang guru sedikit kreatif dengan membuat sebuah buku dan mengharuskan para siswa untuk membelinya, maka langsung para wali murid melayangkan keberatan dan menganggap bahwa sang guru telah mengadakan komersialisasi pendidikan.
     Dari kejadian ini dapatlah disimpulkan bahwa syarat untuk menjadi seorang guru haruslah mengerti betul apa yang disebut dengan keikhlasan. Yang harus meliputi kegia-tan dari awalnya pekerjaan, sampai pekerjaan itu sedang berlangsung, sampai akhirnya kegiatan tersebut. Jikalau hal ini telah dilaksanakan, dan menjadi kepribadian seorang guru, maka guru itu akan menjadi guru yang benar-benar guru, yang hanya peduli dengan kesejahteraan orang lain dan tidak memikirkan tentang kesejahteraan dirinya sendiri. Karena ia yakin bahwa dengan banyaknya memberi dia akan banyak juga menerima. Dengan banyaknya memberi ilmu kepada orang lain, banyak pula Tuhan memberikan rejeki yang lain kepadanya. Karena sesungguhnya setiap tarikan nafas yang kita gunakan akan selalu ada perhitungannya.
***
Di Kampung Kelaban ini, atau bahkan di seluruh pelosok negeri ini. Biasanya seorang guru dianggap sebagai seorang yang luar biasa. Sebagai seorang yang pintar dalam pengetahuannya dan halus budi dalam gerak-geriknya. Sehingga kata guru itu diakronimkan sebagai orang yang pantas untuk digugu dan ditiru.
     Kalau ada sebuah acara sunatan atau akad nikah, tentulah guru ditunjuk sebagai orang yang memberikan sambutan. Jika tidak, minimal guru itu menjadi MC. Pokoknya, dalam kehidupan masyarakat guru itu mendapat tempat yang terhormat. Tapi itulah pintarnya warga masyarakat. Mereka bisa membedakan antara urusan kedudukan dan urusan ekonomi. Buktinya tetap saja banyak orang tua yang berbisik kepada anak gadisnya
     “Awas! Ati-ati! Jauhi kesengsaraan! Cari dulu alternative lain. Baru setelah itu kalau benar-benar jalan buntu, kamu boleh nikah dengan guru.”
     Tentang anggapan masyarakat bahwa guru itu adalah orang yang segala bisa, itu dialami juga oleh Habibah. Suatu hari Habibah kedatangan Pak Lurah bahwa dirinya ditunjuk sebagai panitia dalam kegiatan program padat karya dalam rangka pembuatan akses jalan dan saluran irigasi di desa ini. Tugasnya adalah mengkoordinir seluruh pemudi dalam rangka ikut membantu dalam suksesnya acara ini. Program padat karya ini akan dilaksanakan oleh sebuah lembaga pemerintah yang khusus menangani desa-desa terting-gal. Pada awalnya Habibah menolaknya dengan alasan bahwa ia mempunyai amanah yang lain yaitu mengajar. Tetapi setelah kemudian Pak Lurah menerangkan hal-hal teknisnya, bahwa pekerjaan ini tidak harus dilakukan setiap hari dan setiap saat. Maka Habibah menerimanya, meskipun ada keraguan di dalam hatinya.
     Singkatnya cerita sekarang proyek itu pun segera dimulai. Sebuah proyek yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, yang sesuai dengan sila kelima dalam pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
     Pembengunan akses jalan dan saluran irigasi memang sangat diperlukan oleh masyarakat Desa Kelaban mengingat ketinggian tanahnya yang cukup tinggi dari permukaan laut, sehingga diharapkan dengan diperbaikinya akses jalan dan dibuatnya saluran irigasi, hal ini dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga bagi petani. Yang selama ini mengeluhkan sulitnya transportasi ke luar desa.
     Selama ini petani hanya menanami sawahnya itu satu kali dalam satu tahun, dan itupun hanya memanfaatkan air hujan sebagai sumber pengairannya. Maka dari itu para warga yang masih muda dan tangkas, banyak yang pergi ke kota untuk bekerja di kota.
     Program terus berjalan. Rencananya program ini akan berlangsung selama enam bulan.
     Sudah hampir program berjalan setengahnya, tetapi bagi Habibah tidak ada beban sama sekali, malahan program ini menjadi sebuah program alternative semata dimana dia jenuh dengan tugasnya di sekolah.
     Cerita pun semakin seru untuk diikuti untuk ketika ia bertemu dengan sang kepala proyek ini. Seorang pria yang sangat menarik bagi Habibah. Namanya adalah Abi.
     Abi adalah seorang pria yang berasal dari Ciamis, dia adalah seorang pria yang enerjik dan penuh dengan rasa tanggung jawab. Dia adalah seorang lulusan universitas ternama di kota. Dan baru lulus tahun kemarin.
     Kedekatan antara Habibah dan Abi segera saja terjalin saat Abi mengangkat Habibah sebagai sekretarisnya. Dan sebagai sekertaris, Habibah harus terus mendampingi Abi ketika ada rapat koordinasi. Rapat biasanya dilakukan pada malam hari, sambil melepas rasa lelah yang diakibatkan siangnya yang sangat berat bekerja. Dan ketika rapat telah selesai, biasanya Abi memaksa untuk mengantarkan Habibah pulang.
     Dari sinilah, dari perjalanan antara tempat rapat dan rumah Habibah akhirnya timbul rasa-rasa yang aneh diantara keduanya. Inilah rasa suci dan fitrah bagi setiap makhluk yang Tuhan ciptakan secara berpasang-pasangan. Rasa ini yang melahirkan rasa rindu jika tidak bertemu dan rasa indah ketika bertemu, serasa dunia ini adalah milik mereka berdua.
     Akhirnya semuanya menjadi sangat jelas ketika Abi mengucapkan kata-kata yang membuat Habibah tenang, bahwa kini perasaannya itu tidak bertepuk sebelah tangan alias pucuk dicinta, ulam pun tiba. Kini hatinya yang sudah lama merindukan seseorang yang dapat diajak untuk berbincang tentang keluh kesahnya sudah dipertemukan oleh Tuhan, Sang Pemilik Kerajaan Hati.
     Setiap hari kini Habibah rasakan sebagai suatu keindahan, melayang-layang serasa berjalan di dalam kebun bunga yang begitu indah dan berwarna-warni. Bahkan bila melihat tinggi dan besarnya Gunung Ciremai, masih kalah besar dengan kebahagiaan ini.
     “Kini aku akan memberitahumi Ti, cepatlah kamu menikah, atau nanti aku akan mendahuluimu. Kalau sampai seperti itu, aku takut kau akan benar-benar tua”. Bisik Habibah kepada Siti.
     “Siapakah yang telah membuatmu jatuh cinta?”
     “Apakah Aku perlu memberitahumu?”
     “Kalau kau menganggapku perlu.”
     “Tidak, aku hanya akan memberikan klunya saja.”
     “Aku sangat suka klu, cepat berikan klunya.” Ucap Siti tertawa kecil.
     “Dia seorang lelaki yang sopan, berwibawa, berpendidikan dan ……”
     “Dia berasal dari Ciamis, dan dia menjadi kepala proyek di desa ini.”
     “Bagaimana kau tahu?”
     “Apakah salah seorang sahabat mencari tahu?”
     “Perasaanku percakapan ini sudah pernah terjadi.”
     “Aku juga berpikir demikian.” Ucap Siti sambil tertawa.
     Cinta memang tidak bisa ditebak. Kapan, siapa, apa, bagaimana, dimana, dan mengapa. Inilah kata yang paling misterius yang ada di alam dunia ini bahkan karena kata inilah maka Tuhan menciptakan seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini. Kata yang tidak akan habis bahkan setelah diwakili oleh sebuah Tajmahal sekalipun. Kata yang laksana mata air, begitu deras dan tidak akan pernah habis walaupun sekian banyak pujangga dari awal zaman sampai akhir zaman disuruh terus-menerus menulis tentang cinta selama hidup mereka. 
Maha Suci Engkau Tuhan yang telah menciptakan sebuah kata yang begitu ajaib yang bernama cinta sebagai syarat kepada hamba-hambaMu bahwa damai itu indah dan Engkau menciptakan dunia ini untuk tujuan agar makhluk-Mu hidup dengan bahagia. Bukan untuk menyiksa hamba-hambaMu dan memberatkan hamba-hambaMu. Maha Besar Allah atas segala firman-Mu.                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar