Semenjak kelulusannya dari SMA, Habibah
kem-bali ke kampung halaman, meninggalkan semua kenangan perjuangan yang selama
tiga tahun yang lalu telah ia perjuangkan dengan tertatih-tatih, dengan peluh
dan air mata.
Habibah
kembali bagai seorang Djingis Khan yang telah kehilangan masanya untuk
berjuang. Kem-bali dengan tanpa persiapan. Entah apa yang akan dilakukannya di
desanya ini. Desa Kelaban yang tidak banyak diminati oleh warganya sebagai
tempat untuk mencari nafkah, selain petani yang siap hidup menderita karena
tanah yang dijadikannya untuk bertanam adalah tanah yang kurang menjanjikan.
Tanah latosol kelabu. Atau mereka
para supir angkutan yang hidupnya agak menjanjikan karena letak Desa Kelaban
yang jauh dari perkotaan dan berpenduduk banyak.
Kebanyakan
dari penduduk yang sudah bosan di
desa karena tidak bisa kaya, mereka
pergi ke kota-kota besar untuk bekerja. Mereka bisa dibilang nekad, dengan
modal hanya ijazah setingkat SMP, SD, atau SMA.
Yang
bisa diacungi jempol untuk mereka yang pergi ke kota adalah mereka mempunyai
sikap yang ulet, rajin, dan tidak ada kata gengsi. Mau kerja apapun boleh, asal
masih ada uangnya untuk mereka memenuhi kebutuhan keluarga mereka di kampung.
Wajarlah
mereka memiliki begitu besar semangat, karena di dalam jiwa mereka telah
tertanam tentang philosofi Kuda Kuningan yang kecil tapi enerjik, larinya
cepat, menyusup bagaikan kilat yang berjalan di sela-sela udara. Terus maju dan
menerjang ke medan perang membawa sang patriot di pundaknya. Tidak peduli badan
dipenuhi luka, darah mengalir membasahi kaki sang patriot. Walau pahit getir,
harus tetap maju, melesat. Kuda Kuningan hanya terdiam ketika menang atau mati
sekalian.
Philosofi
itu mereka dapatkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dari sejak
kecil mereka selalu mendengar bahwa warga Kuningan, khusus-nya warga Desa
Kelaban adalah sebuah kota para pejuang yang gagah berani sejak dari dahulu
semenjak pertama kali kota ini didirikan oleh Pangeran Aria Kamuning, yaitu
anak dari Pangeran Siliwangi.
Cerita
perjuangan Kuda Kuningan dan Pangeran
Aria Kamuning inilah yang menjadikan
warga di daerah Desa Kelaban tidak takut dengan apapun. Cerita ini yang
benar-benar telah membakar, sebagaimana membakarnya cerita Suku Kyat kepada
hati sang imperialis yang bernama Djingis Khan pada saat sang imperialis ini
masih seorang Temujin. Setiap hari, ibunya yang sudah resmi dikeluarkan
dari sukunya, menceritakan kepada Djingis Khan kecil bahwa ia adalah keturunan Suku
Kyat yang gagah berani, yang disegani oleh suku-suku lain di sekitarnya.
Begitulah, terus cerita itu diulang-ulang kepada Djingis Khan anaknya, sehingga
tumbuhlah kepercayaan kepada Djingis Khan bahwa ia adalah bagian dari suku
terkuat. Dan ia ditakdirkan untuk menjadi penguasa, seorang imperialis terbesar
di dunia yang hidup di wilayah Asia.
Atas
keberhasilan Djingis Khan ini, banyak orang yang terinspirasi, banyak orang
yang kemudian mencontoh akan taktik perangnya sang panglima terbesar tanpa guru
itu. Seperti kemudian sejarah menulis bahwa Kubilai Khan dan Hittler adalah dua
orang yang berhasil menjadi besar dengan mempelajari taktik perangnya Djingis
Khan.
Begitupun
halnya dengan warga Desa Kelaban yang punya sikap pantang menyerah itu, mereka
pergi ke kota untuk bertempur habis-habisan demi kesejahteraan rumah tangga
mereka. Mereka bagaikan seorang Kubilai Khan yang terus berjuang tanpa
mendengar, kecuali mendengar bahwa dulu, orang yang bernama Djingis Khan pun bisa,
lalu mengapa kamu tidak bisa, kamu pasti bisa!
Meskipun
desa ini terkenal akan perantaunya, tetapi tidak semua warga desa merantau.
Sebagian dari mereka ada yang beternak sapi atau kambing sayur, atau sebagian
lagi ada yang bersawah atau berkebun. Dan sebagian lagi ada yang sebagai guru
di SD, SMP dan SMA.
Seperti
halnya bapak dan ibu Habibah. Mereka ter-masuk petani yang memiliki tanah agak
luas, meskipun kurang subur. Dari tanah inilah mereka bisa menyekolahkan
Habibah sampai tingkat SMA.
“Bapak
dan ibu adalah petani, apakah aku harus men-jadi petani lagi?” Ucap Habibah di
dalam kesendiriannya.
Memang
hal tersebut sudah menjadi lumrah sekali walaupun kini sudah zaman demokrasi.
Anak seorang politisi akan menjadi politisi lagi, anak seorang pengusaha akan
menjadi pengusaha lagi, anak seorang perwira militer akan menjadi perwira
militer lagi, anak seorang petani akan menjadi petani lagi, anak seorang
pedagang gorengan akan menjadi pedagang gorengan lagi, anak seorang buruh akan menjadi buruh lagi.
“Habibah,
kenapa kau tidak pergi saja ke kota? Dengan ijazahmu itu, dan dengan parasmu
yang cantik itu pasti banyak perusahaan yang memerlikanmu minimal supermarket
atau restoran”. Sahut sebuah suara yang tidak jelas bentuk rupanya.
“Ah…
Tidak, bapak dan ibuku tetap berpesan bahwa aku tidak boleh ke kota. Apalagi
aku tidak mau nasibku sama dengan Nunung dan Yadi yang mereka seolah-olah tidak
ada harapan lagi untuk melanjutkan sekolah. Sebisa-bisa aku akan hidup di
desaku ini, sampai satu saat kemudian Tuhan memberiku rejeki agar aku bisa
sekolah lagi di universitas daerah.” Jawab Habibah tegas.
Ada
sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa “Jadilah orang pintar, maka semua orang
akan membutuhkanmu.” Begitu pula dengan Habibah. Tidak seberapa lama setelah
Habibah lulus dari SMA, pada suatu hari datanglah sebuah tawaran untuk mengajar
di sebuah SD sebagai guru. Kesempatan ini segeralah diambil oleh Habibah dengan
rasa yang sangat gembira.
“Saya
senang dengan anak-anak, dan saya yakin saya bisa menjalankan tugas ini.” Jawab
Habibah saat menjawab pertanyaan dari kepala sekolah pada saat wawancara.
Akhirnya
sebuah pekerjaan yang sebelumnya tidak disangka-sangka, kini harus ia kerjakan,
yaitu seorang guru SD.
Kata
orang, guru adalah sebuah profesi yang memang kurang menjanjikan dalam hal
kesejahteraan. Namanya memang mendadak terhormat di dalam kehidupan masyarakat,
bahkan panggilannya pun menjadi Pak Guru atau Bu Guru, dan Pak Mantri atau Bu
Mantri bagi kepala sekolahnya. Namun, hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa
banyak diantaranya orang tua sang gadis yang berbisik kepada anaknya, bahwa
jangan sampai anaknya berjodoh dengan seorang guru, guru itu kehidupannya sudah
bisa ditebak, yaitu kaya tidak, miskin tidak. Pada awalnya mereka mendiami
rumah mertua atau rumah dinas, baru setelah itu sedikit demi sedikit menyicil
rumah yang sederhana, dan seterusnya beranak dan mati di rumah itu.
Begitupun
sama halnya dengan orang tua Habibah yang sangat berpesan kepada anaknya
janganlah tergoda oleh wibawa atau gayanya seorang guru, mereka cuma mempunyai
wibawa dan cinta saja, yang tidak akan cukup untuk menjamin tetap mengepulnya
asap dapur tanpa bantuan mertua.
Sungguh
ironis memang keadaan nasib seorang guru yang tugasnya membentuk jiwa karakter
anak bangsa dan menciptakan kecerdasan
bangsa, yang menurut Bung Karno jabatan seorang guru adalah lebih penting
daripada jabatan seorang jurnalis atau jabatan seorang politisi.
Di
satu sisi memang undang-undang pendidikan sudah baik daripada sebelumnya,
tetapi di sisi yang lain lagi, marilah kita jujur bahwa nasib guru masih belum
terjamin. Kita pasti sudah pernah mendengar bahwa gaji mereka perbulan hanya
cukup untuk hidup selama satu minggu saja. Kita pasti sudah mendengar bahwa
banyak guru yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek atau pemungut
sampah.
Hal
ini percis dialami oleh Habibah. Gaji yang ia dapatkan dari honornya mengajar
setiap hari dari jam 7 sampai dengan jam 12 itu hanya dihargai sebesar delapan
puluh ribu rupiah atau sekitar Rp 2.400 perhari. Maka dari itu Habibah sangat
memahami sekali ketika ada seorang guru yang mengatakan “Sudahlah Habibah,
jangan terlalu rajin. Kita ini hanya seorang guru sukwan. Jangan membuat Negara
makin menderita lagi karena ia punya utang kepadamu yang harus dibayar di
akhirat kelak.” Mendengar perkataan itu Habibah hanya melirik dan tersenyum
kepada seorang guru yang sedang menggodanya itu. Habibah tidak menjawabnya sama
sekali. Ia mengerti bahwa jauh di dalam hati sang guru itu sebenarnya ada
sebuah mutiara yang sangat berkilauan yang jauh melebihi cintanya seorang
prajurit perang atau presiden sekalipun. Hanya saja guru tersebut memerlukan
seseorang yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya dan kekhawatiran jika
sang keluarganya hidup melarat dan anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah.
Sulit
memang jika kita harus mendengarkan segala keluh kesah para guru. Berbagai
macam kisah yang ada mu-lai dari kecilnya gaji guru, sulitnya menjadi CPNS
apalagi PNS dan yang paling sulit adalah ketika keluarga sedang kekurangan
uang, kemana harus mencari? Mau korupsi pun apa yang bisa dikorupsi oleh
seorang guru. Giliran seorang guru sedikit kreatif dengan membuat sebuah buku
dan mengharuskan para siswa untuk membelinya, maka langsung para wali murid
melayangkan keberatan dan menganggap bahwa sang guru telah mengadakan
komersialisasi pendidikan.
Dari
kejadian ini dapatlah disimpulkan bahwa syarat untuk menjadi seorang guru
haruslah mengerti betul apa yang disebut dengan keikhlasan. Yang harus meliputi
kegia-tan dari awalnya pekerjaan, sampai pekerjaan itu sedang berlangsung,
sampai akhirnya kegiatan tersebut. Jikalau hal ini telah dilaksanakan, dan menjadi
kepribadian seorang guru, maka guru itu akan menjadi guru yang benar-benar
guru, yang hanya peduli dengan kesejahteraan orang lain dan tidak memikirkan
tentang kesejahteraan dirinya sendiri. Karena ia yakin bahwa dengan banyaknya
memberi dia akan banyak juga menerima. Dengan banyaknya memberi ilmu kepada
orang lain, banyak pula Tuhan memberikan rejeki yang lain kepadanya. Karena
sesungguhnya setiap tarikan nafas yang kita gunakan akan selalu ada
perhitungannya.
***
Di Kampung Kelaban ini, atau bahkan di
seluruh pelosok negeri ini. Biasanya seorang guru dianggap sebagai seorang yang
luar biasa. Sebagai seorang yang pintar dalam pengetahuannya dan halus budi
dalam gerak-geriknya. Sehingga kata guru itu diakronimkan sebagai orang yang
pantas untuk digugu dan ditiru.
Kalau
ada sebuah acara sunatan atau akad nikah, tentulah guru ditunjuk sebagai orang
yang memberikan sambutan. Jika tidak, minimal guru itu menjadi MC. Pokoknya,
dalam kehidupan masyarakat guru itu mendapat tempat yang terhormat. Tapi itulah
pintarnya warga masyarakat. Mereka bisa membedakan antara urusan kedudukan dan
urusan ekonomi. Buktinya tetap saja banyak orang tua yang berbisik kepada anak
gadisnya
“Awas!
Ati-ati! Jauhi kesengsaraan! Cari dulu alternative
lain. Baru setelah itu kalau benar-benar jalan buntu, kamu boleh nikah dengan
guru.”
Tentang
anggapan masyarakat bahwa guru itu adalah orang yang segala bisa, itu dialami
juga oleh Habibah. Suatu hari Habibah kedatangan Pak Lurah bahwa dirinya
ditunjuk sebagai panitia dalam kegiatan program padat karya dalam rangka
pembuatan akses jalan dan saluran irigasi di desa ini. Tugasnya adalah
mengkoordinir seluruh pemudi dalam rangka ikut membantu dalam suksesnya acara
ini. Program padat karya ini akan dilaksanakan oleh sebuah lembaga pemerintah yang
khusus menangani desa-desa terting-gal. Pada awalnya Habibah menolaknya dengan
alasan bahwa ia mempunyai amanah yang lain yaitu mengajar. Tetapi setelah
kemudian Pak Lurah menerangkan hal-hal teknisnya, bahwa pekerjaan ini tidak
harus dilakukan setiap hari dan setiap saat. Maka Habibah menerimanya, meskipun
ada keraguan di dalam hatinya.
Singkatnya
cerita sekarang proyek itu pun segera dimulai. Sebuah proyek yang bertujuan
untuk mensejahterakan rakyat, yang sesuai dengan sila kelima dalam pancasila
yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembengunan
akses jalan dan saluran irigasi memang sangat diperlukan oleh masyarakat Desa
Kelaban mengingat ketinggian tanahnya yang cukup tinggi dari permukaan laut,
sehingga diharapkan dengan diperbaikinya akses jalan dan dibuatnya saluran
irigasi, hal ini dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga bagi petani. Yang
selama ini mengeluhkan sulitnya transportasi ke luar desa.
Selama
ini petani hanya menanami sawahnya itu satu kali dalam satu tahun, dan itupun
hanya memanfaatkan air hujan sebagai sumber pengairannya. Maka dari itu para
warga yang masih muda dan tangkas, banyak yang pergi ke kota untuk bekerja di
kota.
Program
terus berjalan. Rencananya program ini akan berlangsung selama enam bulan.
Sudah
hampir program berjalan setengahnya, tetapi bagi Habibah tidak ada beban sama
sekali, malahan program ini menjadi sebuah program alternative semata dimana
dia jenuh dengan tugasnya di sekolah.
Cerita
pun semakin seru untuk diikuti untuk ketika ia bertemu dengan sang kepala
proyek ini. Seorang pria yang sangat menarik bagi Habibah. Namanya adalah Abi.
Abi
adalah seorang pria yang berasal dari Ciamis, dia adalah seorang pria yang
enerjik dan penuh dengan rasa tanggung jawab. Dia adalah seorang lulusan universitas
ternama di kota. Dan baru lulus tahun kemarin.
Kedekatan
antara Habibah dan Abi segera saja terjalin saat Abi mengangkat Habibah sebagai
sekretarisnya. Dan sebagai sekertaris, Habibah harus terus mendampingi Abi
ketika ada rapat koordinasi. Rapat biasanya dilakukan pada malam hari, sambil
melepas rasa lelah yang diakibatkan siangnya yang sangat berat bekerja. Dan
ketika rapat telah selesai, biasanya Abi memaksa untuk mengantarkan Habibah pulang.
Dari
sinilah, dari perjalanan antara tempat rapat dan rumah Habibah akhirnya timbul
rasa-rasa yang aneh diantara keduanya. Inilah rasa suci dan fitrah bagi setiap
makhluk yang Tuhan ciptakan secara berpasang-pasangan. Rasa ini yang melahirkan
rasa rindu jika tidak bertemu dan rasa indah ketika bertemu, serasa dunia ini
adalah milik mereka berdua.
Akhirnya
semuanya menjadi sangat jelas ketika Abi mengucapkan kata-kata yang membuat
Habibah tenang, bahwa kini perasaannya itu tidak bertepuk sebelah tangan alias
pucuk dicinta, ulam pun tiba. Kini hatinya yang sudah lama merindukan seseorang
yang dapat diajak untuk berbincang tentang keluh kesahnya sudah dipertemukan
oleh Tuhan, Sang Pemilik Kerajaan Hati.
Setiap
hari kini Habibah rasakan sebagai suatu keindahan, melayang-layang serasa
berjalan di dalam kebun bunga yang begitu indah dan berwarna-warni. Bahkan bila
melihat tinggi dan besarnya Gunung Ciremai, masih kalah besar dengan
kebahagiaan ini.
“Kini
aku akan memberitahumi Ti, cepatlah kamu menikah, atau nanti aku akan
mendahuluimu. Kalau sampai seperti itu, aku takut kau akan benar-benar tua”.
Bisik Habibah kepada Siti.
“Siapakah
yang telah membuatmu jatuh cinta?”
“Apakah
Aku perlu memberitahumu?”
“Kalau
kau menganggapku perlu.”
“Tidak,
aku hanya akan memberikan klunya saja.”
“Aku
sangat suka klu, cepat berikan klunya.” Ucap Siti tertawa kecil.
“Dia
seorang lelaki yang sopan, berwibawa, berpendidikan dan ……”
“Dia
berasal dari Ciamis, dan dia menjadi kepala proyek di desa ini.”
“Bagaimana
kau tahu?”
“Apakah
salah seorang sahabat mencari tahu?”
“Perasaanku
percakapan ini sudah pernah terjadi.”
“Aku
juga berpikir demikian.” Ucap Siti sambil tertawa.
Cinta
memang tidak bisa ditebak. Kapan, siapa, apa, bagaimana, dimana, dan mengapa.
Inilah kata yang paling misterius yang ada di alam dunia ini bahkan karena kata
inilah maka Tuhan menciptakan seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini. Kata
yang tidak akan habis bahkan setelah diwakili oleh sebuah Tajmahal sekalipun.
Kata yang laksana mata air, begitu deras dan tidak akan pernah habis walaupun
sekian banyak pujangga dari awal zaman sampai akhir zaman disuruh terus-menerus
menulis tentang cinta selama hidup mereka.
Maha Suci Engkau Tuhan yang telah
menciptakan sebuah kata yang begitu ajaib yang bernama cinta sebagai syarat
kepada hamba-hambaMu bahwa damai itu indah dan Engkau menciptakan dunia ini
untuk tujuan agar makhluk-Mu hidup dengan bahagia. Bukan untuk menyiksa
hamba-hambaMu dan memberatkan hamba-hambaMu. Maha Besar Allah atas segala
firman-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar