Jumat, 10 Juli 2020

Batu Hambatan


Begitu panjangnya proses bagi sebuah kemerdekaan. Khususnya bagi bangsa Indonesia. Dimulai pada tahun 1901 dengan didirikannya perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda. Lalu diteruskan dengan peristiwa selanjutnya tahun 1928 yang tercatat sebagai peristiwa sumpah pemuda.
Semangat pada tahun 1901 ini telah menginspirasi banyak rakyat Indonesia akan adanya suatu negeri merdeka yang di dalamnya dihuni oleh suatu bangsa yang beradab yang hidup dengan sejahtera. Termasuk yang mendapat semangat pada waktu itu adalah seorang pemuda yang bernama Soekarno yang sedang belajar di salah satu sekolah setingkat universitas di Bandung. Soekarno yang kritis terhadap gejala kehidupan dan kesengsaraan rakyat mulai menulis tentang semangat persatuan di surat kabar yang berjudul “Islamisme, Nasionalisme, Marxisme”. Dengan tujuan agar seluruh komponen bangsa yang berbeda ideologi namun satu tujuan itu dapat bekerja sama bahu membahu untuk mencapai Indonesia merdeka.
Lalu perjuanganpun saling bahu membahu diantara ketiga komponen itu. Semuanya bergerak, semuanya mengerahkan kekuatannya, habishabisan, demi tercapainya bangsa dan negara Indonesia yang merdeka. Sampai pada satu titik peristiwa yang paling bersejarah, yaitu pada hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Pada hari itu semuanya lega. Perjuangan yang sudah dilakukan selama ini akhirnya mulai menemukan titik cerah. Walaupun dengan pernyataan proklamasi ini bukan berarti rakyat Indonesia boleh berpangku tangan, karena di seberang sana sang srigala penjajah tidak akan rela melepaskan si kancil yang begitu empuk dan enak dagingnya.
Dengan proklamasi ini justru harus lebih mengencangkan ikat pinggang kembali, sekencangkencangnya agar bisa melawan sang srigala yang akan menyerang dengan sehebathebatnya dan seganasganasnya dengan tanpa peri kemanusiaan.
Perjuanganpun terus berlanjut. “Ayo …..semuanya harus lebih garang, kalau perlu bakar kotakotamu, jadikan ia lautan api. Yang terpenting kamu selamat dari srigala itu.” Ucap ketegasan yang luar biasa itu.
“Ayo akuilah kami srigala, sebagai sebuah Negara yang merdeka. Merdeka lahir dan batin.”
Ya, itulah sebuah harapan dari sebuah aksi perlawanan itu. Yaitu sebuah pengakuan, sebuah peresmian yang dinyatakan oleh sang pemilik negeri sementara ke anak negerinya. Yang seolaholah para penjajah itu berkata
“Hai para anak bangsa, aku bukan pemilik kamu sama sekali, aku hanya dititipi oleh yang Maha Kuasa akan kehidupanmu selama ini yang bagiku benar dan bagimu salah. Sekarang aku berikan semua hak ini kepadamu. Silakan kamu perjuangkan hidupmu sendiri.”
Inilah perkataan yang diinginkan oleh para pejuang revolusi ketika itu. Namun ini sulit sekali. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa. Yang terpenting teruslah berjalan, tidak peduli seberapa jauh kau berjalan, yang terpenting kau jangan pernah berfikir untuk berhenti.
Begitupun apa yang terjadi pada keadaan Abi dan Habibah sekarang ini. Hari ini menurut kabar sang angin bahwa Abi akan ke rumah Habibah untuk menanyakan tentang keadaan Habibah yang akan dijadikannya seorang istri, atau dalam bahasa kesehariannya disebut dengan nanyaan, atau mungkin dalam bahasa Islamnya yaitu yang dinamakan ta’aruf. Setelah proses ini, biasanya dilanjutkan kepada proses tunangan, atau dalam bahasa Islamnya disebut khidbah. Setelah proses tunangan inilah ditentukan kapan waktu untuk pernikahan dilangsungkan.
Sebelumnya Habibah tidak memberitahukan kedatangan Abi kepada bapak dan ibunya. Habibah meniatkan untuk memberikan kejutan kepada mereka. Tapi, sudah lama Abi belum datang, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Habibah sudah tidak sabar lagi menunggu. Sebentarsebentar dia nengok ke arah jendela melihat teras pekarangan rumahnya.
“Kenapa kau terlihat gelisah begitu Habibah?” Tanya ibu Habibah.
“Apakah kamu punya masalah?” Lanjutnya kembali.
“Tidak ibu, aku hanya merasa bosan saja karena hari ini hari libur.”
“Apakah kamu ada janji?” Sambung bapaknya dari ruang tamu. Habibah hanya diam.
“Apa kau bosan membantu membantu ibu masak disini?”
“Kok ibu nanya begitu sih?” Ucap Habibah sedikit tersenyum sambil melirik sang ibu yang tersenyum juga kepadanya.
Haripun segera berlalu. Sekarang hampir menginjak waktu ashar. Tapi Abi yang dari tadi ditunggutunggu tidak kunjung datang pula. Sayang di desa itu belum mengenal HP atau telepon, kalau ada tentu Habibah sudah mengirim SMS berkalikali kepada Abi.
“Abi….ayo cepatlah datang. Apa mungkin kau melupakan janjimu sendiri? Dan kalau kau lupa, apakah aku harus mengingatkanmu dengan pergi menemuimu? Ayolah Abi, itu lucu sekali kedengarannya.” Ucap Habibah di dalam hati yang serba kebingungan.
“Mungkin sekarang Abi sedang sibuk. Apa mungkin ia akan datang setelah maghrib atau setelah isya?” Ucap Habibah di dalam hati sambil berusaha menenangnenangkan diri.
“Assalamu’alaikum, sampurasun?”
“Rampes”
“Siapa orang diluar ya? Nyai tolong buka pintunya ada tamu.” Seru ibu Habibah dari dapur kepada Habibah yang baru saja selesai sholat.
“Ya.. bu” Jawab Habibah agak ditahan.
Dengan cepat Habibah menuju ruang tamu dan membuka kunci gerendel pintu.
“Aeh Akang, bagaimana kabarnya Kang? Kenapa lama? Neng sudah lama menunggu.”
“Maaf Neng Habibah, tadi Jang Abi teh menunggu Emang. Kebetulan Emang sedang punya yang bekerja di sawah. Tidak enak ditinggalkan.” Jawab Kang Usro mendahului Abi.
“Iya Neng, Akang teh minta maaf sudah telat. Soalnya kalau mau kesini sendirian, akang sedikit malu.” Jawab Abi menandaskan jawaban Mang Usro.
“Ayo Kang, Mang, masuk. Maaf disini rumahnya kurang enak.” Ucap Habibah merendah.
“Ah ini sudah bagus Neng, apalagi di rumah Mang Usro. Rumahnya juga sudah seperti kandang ayam”. Ucap Mang Usro sambil tertawa lebar.
“Neng, ibu dan bapaknya ada?”
“Ada Kang. Ibu sedang di dapur, bapak sedang di mesjid.”
“Apakah mereka sudah tahu bahwa Akang akan ke sini?”
“Belum Kang. Habibah ingin mengasih kejutan kepada mereka berdua.”
“Sebentar ya Kang, Mang. Saya mau memberi tahu bapak dan ibu dulu.”
“Ya Neng” Ucap Mang Usro dan Abi hampir berbarengan.
Habibah segera menuju dapur untuk memberitahu ibu dan bapaknya bahwa ada tamu yang ingin bertemu.
“Bu ada tamu di depan ingin bertemu ibu dan bapak.”
“Siapa tamunya?”
“Kang Abi sama Mang Usro.”
“O…paling juga mau ada urusan mengenai irigasi dan jalan. Ya sudah ibumah tidak usah menemui. Biar si bapak saja yang menemuinya.”
“Ih….., bukan masalah itu bu. Ini lebih penting daripada itu.”
“Lebih penting?!?! Ya sudah Neng panggil si bapak sana di mushola. Nanti ibu buat minumannya terlebih dahulu.”
Cepat cerita, semuanya sudah berkumpul di ruang tamu. Setelah berkenalan, mereka langsung kepada hal pokok, yaitu nanyaan.
“Begini bapak, ibu dan Neng Habibah. Emang dan Jang Abi datang ke sini itu bukan karena tidak ada tujuan. Tetapi kami berdua ini hendak nanyaan dan ngawanohkeun (mengenalkan) kepada Neng Habibah. Karena menurut keterangan Jang Abi, Jang Abiteh  tertarik kepada Neng Habibah. Dan ia punya niat untuk membina kehidupan rumah tangga dengan Neng Habibah. Nah, oleh karena itu, kami sengaja ke sini untuk menanyakan, apakah Jang Abi ini pantas mendampingi Neng Habibah?” Jelas Mang Usro langsung kepada topik yang dituju.
Mendengar pernyataan itu, ibu dan bapak Habibah sedikit agak terkejut mengingat hal ini terkesan agak mendadak dan Habibahpun tidak memberikan berita apapun sebelumnya. Tetapi tidak lama kemudian bapak Habibah menanggapi pernyataan yang dilontarkan oleh Mang Usro tadi.
“Terima kasih Mang Usro dan Jang Abi yang telah sudi datang ke rumah kami ini. Dan terima kasih pula bahwa selama ini Jang Abi sudah ikut memperhatikan Si Neng. Begini Jang Abi, Mang Usro. Saya sebenarnya sebagai orang tua pada dasarnya tidak mempunyai hak untuk memaksakan kepada Si Neng untuk menikah dengan siapapun. Bapak dan ibu hanya bisa memberikan masukan dan pandangan kepada Habibah. Semuanya tergantung Neng Habibah.” Ucap Bapak Habibah terdengar bijaksana.
“Nah, kalau begitu jelas, sekarang berarti kita tinggal bertanya kepada Neng Habibahnya saja. Apakah Neng Habibah ridho tidak dinikahi oleh Jang Abi? Silakan mungkin Neng Habibah untuk memberikan jawaban.” Ucap Mang Usro kepada Habibah.
Semuanya mata di ruangan itu sekarang tertuju kepada Habibah yang dari tadi hanya diam dan mendengarkan.
“Kalau bagi Neng. Neng ridho untuk dijadikan istri oleh Kang Abi.” Jawab Habibah tertunduk dan seperti malumalu.
Mendengar jawaban Habibah, semuanya menjadi lega, kecuali bapak Habibah yang terlihat kurang nyaman dengan jawaban anaknya itu. Meskipun tadi ia begitu jelas mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak keberatan sedikitpun untuk menerima Abi menjadi menantunya.
Sebetulnya jauh di dalam hatinya yang paling dalam, bapaknya Habibah tidak ridho sedikitpun untuk menerima Abi sebagai menantu karena hatinya sudah terbeli oleh Beni, anak teman karibnya, yang dipandang lebih segalagalanya dari Abi, Si Pria yang menurut bapaknya Habibah tidak jelas asal usulnya dan tidak jelas keturunannya. Pikirnya tentu jauh jika disbandingkan dengan Beni yang orang tuanya kaya, apalagi Beni anak yang baik hati dan menurutnya Beni adalah keturunan orang yang baik dan dihormati di Desa Kelaban ini.
“Sesungguhnya tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya menderita. Habibah, bapak hanya ingin menyadarkan kamu bahwa kita itu belum tahu yang sebenarnya siapa itu Abi, apakah ia seorang yang baik, apakah keturunannya baik. Apalagi nanti jika kau menikah. Tentu kau akan menuruti sang suami untuk pindah ke Ciamis. Bapak dan ibu tidak mau kalau kau nanti di Ciamis sana hidup menderita tanpa sanak keluarga. Coba berpikirlah secara benar. Habibah, ini demi hidupmu. Bapak dan ibu sayang padamu.” Ucap bapak Habibah ketika Mang Usro dan Abi telah pulang.
Habibahpun sebenarnya tidak menyangka bahwa bapaknya akan berkata demikian kepadanya. Habibah tidak mengerti akan sikap bapaknya yang tadi terlihat begitu setuju, tetapi beberapa menit kemudian telah berubah pikiran.
“Tapi biarlah mungkin ini hanya karena kekhawatiran sejenak saja akibat rasa sayang mereka kepadaku.” Ucap Habibah di dalam hatinya.
Pada waktu itu Habibah hanya terdiam dan membiarkan bapaknya berbicara. Tetapi ibunya Habibah, sebagai seorang ibu dia sangat mengerti akan perasaan Habibah yang bingung dan sangat sedih. Tapi apa boleh buat, di lain pihak, hati ibunya Habibah merasa juga satu pikiran dengan sang bapak. Beliau juga hanya ingin yang terbaik bagi Habibah. Tidak rela jika anaknya menjadi sengsara. Apalagi pernikahan itu sifatnya kalau bisa hanya satu kali seumur hidup.
Biarkanlah semuanya pada masing-masing egonya, masing-masing akan keyakinan yang dipercayanya sebagai jalan yang terbaik. Semuanya tidak salah, tidak pula benar. Kita buktikan saja kebenaran atau kesalahan ini di masa yang akan datang. Biarkanlah sang waktu yang akan menentukannya. Biarkanlah sang fakta yang akan membuktikannya, dan biarkanlah sang zaman yang akan menghakiminya, siapakah yang keliru dan siapakah yang salah memilih jalan pada saat ini.
Semuanya harus menahan diri masing-masing, karena keadaan ini adalah keadaan yang sedang saatsaatnya menegangkan. Abipun telah mengetahui hal ini dari Habibah. Agak sedikit rasa menyesalkan kejadian ini pada Abi. Hatinya yang tadinya diliputi oleh kebahagiaan saat keluar dari rumah Habibah, sekarang berubah menjadi sebuah kekhawatiran dan kebingungan. Betapa tidak, bayangannya dia akan berhasil memetik bunga melati, tapi pada saat detikdetik terakhir saat jalan ditemuinya begitu lebar dan luas membentang, tibatiba sesuatu yang sangat misterius dan kokoh menghalangi jalannya itu, bagaikan topan dan badai, sulit untuk ditembus. Apa boleh buat kali ini ia harus memutar langkah, mencari jalan alternatif lain yang lebih baik dan kalau perlu radikal sekalian. Masa ini adalah masanya revolusi di dalam kehidupan Abi. Proklamasi sudah di dengungkan, kini tinggal mempertahankan kemegahan proklamasi itu dengan penuh keteguhan jiwa. Mengerahkan  segala kemampuan, bahkan kalau perlu membakar rumahrumah seperti peristiwanya Bandung Lautan Api. Yang terpenting para penjajah tidak berhasil memisahkan antara rasa cinta yang menggebu di dalam dada untuk ibu pertiwi dengan tanah air ini. Tanah air sebagai bukti cinta dari Tuhan yang Maha Kuasa yang dulu diberikan kepada para pendahulu dan kini menjadi hak warisan untuk kita.
“Sabar saja Jang, terus berikhtiar, percayalah bahwa Gusti Allah sangat baik kepadamu. Percayalah bahwa tidak sematamata Dia memberikan keinginan, jika Dia pelit terhadap hambanya. Tuhan memberikan keinginan, karena Dia menghandaki agar hambaNya berjuang. Tuhan memberikan keinginan, agar hambaNya berdo’a dan memohon kepadaNya. Karena Dia bahagia jika hambaNya meminta.” Kata Mang Usro menasehati Abi sebagai akhir dari episode ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar