Begitu panjangnya proses bagi sebuah
kemerdekaan. Khususnya bagi bangsa Indonesia. Dimulai pada tahun 1901 dengan
didirikannya perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda. Lalu diteruskan dengan
peristiwa selanjutnya tahun 1928 yang tercatat sebagai peristiwa sumpah pemuda.
Semangat
pada tahun 1901 ini telah menginspirasi banyak rakyat Indonesia akan adanya
suatu negeri merdeka yang di dalamnya dihuni oleh suatu bangsa yang beradab
yang hidup dengan sejahtera. Termasuk yang mendapat semangat pada waktu itu adalah
seorang pemuda yang bernama Soekarno yang sedang belajar di salah satu sekolah
setingkat universitas di Bandung. Soekarno yang kritis terhadap gejala
kehidupan dan kesengsaraan rakyat mulai menulis tentang semangat persatuan di
surat kabar yang berjudul “Islamisme, Nasionalisme, Marxisme”. Dengan tujuan
agar seluruh komponen bangsa yang berbeda ideologi namun satu tujuan itu dapat
bekerja sama bahu membahu untuk mencapai Indonesia merdeka.
Lalu
perjuanganpun saling bahu membahu diantara ketiga komponen itu. Semuanya
bergerak, semuanya mengerahkan kekuatannya, habishabisan, demi tercapainya bangsa
dan negara Indonesia yang merdeka. Sampai pada satu titik peristiwa yang paling
bersejarah, yaitu pada hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Pada
hari itu semuanya lega. Perjuangan yang sudah dilakukan selama ini akhirnya
mulai menemukan titik cerah. Walaupun dengan pernyataan proklamasi ini bukan
berarti rakyat Indonesia boleh berpangku tangan, karena di seberang sana sang
srigala penjajah tidak akan rela melepaskan si kancil yang begitu empuk dan
enak dagingnya.
Dengan
proklamasi ini justru harus lebih mengencangkan ikat pinggang kembali,
sekencangkencangnya agar bisa melawan sang srigala yang akan menyerang dengan
sehebathebatnya dan seganasganasnya dengan tanpa peri kemanusiaan.
Perjuanganpun
terus berlanjut. “Ayo …..semuanya harus lebih garang, kalau perlu bakar
kotakotamu, jadikan ia lautan api. Yang terpenting kamu selamat dari srigala
itu.” Ucap ketegasan yang luar biasa itu.
“Ayo
akuilah kami srigala, sebagai sebuah Negara yang merdeka. Merdeka lahir dan batin.”
Ya,
itulah sebuah harapan dari sebuah aksi perlawanan itu. Yaitu sebuah pengakuan,
sebuah peresmian yang dinyatakan oleh sang pemilik negeri sementara ke anak
negerinya. Yang seolaholah para penjajah itu berkata
“Hai
para anak bangsa, aku bukan pemilik kamu sama sekali, aku hanya dititipi oleh
yang Maha Kuasa akan kehidupanmu selama ini yang bagiku benar dan bagimu salah.
Sekarang aku berikan semua hak ini kepadamu. Silakan kamu perjuangkan hidupmu
sendiri.”
Inilah
perkataan yang diinginkan oleh para pejuang revolusi ketika itu. Namun ini
sulit sekali. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa. Yang terpenting teruslah
berjalan, tidak peduli seberapa jauh kau berjalan, yang terpenting kau jangan
pernah berfikir untuk berhenti.
Begitupun
apa yang terjadi pada keadaan Abi dan Habibah sekarang ini. Hari ini menurut
kabar sang angin bahwa Abi akan ke rumah Habibah untuk menanyakan tentang
keadaan Habibah yang akan dijadikannya seorang istri, atau dalam bahasa
kesehariannya disebut dengan nanyaan, atau mungkin dalam bahasa Islamnya
yaitu yang dinamakan ta’aruf. Setelah
proses ini, biasanya dilanjutkan kepada proses tunangan, atau dalam bahasa
Islamnya disebut khidbah. Setelah
proses tunangan inilah ditentukan kapan waktu untuk pernikahan dilangsungkan.
Sebelumnya
Habibah tidak memberitahukan kedatangan Abi kepada bapak dan ibunya. Habibah
meniatkan untuk memberikan kejutan kepada mereka. Tapi, sudah lama Abi belum
datang, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Habibah sudah tidak sabar lagi
menunggu. Sebentarsebentar dia nengok ke arah jendela melihat teras pekarangan
rumahnya.
“Kenapa
kau terlihat gelisah begitu Habibah?” Tanya ibu Habibah.
“Apakah
kamu punya masalah?” Lanjutnya kembali.
“Tidak
ibu, aku hanya merasa bosan saja karena hari ini hari libur.”
“Apakah
kamu ada janji?” Sambung bapaknya dari ruang tamu. Habibah
hanya diam.
“Apa
kau bosan membantu membantu ibu masak disini?”
“Kok
ibu nanya begitu sih?” Ucap Habibah sedikit tersenyum sambil melirik sang ibu
yang tersenyum juga kepadanya.
Haripun
segera berlalu. Sekarang hampir menginjak waktu ashar. Tapi Abi yang dari tadi
ditunggutunggu tidak kunjung datang pula. Sayang di desa itu belum mengenal HP
atau telepon, kalau ada tentu Habibah sudah mengirim SMS berkalikali kepada
Abi.
“Abi….ayo
cepatlah datang.
Apa mungkin kau melupakan janjimu sendiri? Dan kalau kau lupa, apakah aku harus
mengingatkanmu dengan pergi menemuimu? Ayolah Abi, itu lucu sekali
kedengarannya.” Ucap Habibah di dalam hati yang serba kebingungan.
“Mungkin
sekarang Abi sedang sibuk. Apa mungkin ia akan datang setelah maghrib atau
setelah isya?” Ucap Habibah di dalam hati sambil berusaha menenangnenangkan
diri.
“Assalamu’alaikum,
sampurasun?”
“Rampes”
“Siapa
orang diluar ya? Nyai tolong buka pintunya ada tamu.” Seru ibu Habibah dari
dapur kepada Habibah yang baru saja selesai sholat.
“Ya..
bu” Jawab Habibah agak ditahan.
Dengan
cepat Habibah menuju ruang tamu dan membuka kunci gerendel pintu.
“Aeh
Akang, bagaimana kabarnya Kang? Kenapa lama? Neng sudah lama menunggu.”
“Maaf
Neng Habibah, tadi Jang Abi teh menunggu Emang. Kebetulan Emang sedang punya
yang bekerja di sawah. Tidak enak ditinggalkan.” Jawab Kang Usro mendahului
Abi.
“Iya
Neng, Akang teh minta maaf sudah telat. Soalnya kalau mau kesini sendirian, akang
sedikit malu.” Jawab Abi menandaskan jawaban Mang Usro.
“Ayo
Kang, Mang, masuk. Maaf disini rumahnya kurang enak.” Ucap Habibah merendah.
“Ah
ini sudah bagus Neng, apalagi di rumah Mang Usro. Rumahnya juga sudah seperti
kandang ayam”. Ucap Mang Usro sambil tertawa lebar.
“Neng,
ibu dan bapaknya ada?”
“Ada
Kang. Ibu sedang di dapur, bapak sedang di mesjid.”
“Apakah
mereka sudah tahu bahwa Akang akan ke sini?”
“Belum
Kang. Habibah ingin mengasih kejutan kepada mereka berdua.”
“Sebentar
ya Kang, Mang. Saya mau memberi tahu bapak dan ibu dulu.”
“Ya
Neng” Ucap Mang Usro dan Abi hampir berbarengan.
Habibah
segera menuju dapur untuk memberitahu ibu dan bapaknya bahwa ada tamu yang
ingin bertemu.
“Bu
ada tamu di depan ingin bertemu ibu dan bapak.”
“Siapa
tamunya?”
“Kang
Abi sama Mang Usro.”
“O…paling
juga mau ada urusan mengenai irigasi dan jalan. Ya sudah ibumah tidak usah
menemui. Biar si bapak saja yang menemuinya.”
“Ih…..,
bukan masalah itu bu. Ini lebih penting daripada itu.”
“Lebih
penting?!?! Ya sudah Neng panggil si bapak sana di mushola. Nanti ibu buat
minumannya terlebih dahulu.”
Cepat
cerita, semuanya sudah berkumpul di ruang tamu. Setelah berkenalan, mereka
langsung kepada hal pokok, yaitu nanyaan.
“Begini
bapak, ibu dan Neng Habibah. Emang dan Jang Abi datang ke sini itu bukan karena
tidak ada tujuan. Tetapi kami berdua ini hendak nanyaan dan ngawanohkeun
(mengenalkan) kepada Neng Habibah. Karena menurut keterangan Jang Abi, Jang
Abiteh tertarik kepada Neng Habibah. Dan
ia punya niat untuk membina kehidupan rumah tangga dengan Neng Habibah. Nah, oleh
karena itu, kami sengaja ke sini untuk menanyakan, apakah Jang Abi ini pantas
mendampingi Neng Habibah?” Jelas Mang Usro langsung kepada topik yang dituju.
Mendengar
pernyataan itu, ibu dan bapak Habibah sedikit agak terkejut mengingat hal ini
terkesan agak mendadak dan Habibahpun tidak memberikan berita apapun sebelumnya.
Tetapi tidak lama kemudian bapak Habibah menanggapi pernyataan yang dilontarkan
oleh Mang Usro tadi.
“Terima
kasih Mang Usro dan Jang Abi yang telah sudi datang ke rumah kami ini. Dan
terima kasih pula bahwa selama ini Jang Abi sudah ikut memperhatikan Si Neng.
Begini Jang Abi, Mang Usro. Saya sebenarnya sebagai orang tua pada dasarnya
tidak mempunyai hak untuk memaksakan kepada Si Neng untuk menikah dengan
siapapun. Bapak dan ibu hanya bisa memberikan masukan dan pandangan kepada
Habibah. Semuanya tergantung Neng Habibah.” Ucap Bapak Habibah terdengar
bijaksana.
“Nah,
kalau begitu jelas, sekarang berarti kita tinggal bertanya kepada Neng
Habibahnya saja. Apakah Neng Habibah ridho tidak dinikahi oleh Jang Abi?
Silakan mungkin Neng Habibah untuk memberikan jawaban.” Ucap Mang Usro kepada
Habibah.
Semuanya
mata di ruangan itu sekarang tertuju kepada Habibah yang dari tadi hanya diam
dan mendengarkan.
“Kalau
bagi Neng. Neng ridho untuk dijadikan istri oleh Kang Abi.” Jawab Habibah
tertunduk dan seperti malumalu.
Mendengar
jawaban Habibah, semuanya menjadi lega, kecuali bapak Habibah yang terlihat
kurang nyaman dengan jawaban anaknya itu. Meskipun tadi ia begitu jelas
mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak keberatan sedikitpun untuk menerima Abi
menjadi menantunya.
Sebetulnya
jauh di dalam hatinya yang paling dalam, bapaknya Habibah tidak ridho
sedikitpun untuk menerima Abi sebagai menantu karena hatinya sudah terbeli oleh
Beni, anak teman karibnya, yang dipandang lebih segalagalanya dari Abi, Si Pria
yang menurut bapaknya Habibah tidak jelas asal usulnya dan tidak jelas keturunannya.
Pikirnya tentu jauh jika disbandingkan dengan Beni yang orang tuanya kaya,
apalagi Beni anak yang baik hati dan menurutnya Beni adalah keturunan orang
yang baik dan dihormati di Desa Kelaban ini.
“Sesungguhnya
tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya menderita. Habibah, bapak hanya
ingin menyadarkan kamu bahwa kita itu belum tahu yang sebenarnya siapa itu Abi,
apakah ia seorang yang baik, apakah keturunannya baik. Apalagi nanti jika kau
menikah. Tentu kau akan menuruti sang suami untuk pindah ke Ciamis. Bapak dan
ibu tidak mau kalau kau nanti di Ciamis sana hidup menderita tanpa sanak
keluarga. Coba berpikirlah secara benar. Habibah, ini demi hidupmu. Bapak dan
ibu sayang padamu.” Ucap bapak Habibah ketika Mang Usro dan Abi telah pulang.
Habibahpun
sebenarnya tidak menyangka bahwa bapaknya akan berkata demikian kepadanya.
Habibah tidak mengerti akan sikap bapaknya yang tadi terlihat begitu setuju,
tetapi beberapa menit kemudian telah berubah pikiran.
“Tapi
biarlah mungkin ini hanya karena kekhawatiran sejenak saja akibat rasa sayang
mereka kepadaku.” Ucap Habibah di dalam hatinya.
Pada
waktu itu Habibah hanya terdiam dan membiarkan bapaknya berbicara. Tetapi
ibunya Habibah, sebagai seorang ibu dia sangat mengerti akan perasaan Habibah yang
bingung dan sangat sedih. Tapi apa boleh buat, di lain pihak, hati ibunya
Habibah merasa juga satu pikiran dengan sang bapak. Beliau juga hanya ingin
yang terbaik bagi Habibah. Tidak rela jika anaknya menjadi sengsara. Apalagi
pernikahan itu sifatnya kalau bisa hanya satu kali seumur hidup.
Biarkanlah
semuanya pada masing-masing egonya, masing-masing akan keyakinan yang
dipercayanya sebagai jalan yang terbaik. Semuanya tidak salah, tidak pula
benar. Kita buktikan saja kebenaran atau kesalahan ini di masa yang akan
datang. Biarkanlah sang waktu yang akan menentukannya. Biarkanlah sang fakta
yang akan membuktikannya, dan biarkanlah sang zaman yang akan menghakiminya,
siapakah yang keliru dan siapakah yang salah memilih jalan pada saat ini.
Semuanya
harus menahan diri masing-masing, karena keadaan ini adalah keadaan yang
sedang saatsaatnya menegangkan. Abipun telah mengetahui hal ini dari Habibah.
Agak sedikit rasa menyesalkan kejadian ini pada Abi. Hatinya yang tadinya
diliputi oleh kebahagiaan saat keluar dari rumah Habibah, sekarang berubah
menjadi sebuah kekhawatiran dan kebingungan. Betapa tidak, bayangannya dia akan
berhasil memetik bunga melati, tapi pada saat detikdetik terakhir saat jalan
ditemuinya begitu lebar dan luas membentang, tibatiba sesuatu yang sangat
misterius dan kokoh menghalangi jalannya itu, bagaikan topan dan badai, sulit
untuk ditembus. Apa boleh buat kali ini ia harus memutar langkah, mencari jalan
alternatif lain yang lebih baik dan kalau perlu radikal sekalian. Masa ini
adalah masanya revolusi di dalam kehidupan Abi. Proklamasi sudah di dengungkan,
kini tinggal mempertahankan kemegahan proklamasi itu dengan penuh keteguhan
jiwa. Mengerahkan segala kemampuan,
bahkan kalau perlu membakar rumahrumah seperti peristiwanya Bandung Lautan Api.
Yang terpenting para penjajah tidak berhasil memisahkan antara rasa cinta yang
menggebu di dalam dada untuk ibu pertiwi dengan tanah air ini. Tanah air sebagai
bukti cinta dari Tuhan yang Maha Kuasa yang dulu diberikan kepada para
pendahulu dan kini menjadi hak warisan untuk kita.
“Sabar
saja Jang, terus berikhtiar, percayalah bahwa Gusti Allah sangat baik kepadamu.
Percayalah bahwa tidak sematamata Dia memberikan keinginan, jika Dia pelit
terhadap hambanya. Tuhan memberikan keinginan, karena Dia menghandaki agar
hambaNya berjuang. Tuhan memberikan keinginan, agar hambaNya berdo’a dan
memohon kepadaNya. Karena Dia bahagia jika hambaNya meminta.” Kata Mang Usro
menasehati Abi sebagai akhir dari episode ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar