Hari sudah menjelang subuh, suara
jengkrik masih terdengar sedang memainkan orkes dengan makhlukmakhluk yang
lainnya. Saling bersahutan. Indah.
Pagipun segera menjelang, matahari
mulai keluar sedikit demi sedikit, seolah mengingatkan kepada semua makhluk untuk
segera bangun dan berikhtiar. Mencari rezeki hari ini yang ditebarkan oleh
Tuhan.
“Wahai para makhluk, bertebaranlah
kalian di muka bumi sebagai wujud dari rasa syukurmu kepada Tuhanmu. Dan
beriktiarlah, karena sesungguhnya Tuhanmu tidak akan merubah suatu kaum,
sebelum kaum itu merubahnya sendiri.” Begitulah seolah matahari memperingatkan
kepada seluruh manusia pada umumnya.
Ayamayampun sudah berkokok di belakang
rumah Abi dan Habibah, seolah menakutnakuti manusia bahwa “Bangunlah!!
Berikhtiarlah!!, kalau tidak, rezekimu akan kami patuk.”
Mendengar perkataan ayam yang demikian,
segera manusia pada umumnya bangun, terperanjat dari atas tempat tidurnya, dan
bangun dari mimpimimpi indahnya yang telah melenakannya untuk tetap menutup
mata.
Adapun makhluk yang aneh, yaitu para
kelompok kelelawar dan kelompok burung hantu. Menjelang matahari keluar dari
peraduannya, maka mereka seolah takut berjumpa dengan matahari, mereka menutup
mata saat matahari menyinari alam semesta dan menunjukkan akan kebesaran Tuhan.
Seolah mereka berkata bahwa mereka tidak ada urusan dengan matahari, tidak ada
guna menuruti titah sang raja siang itu. Karena mereka tidak suka dengan
kerajaannya sang raja siang, tetapi mereka adalah rakyat dari kerajaannya si
ratu malam, Sang Rembulan. Kerajaan yang rakyatnya sedikit. Kerajaan yang
kadang tanpa sang penguasa, tetapi tetap rakyatnya patuh. Tidak pernah berbuat
kerusakan. Sedangkan kerajaan Si Raja Siang adalah kerajaan yang menyeramkan.
Jauh dari kedamaian, dan sifatnya Si Raja Siang itu yang menjengkelkan. Selalu
menyiksa para rakyatnya dengan cahayanya yang membakar kulit.
Terserahlah, biarkanlah dialog antara
rakyat Si Raja Siang dan Si Ratu Malam itu selalu terulang setiap hari tanpa
ada suatu kejelasan akan berakhirnya perdebatan tersebut. Sekarang perhatian
semuanya tertuju kepada dua merpati sejodoh yang tidak pernah mempersoalkan
tentang kerajaan siang atau kerajaan malam. Dua merpati sejodoh itu bernama Abi
dan Habibah. Hari ini setelah sarangnya beres dan bersih, mereka sudah
bersiapsiap untuk terbang menuju rumah saudara mereka yang bernama Nana dan Ceu
Euis.
Ah……segalanya begitu lancar, setelah
terbang sebentar, rumah Nana pun terlihat dan segera mereka turun untuk
berkunjung. Nana yang kebetulan ada di rumah, menyambut dan mempersilakan
tamunya itu. Pertemuan yang sepertinya sebagai pelepas rasa rindu yang sudah
lama terpendam ini cukup lama berlangsung. Tapi segera Abi dan Habibah teringat
pada tujuan yang selanjutnya, yaitu Ceu Euis.
Setelah berpamitan kepada Nana, akhirnya
mereka pergi dan segera terbang lagi menuju rumah saudaranya yang lain warna
kulit.
Menurut Abi, Ceu Euis adalah seorang
Tionghoa yang sangat baik. Seperti orangorang Tionghoa lain pada umumnya, Ceu
Euis adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Di rumahnya ia membuka toko
kelontongan yang besar. Dan Ceu Euis inilah yang dulu ketika Abi kuliah menjadi
tempat Abi meminjam uang jika kebetulan abi pulang kampung, dan tidak punya
ongkos untuk kembali ke Bandung.
“Ceu Euis adalah orang yang sangat
baik, dia tidak pernah menghitung uang yang dipinjam oleh Akang, melainkan
Akang sendiri yang harus menghitungnya. Katanya yang penting Akang jujur, maka
beliau akan meminjamkan berapapun uang yang Akang butuhkan.” Ujar Abi tempo
hari.
“Aeh…..dari mana saja kamu ini Abi,
sudah hampir enam bulan Euceu tidak melihat kamu.” Sapa seorang wanita Tionghoa
dengan hangatnya.
“Ih….ari Euceu, dulu kan sebelum Abi
pergi, Abi sempat pamitan dulu kepada Euceu disini, bahwa Abi teh ada tugas
proyek dari Pemda Jabar untuk membangun irigasi dan jalan di daerah Kuningan.”
“Eh…..iya, maaf Euceuteh baru ingat
Abi, maklum banyak kerjaan. Eh….ari ini siapa? Temen?” Ucap perempuan yang
berlogat sunda itu sambil menunjuk kepada Habibah.
“O….ya, kenalkan Ceu, initeh istri
Abi.”
“Eh…..initeh istri kamu? aeh…..ari kamu
Abi, kenapa kamuteh tega tidak memberi tahu Euceu, kamuteh tidak menganggap
saudara lagi ya?” Ucap Ceu Euis yang langsung menerima jabatan tangan Habibah
sambil memandang Habibah dalamdalam.
“Maaf ceu, Abiteh bukan bermaksud seperti
itu, semuanya serba mendadak, dan mengejar waktu. Saudarasaudara yang lain juga
tidak diundang ceu, hanya beberapa orang saja. Itupun yang kebetulan saja pas
Abi datang dari Kuningan, mereka ada di rumah Abi.” Jawab Abi menjelaskan
panjang lebar.
Dialogpun selanjutnya diteruskan.
Setelah itu habibah diajak untuk berkeliling rumahnya Ceu Euis yang ternyata
Ceu Euis ini adalah seorang yang suka mengoleksi berbagaimacam bunga. Indah
sekali. Sebuah rumah ruko, yang modelnya seperti rumah ruko orang Tionghoa
biasa, bertingkat. Lantai satu untuk toko dan lantai dua dibagi menjadi dua
ruangan, yaitu sebelah untuk kamar karyawan, dan sebelahnya lagi sebagai
rumahnya Ceu Euis dan keluarga.
Sekarang Ceu Euis hanya hidup sendiri.
Suaminya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Sedangkan dua anaknya sekarang masing-masing
ada yang sedang kuliah dan ada juga yang sudah berkeluarga di kota lain.
Hariharinya hanya dihabiskan dengan para karyawannya dalam mengelola tokonya
itu.
Toko Ceu Euis ini merupakan toko yang lumayan
besar, modelnya seperti toko kelontongan, hanya saja toko kelontongan Ceu Euis
ini terlihat tertata, rapi, bersih, dan komplit. Disamping itu para
karyawannya, yang katanya ada enam orang, semuanya berseragam rapi dan terlihat
sangat ramah dan sopan dalan melayani para pembeli.
Menurut Abi, Ceu Euis adalah orang yang
luar biasa. Awal mulanya Ceu Euis adalah orang yang tidak punya. Hampir setiap
hari makannya pun hanya dengan bubur. Tapi karena ia adalah orang yang ulet,
rajin, jujur dan baik, akhirnya ia bersama suaminya bisa membuat toko
kelontongan yang terbesar di sekitar daerah ini. Bagi Abi, Ceu Euis dan
keluarganya sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Begitupun sebaliknya, Ceu
Euispun sudah menganggap Abi sebagai keluarga.
Awal mula kedekatan mereka sudah
dimulai ketika dahulu Abi masih anakanak. Pada waktu itu Abi suka dibawa
kakeknya untuk berbelanja di warung Ceu Euis yang belum sebesar sekarang.
Akhirnya dari keseringannya itulah Abi menjadi kenal. Sesekali Abi membantubantu
di warung Ceu euis sampai ia selesai menamatkan sekolah SMUnya.
“Dulu, kalau Akang sedang ada masalah
di rumah, biasanya Akang tinggal disini Neng. Kalau disini itu bawaannya fresh
dan selalu ada teman.” Ujar Abi kepada Habibah.
“Tapi semenjak Abi kuliah, Abiteh jadi
jarang kesini, kecuali pinjam uang Neng.” Ucap Ceu Euis sambil tersenyum. Dan
Abi pun ikut tersenyum.
Begitulah, seorang Tionghoa yang sangat
ramah dan baik hati ini, meskipun usianya sudah sekitar antara 60 sampai 70 tahun.
Terlihat begitu sangat senang kedatangan Abi dan Habibah. Keramahannya
mencerminkan kehebatannya dalam memperlakukan konsumen, sehingga sulit untuk
konsumen berpindah ke lain hati.
“Abi sekarang kerja dimana?” Tanya Ceu
Euis.
“Belum tetap Ceu, masih menunggu
panggilan selanjutnya di Pemda Jabar. Untuk sekarang, Abi kerja ngahonor di kelurahan.” Jawab Abi.
“Ya atuh sing sabar Bi, semuanya juga
perlu proses. Tidak bisa kita itu sukses dengan tanpa perjuangan terlebih
dahulu. Kalau perjuangan kita besar, nanti pas sukses itu sangat manis Bi.”
Ucap Ceu Euis menasehati.
“Eh, ari Si Neng teh dulu sekolahnya
sampai mana?” Terus Ceu Euis kepada Habibah.
“Dari SMA ceu.” Jawab Habibah.
“Tinggi juga ya, Neng bisa dagang
tidak?”
“Kalau dagangmah saya suka Ceu. Saya
sangat berminat.”
“Kalau begitu, Neng di rumah buka
warung saja. Nanti Euceu modalin deh. Nanti untuk masalah pembukuannya, sistem
kerjasamanya, kita bicarakan kemudian.” Ucap Ceu Euis tulus.
Begitulah, seorang Tionghoa, yang tidak
mau dipanggil China ini begitu tulus membantu Habibah. Suara kemanusiaan adalah
yang bercerita disini, suara yang bukan lagi suaranya chauvisme. Suara
yang berbisik bahwa sesama manusia adalah bersaudara. Inilah suara universal
yang melintasi agama, budaya, dan bahkan teritorial. Saling asah, saling asuh,
saling asih. Karena Tuhan merahmati kita semua melalui kalimat kasih sayangNya.
“Bagaimana Kang, Akang setuju kalau
Neng jualan?” Ucap Habibah sambil memandang dalam belahan hatinya itu yang dari
tadi hanya diam saja.
“Kalau Akang terserah Neng. Tapi kalau
Neng merasa keberatan, Akang rasa tidak usah Neng.” Ujar Abi berusaha memberi
solusi.
“Neng tidak merasa keberatan Kang.
Malahan bahagia, bisa membantu Akang dalam mencari nafkah sebelum Akang
memiliki pekerjaan tetap.”
“Kalau begitu silakan saja Neng, nanti
Akang bantu buat belanjanya ya.” Ucap Abi yang terlihat mulai bersemangat.
Cepat cerita semuanya sudah selesai.
Semua perjanjian telah dibuat, begitupun sistem yang berlaku. Dan mulai minggu
berikutnya Habibah yang dibantu oleh Abi mulai membuka warung kebutuhan
seharihari plus sembako seperti
beras, dedak, sayuran, dll. Warung itu dibuat dengan cara memanfaatkan ruang
tamu dan jendela depan rumah mereka. Begitu kelihatan sederhana dan mungil. Dan
untuk tempat barang dagangannya, ada yang diberi Ceu Euis, dan ada pula yang
sengaja Abi buat sendiri.
Perjuangan dalam membina rumah tangga
sudah dimulai. Setidaknya kali ini satu permasalahan sudah terselesaikan, yaitu
untuk makan seharihari. Apalagi mereka masih hidup berdua. Sementara mereka
masih bisa menyimpan uang, yaitu gaji yang didapat Abi tiap bulannya.
Hidup mereka berdua pun semakin hari terlihat
semakin bahagia. Hidupnya selalu rukun dan damai, kehidupan ekonomipun mulai
membaik. Sungguh benar janji Tuhan yang tersirat bahwa manusia itu jangan takut
untuk menikah, karena jikalau ada dua hambaNya yang menikah, maka Tuhan akan
memberikan rizkinya yang lebih banyak.
Firman
inilah yang kadang para manusia mengingkarinya, tidak percaya dengan firman
Tuhan. Dengan banyak yang berpendapat bahwa bekerja dulu, baru menikah. Mapan
dulu, baru menikah. Kaya dulu baru menikah. Fikiran inilah yang sebenarnya
memberatkan mereka sendiri. Padahal Tuhan sudah memudahkan untuk mereka. Bahkan
Tuhan telah berseru beberapa kali, bahkan sampai ke dalam gendang telinga
mereka, bahwa menikahlah jika kamu sudah tidak bisa menahannya lagi, jangan
takut! Sekali lagi jangan takut! Soal rezeki, karena seekor cicakpun yang hanya
diam di dinding, Tuhan tetap memberi ia rezeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar