Oleh: Qiki Qilang Syachbudy
Orang menjadi begitu
luar biasa ketika mereka berpikir
bahwa mereka bisa
melakukan sesuatu. Saat mereka percaya pada
diri mereka sendiri,
mereka memiliki rahasia kesuksesan yang pertama
(Norman Vincent Peale)
“Malu adalah bagian dari iman”,
begitulah bunyi sebuah hadits nabi yang memaparkan tentang
pentingnya rasa malu, terutama rasa malu kepada Allah swt. Kata malu
dalam hadits nabi tersebut bermakna malu kepada halhal yang jelek
atau lebih luasnya lagi malu jika melakukan halhal maksiat yang tentunya
bertentangan dengan kebenaran ajaran agama atau bertentangan dengan peraturan
di sebuah lingkungan masyarakat.
Namun kadang kita melakukan hal yang
sebaliknya, yaitu malu jika melakukan yang benar, padahal
keberanian di
jalan yang benar adalah anjuran dari setiap ajaran agama. Malahan agama Islam menganjurkan agar setiap pemeluknya
selalu berbuat baik sampai berakhirnya usia.
Malu bisa dibagi dua, yaitu malu untuk melakukan halhal
negatif dan malu untuk melakukan halhal yang positif. Malu untuk
melakukan halhal yang negatif sudah jelas itu sangat dianjurkan oleh
agama, malah agama Islam menyebutkan bahwa malu yang seperti itu adalah malu
yang sebagian daripada iman. Namun malu untuk melakukan halhal yang positif dan
benar, itulah yang tidak dianjurkan oleh
agama, karena hal yang demikian akan menghambat bagi kemajuan
pribadi dan masyarakat.
Memang sangat benar sekali jika kita
menyebut bahwa rasa malu yang jelek itu adalah biangnya ketidakmajuan
bagi seseorang. Karena rasa malu yang demikian itu
menggambarkan kesempitan hati bagi si empunya.
Fenomena tidak terisinya bangku
paling depan di kelaskelas merupakan fenomena yang menunjukkan
bahwa rasa malu ini mungkin dapat mengakibatkan seorang pelajar kurang
maksimal dalam belajar. Kemudian juga fenomena kurangnya minat seorang pelajar untuk bertanya di dalam kelas, hal ini bisa menunjukkan
fakta yang tepat dalam membuktikan bahwa rasa malu yang negatif ini sungguh
sangat membahayakan dan merupakan suatu
penyakit yang sangat serius.
Berdasarkan pengalaman pribadi, dahulu saya adalah seorang yang sangat pemalu. Sampai suatu waktu ada seorang guru yang mengatakan seperti ini, “Qi, kalau disuruh menjawab, acungkan saja tangan terlebih
dahulu, jangan pernah pikirkan orang lain, cuek, bagaimana nanti, apakah
kamu akan menjawab benar atau salah, yang terpenting kamu berani dulu, karena
itu salah satu modal untuk maju. Kalau Qiki terus
memendam rasa malu dalam hati, maka berbagai penyakit psikologis dan psikofisiolgis akan muncul”.
Memang betul kawan-kawan, ketika saya mempraktikan nasihat
guru tersebut, yang tadinya saya kira rasa malu itu (apalagi kalau saya salah
dalam menjawab) akan saya bawa sampai mati, ternyata rasa malu itu hanya dua
sampai tiga menit saja, dan kemudian hilang begitu saja. Sampai akhirnya malah
timbul kebanggaan dan sebuah kesan yang sulit dihapus sehingga hal itu menjadi
ilmu yang permanen.
Saya pun pernah berdialog dengan seorang guru yang lain, beliau
menyebutkan bahwa awal mula keberaniannya untuk berbicara di depan khalayak
adalah dengan membayangkan bahwa ada kekuatan besar di belakangnya yang
senantiasa mendorongnya untuk maju ke depan. Kekuatan itu adalah kekuatan Tuhan
dan do’a ibu yang selalu mendampingi, sehingga beliau tak mempedulikan lagi
segala sesuatu yang ada di hadapannya.
“Saya selalu membayangkan ibu saya yang sedang mendo’akan
dan berbisik supaya saya menjadi pemberani dan maju”. Begitulah kata guru
tersebut.
Marilah kawan-kawan kita bersamasama menjadi seorang yang
pemberani, jangan menjadi pemalu yang berlebihan, karena percayalah, jika kita
terus saja menjadi seorang yang pemalu, saya yakin kita semua hanya akan
dipandang sebagai seorang yang berada di kelas dua atau di kelas tiga untuk
selamalamanya, sampai kita terjun ke dunia kerjapun hal itu akan terbawa karena kebiasaan akan menjadi
karakter kita di masa mendatang. Dalam versi bahasa Inggris, ada kata mutiara
yang mengatakan bahwa “You don’t create your future, you create your daily
habits, and they create your future (Randy Gage)”.
Jika orang
lainpun bisa, kenapa kita tidak bisa? Mari tengok, ibu kita yang hampir
setiap di penghujung malam berdo’a kepada Tuhan untuk kesusksesan kita, namun karena penyakit psikologis “malu” yang ada dalam diri kita masih
bersarang maka kesuksesan yang diharapkan tidak akan pernah kunjung datang. Why???
Ya, karena kesuksesan tidak hanya bermodalkan do’a, namun juga usaha atau
ikhtiar. Dan salah satu usaha kita untuk menjemput kesuksesan yaitu dengan
menghilangkan rasa malu dan menumbuhkan rasa berani di dalam jiwa.
Kapan lagi kita akan melatih keberanian selain
pada saat ini? Yaitu saat menjadi seorang siswa (mahasiswa). Karena kita tidak mau jika nanti kita berada di dunia nyata,
kita terdesak keluar arena karena tidak bisa bersaing dengan orang lain.
Tahap awal bagi kita yang baru berusaha untuk menjadi
seorang pemberani adalah belajar memberanikan diri untuk berorganisasi, belajarlah
untuk kontra pendapat dengan orang lain. Berjanjilah bahwa kita! Tak akan
pernah takut dan malu, kemudian lawanlah rasa malu dengan selalu mengisi
jajaran kursi paling depan di kelas kita, bertanyalah apa saja kepada guru (dosen)
sampai mereka tersenyum dan bangga karena mempunyai siswa (mahasiswa) yang haus akan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pengalaman saya selama
menjadi siswa (mahasiswa), banyak sekali siswa (mahasiswa) yang rasa malunya
besar. Banyak siswa (mahasiswa) yang malu untuk duduk di bangku paling depan,
banyak siswa (mahasiswa) yang malu untuk bertanya, banyak siswa (mahasiswa)
yang malu untuk mempromosikan diri menjadi pimpinan organisasi, dan lain
sebagainya. Padahal, mereka semuanya orangorang yang tidak diragukan lagi
kepintarannya.
Sangat disayangkan sekali memang.
Padahal, jika saja mereka menambahkan keberaniannya saja, tentu banyak hal
positif yang dapat mereka raih. Kenapa demikian, sebab rasa keberanian itu akan
kita butuhkan ketika nanti terjun ke lingkungan masyarakat. Dengan keberanian
itu kita akan mampu mengambil sebuah inisiatif dengan penuh percaya diri. Kita
juga akan terbiasa untuk berani mengambil resiko atas apa yang kita lakukan.
Oleh karena itu, menurut pengalaman saya,
jurus untuk mengikis rasa malu tersebut adalah dengan cara kita mengikuti
organisasi dan aktif di dalamnya. Kalau boleh saran yang lebih jauh, saya
sangat menganjurkan kawan-kawan untuk sesekali mencoba berorasi di depan siswa
(mahasiswa) lainnya pada saat melakukan demonstrasi. Itu bisa meningkatkan rasa
percaya diri beberapa kali lipat.
Terakhir, rasa malu itu sebenarnya hanyalah
perasaan subjektif kita saja dan tidak memiliki dasar yang kuat. Hanya akan ada
di dalam perasaan sekitar dua sampai tiga menit saja,
kemudian akan menguap bersama kebanggaan kita. Jangan pernah mempedulikan orang
lain. Tertawaan, senyuman, cibiran, cacian, makian dan sebagainya hanyalah
sebuah bumbu dalam kehidupan ini, hal itu biasa. Jangankan kita sebagai manusia
biasa, seorang utusan Tuhan pun sering merasakan hal yang demikian.
Mulai
dari sekarang, acungkanlah jarimu. Jangan sungkan, jika ada pemilihan ketua di
lingkunganmu, acungkanlah jarimu untuk menjadi ketua, jangan malu.
Belajarlah untuk berani tampil di muka umum. Masa muda hanya sekali dalam
seumur hidup. Jadikanlah masamasa ketika kita berada di sekolah (kampus) ini
menjadi sebuah kenangan indah yang kita akan tersenyum ketika mengenangnya di
masa depan. Beranilah dan buanglah rasa malu
ketika berada di posisi yang benar!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar