Jumat, 10 Juli 2020

Belajar ke Tionghoa


Hari sudah menjelang subuh, suara jengkrik masih terdengar sedang memainkan orkes dengan makhlukmakhluk yang lainnya. Saling bersahutan. Indah.
Pagipun segera menjelang, matahari mulai keluar sedikit demi sedikit, seolah mengingatkan kepada semua makhluk untuk segera bangun dan berikhtiar. Mencari rezeki hari ini yang ditebarkan oleh Tuhan.
“Wahai para makhluk, bertebaranlah kalian di muka bumi sebagai wujud dari rasa syukurmu kepada Tuhanmu. Dan beriktiarlah, karena sesungguhnya Tuhanmu tidak akan merubah suatu kaum, sebelum kaum itu merubahnya sendiri.” Begitulah seolah matahari memperingatkan kepada seluruh manusia pada umumnya.
Ayamayampun sudah berkokok di belakang rumah Abi dan Habibah, seolah menakutnakuti manusia bahwa “Bangunlah!! Berikhtiarlah!!, kalau tidak, rezekimu akan kami patuk.”
Mendengar perkataan ayam yang demikian, segera manusia pada umumnya bangun, terperanjat dari atas tempat tidurnya, dan bangun dari mimpimimpi indahnya yang telah melenakannya untuk tetap menutup mata.
Adapun makhluk yang aneh, yaitu para kelompok kelelawar dan kelompok burung hantu. Menjelang matahari keluar dari peraduannya, maka mereka seolah takut berjumpa dengan matahari, mereka menutup mata saat matahari menyinari alam semesta dan menunjukkan akan kebesaran Tuhan. Seolah mereka berkata bahwa mereka tidak ada urusan dengan matahari, tidak ada guna menuruti titah sang raja siang itu. Karena mereka tidak suka dengan kerajaannya sang raja siang, tetapi mereka adalah rakyat dari kerajaannya si ratu malam, Sang Rembulan. Kerajaan yang rakyatnya sedikit. Kerajaan yang kadang tanpa sang penguasa, tetapi tetap rakyatnya patuh. Tidak pernah berbuat kerusakan. Sedangkan kerajaan Si Raja Siang adalah kerajaan yang menyeramkan. Jauh dari kedamaian, dan sifatnya Si Raja Siang itu yang menjengkelkan. Selalu menyiksa para rakyatnya dengan cahayanya yang membakar kulit.
Terserahlah, biarkanlah dialog antara rakyat Si Raja Siang dan Si Ratu Malam itu selalu terulang setiap hari tanpa ada suatu kejelasan akan berakhirnya perdebatan tersebut. Sekarang perhatian semuanya tertuju kepada dua merpati sejodoh yang tidak pernah mempersoalkan tentang kerajaan siang atau kerajaan malam. Dua merpati sejodoh itu bernama Abi dan Habibah. Hari ini setelah sarangnya beres dan bersih, mereka sudah bersiapsiap untuk terbang menuju rumah saudara mereka yang bernama Nana dan Ceu Euis.
Ah……segalanya begitu lancar, setelah terbang sebentar, rumah Nana pun terlihat dan segera mereka turun untuk berkunjung. Nana yang kebetulan ada di rumah, menyambut dan mempersilakan tamunya itu. Pertemuan yang sepertinya sebagai pelepas rasa rindu yang sudah lama terpendam ini cukup lama berlangsung. Tapi segera Abi dan Habibah teringat pada tujuan yang selanjutnya, yaitu Ceu Euis.
Setelah berpamitan kepada Nana, akhirnya mereka pergi dan segera terbang lagi menuju rumah saudaranya yang lain warna kulit.
Menurut Abi, Ceu Euis adalah seorang Tionghoa yang sangat baik. Seperti orangorang Tionghoa lain pada umumnya, Ceu Euis adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Di rumahnya ia membuka toko kelontongan yang besar. Dan Ceu Euis inilah yang dulu ketika Abi kuliah menjadi tempat Abi meminjam uang jika kebetulan abi pulang kampung, dan tidak punya ongkos untuk kembali ke Bandung.
“Ceu Euis adalah orang yang sangat baik, dia tidak pernah menghitung uang yang dipinjam oleh Akang, melainkan Akang sendiri yang harus menghitungnya. Katanya yang penting Akang jujur, maka beliau akan meminjamkan berapapun uang yang Akang butuhkan.” Ujar Abi tempo hari.
“Aeh…..dari mana saja kamu ini Abi, sudah hampir enam bulan Euceu tidak melihat kamu.” Sapa seorang wanita Tionghoa dengan hangatnya.
“Ih….ari Euceu, dulu kan sebelum Abi pergi, Abi sempat pamitan dulu kepada Euceu disini, bahwa Abi teh ada tugas proyek dari Pemda Jabar untuk membangun irigasi dan jalan di daerah Kuningan.”
“Eh…..iya, maaf Euceuteh baru ingat Abi, maklum banyak kerjaan. Eh….ari ini siapa? Temen?” Ucap perempuan yang berlogat sunda itu sambil menunjuk kepada Habibah.
“O….ya, kenalkan Ceu, initeh istri Abi.”
“Eh…..initeh istri kamu? aeh…..ari kamu Abi, kenapa kamuteh tega tidak memberi tahu Euceu, kamuteh tidak menganggap saudara lagi ya?” Ucap Ceu Euis yang langsung menerima jabatan tangan Habibah sambil memandang Habibah dalamdalam.
“Maaf ceu, Abiteh bukan bermaksud seperti itu, semuanya serba mendadak, dan mengejar waktu. Saudarasaudara yang lain juga tidak diundang ceu, hanya beberapa orang saja. Itupun yang kebetulan saja pas Abi datang dari Kuningan, mereka ada di rumah Abi.” Jawab Abi menjelaskan panjang lebar.
Dialogpun selanjutnya diteruskan. Setelah itu habibah diajak untuk berkeliling rumahnya Ceu Euis yang ternyata Ceu Euis ini adalah seorang yang suka mengoleksi berbagaimacam bunga. Indah sekali. Sebuah rumah ruko, yang modelnya seperti rumah ruko orang Tionghoa biasa, bertingkat. Lantai satu untuk toko dan lantai dua dibagi menjadi dua ruangan, yaitu sebelah untuk kamar karyawan, dan sebelahnya lagi sebagai rumahnya Ceu Euis dan keluarga.
Sekarang Ceu Euis hanya hidup sendiri. Suaminya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Sedangkan dua anaknya sekarang masing-masing ada yang sedang kuliah dan ada juga yang sudah berkeluarga di kota lain. Hariharinya hanya dihabiskan dengan para karyawannya dalam mengelola tokonya itu.
Toko Ceu Euis ini merupakan toko yang lumayan besar, modelnya seperti toko kelontongan, hanya saja toko kelontongan Ceu Euis ini terlihat tertata, rapi, bersih, dan komplit. Disamping itu para karyawannya, yang katanya ada enam orang, semuanya berseragam rapi dan terlihat sangat ramah dan sopan dalan melayani para pembeli.
Menurut Abi, Ceu Euis adalah orang yang luar biasa. Awal mulanya Ceu Euis adalah orang yang tidak punya. Hampir setiap hari makannya pun hanya dengan bubur. Tapi karena ia adalah orang yang ulet, rajin, jujur dan baik, akhirnya ia bersama suaminya bisa membuat toko kelontongan yang terbesar di sekitar daerah ini. Bagi Abi, Ceu Euis dan keluarganya sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Begitupun sebaliknya, Ceu Euispun sudah menganggap Abi sebagai keluarga.
Awal mula kedekatan mereka sudah dimulai ketika dahulu Abi masih anakanak. Pada waktu itu Abi suka dibawa kakeknya untuk berbelanja di warung Ceu Euis yang belum sebesar sekarang. Akhirnya dari keseringannya itulah Abi menjadi kenal. Sesekali Abi membantubantu di warung Ceu euis sampai ia selesai menamatkan sekolah SMUnya.
“Dulu, kalau Akang sedang ada masalah di rumah, biasanya Akang tinggal disini Neng. Kalau disini itu bawaannya fresh dan selalu ada teman.” Ujar Abi kepada Habibah.
“Tapi semenjak Abi kuliah, Abiteh jadi jarang kesini, kecuali pinjam uang Neng.” Ucap Ceu Euis sambil tersenyum. Dan Abi pun ikut tersenyum.
Begitulah, seorang Tionghoa yang sangat ramah dan baik hati ini, meskipun usianya sudah sekitar antara 60 sampai 70 tahun. Terlihat begitu sangat senang kedatangan Abi dan Habibah. Keramahannya mencerminkan kehebatannya dalam memperlakukan konsumen, sehingga sulit untuk konsumen berpindah ke lain hati.
“Abi sekarang kerja dimana?” Tanya Ceu Euis.
“Belum tetap Ceu, masih menunggu panggilan selanjutnya di Pemda Jabar. Untuk sekarang, Abi kerja ngahonor di kelurahan.” Jawab Abi.
“Ya atuh sing sabar Bi, semuanya juga perlu proses. Tidak bisa kita itu sukses dengan tanpa perjuangan terlebih dahulu. Kalau perjuangan kita besar, nanti pas sukses itu sangat manis Bi.” Ucap Ceu Euis menasehati.
“Eh, ari Si Neng teh dulu sekolahnya sampai mana?” Terus Ceu Euis kepada Habibah.
“Dari SMA ceu.” Jawab Habibah.
“Tinggi juga ya, Neng bisa dagang tidak?”
“Kalau dagangmah saya suka Ceu. Saya sangat berminat.”
“Kalau begitu, Neng di rumah buka warung saja. Nanti Euceu modalin deh. Nanti untuk masalah pembukuannya, sistem kerjasamanya, kita bicarakan kemudian.” Ucap Ceu Euis tulus.
Begitulah, seorang Tionghoa, yang tidak mau dipanggil China ini begitu tulus membantu Habibah. Suara kemanusiaan adalah yang bercerita disini, suara yang bukan lagi suaranya chauvisme. Suara yang berbisik bahwa sesama manusia adalah bersaudara. Inilah suara universal yang melintasi agama, budaya, dan bahkan teritorial. Saling asah, saling asuh, saling asih. Karena Tuhan merahmati kita semua melalui kalimat kasih sayangNya.
“Bagaimana Kang, Akang setuju kalau Neng jualan?” Ucap Habibah sambil memandang dalam belahan hatinya itu yang dari tadi hanya diam saja.
“Kalau Akang terserah Neng. Tapi kalau Neng merasa keberatan, Akang rasa tidak usah Neng.” Ujar Abi berusaha memberi solusi.
“Neng tidak merasa keberatan Kang. Malahan bahagia, bisa membantu Akang dalam mencari nafkah sebelum Akang memiliki pekerjaan tetap.”
“Kalau begitu silakan saja Neng, nanti Akang bantu buat belanjanya ya.” Ucap Abi yang terlihat mulai bersemangat.
Cepat cerita semuanya sudah selesai. Semua perjanjian telah dibuat, begitupun sistem yang berlaku. Dan mulai minggu berikutnya Habibah yang dibantu oleh Abi mulai membuka warung kebutuhan seharihari plus sembako seperti beras, dedak, sayuran, dll. Warung itu dibuat dengan cara memanfaatkan ruang tamu dan jendela depan rumah mereka. Begitu kelihatan sederhana dan mungil. Dan untuk tempat barang dagangannya, ada yang diberi Ceu Euis, dan ada pula yang sengaja Abi buat sendiri.
Perjuangan dalam membina rumah tangga sudah dimulai. Setidaknya kali ini satu permasalahan sudah terselesaikan, yaitu untuk makan seharihari. Apalagi mereka masih hidup berdua. Sementara mereka masih bisa menyimpan uang, yaitu gaji yang didapat Abi tiap bulannya.
Hidup mereka berdua pun semakin hari terlihat semakin bahagia. Hidupnya selalu rukun dan damai, kehidupan ekonomipun mulai membaik. Sungguh benar janji Tuhan yang tersirat bahwa manusia itu jangan takut untuk menikah, karena jikalau ada dua hambaNya yang menikah, maka Tuhan akan memberikan rizkinya yang lebih banyak. 
Firman inilah yang kadang para manusia mengingkarinya, tidak percaya dengan firman Tuhan. Dengan banyak yang berpendapat bahwa bekerja dulu, baru menikah. Mapan dulu, baru menikah. Kaya dulu baru menikah. Fikiran inilah yang sebenarnya memberatkan mereka sendiri. Padahal Tuhan sudah memudahkan untuk mereka. Bahkan Tuhan telah berseru beberapa kali, bahkan sampai ke dalam gendang telinga mereka, bahwa menikahlah jika kamu sudah tidak bisa menahannya lagi, jangan takut! Sekali lagi jangan takut! Soal rezeki, karena seekor cicakpun yang hanya diam di dinding, Tuhan tetap memberi ia rezeki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar