Senin, 06 Juli 2020

Wayang Golek


Oleh: Qiki Qilang Syachbudy


Kehidupan anak-anak di kampung memang jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak di perkotaan. Kehidupan dengan alam sangat terasa begitu dekat. Alam perkampungan merupakan pengasuh setia kami yang selalu ramah penuh dengan kehangatan. Berbeda dengan para pengasuh anak-anak di kota yang bekerja dengan motivasi rupiah.

Alam bagi kami merupakan sebuah keanggunan tersendiri yang selalu akan dirindu setiap saat. Di saat pagi-pagi kami sudah pergi ke mushola untuk menunaikan sholat subuh yang kemudian dilanjutkan dengan mengaji Alquran. Ketika matahari sudah terbit kami segera pulang dan persiapan untuk menuju sekolah. Setelah segala persiapan selesai, kami bersama-sama pergi ke sekolah dengan sepatu yang ditenteng karena takut kotor ketika melewati sawah yang ada di sekitar sekolah SD inpres.

Kehidupan yang tak pernah melelahkan pada waktu itu memang sangat terasa. Jika waktu sekolah selesai, kami segera pulang untuk makan siang dan menunaikan sholat dzuhur. Setelah itu, segera kami lari ke sungai terdekat untuk ngebak, atau dalam bahasa Sunda berarti mandi di sungai pada siang hari. Disanalah kami saling bercengkarama dan melakukan beberapa permainan seperti ucing-ucingan, lempar koin, balap renang, dan sebagainya. Sementara itu, beberapa teman yang lain ngobeng, atau dalam bahasa Sunda berarti menangkap ikan dengan tangan.

Selain ngebak, kami juga di siang hari sering melakukan petualangan ke hutan di pinggir gunung untuk mencari bermacam-macam buah-buahan hutan atau mencari kayu bakar untuk kebutuhan keluarga. Meskipun petualangan itu jauh daripada pantauan orang tua, namun kami tak pernah takut, dan orang tua pun tak pernah khawatir. Sebab kami memang hidup dengan alam, dan alam merupakan pengasuh yang selalu tersenyum dengan ramah.

Menjelang waktu ashar biasanya kami sudah pulang karena harus melakukan pekerjaan rumah seperti memberi makan ayam serta persiapan untuk pergi ke mushola, belajar ngaji Alquran atau kitab kuning.

Ketika sholat isya selesai, biasanya kami melakukan berbagai permainan tradisional, seperti ucing-ucingan, petak umpet, papadengkrakan, dan sebagainya. Tapi tunggu dulu, kadang permainan tradisional itu kami bisa cancel ketika ada pertunjukan wayang golek di radio atau di hajatan pernikahan atau khitanan yang lokasinya dekat dengan kampung yang kami tinggali.

Meskipun masih tergolong anak-anak, tetapi kami sudah bisa mengidolakan dalang Asep Sunandar Sunarya (Alm.). Alasan kenapa kami menyukai Asep Sunandar Sunarya sebetulnya sangat sederhana, yaitu karena ia sangat fasih dalam memerankan tokoh Si Cepot yang biasanya muncul pada sekitar jam 12 malam untuk memecah kantuk penonton agar terus bisa menyelesaikan cerita sampai selesai. Begitulah kehidupan kami sebagai anak kampung yang tentu sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak di kota yang sudah mengenal mall dan gadget.

Setelah kami dewasa, tentu semuanya sudah berubah. Kehidupan kampungpun sudah dimasuki oleh hingar bingar listrik dan jalan aspal yang membentang. Anak-anak sekarang, jangankan masuk keluar hutan, jalan keluar rumahpun harus memakai sepeda motor. Malam-malam menjadi sepi karena anak-anak muda sibuk dengan memainkan media sosial. Sementara itu para orang tua khusyuk dengan kelanjutan sinetron yang ada di televisi dari episode ke episode. Adapun beberapa anak remaja di luar rumah, mereka hanya bermain gitar karena hidupnya sedang dirundung sulit cari kerja karena rendahnya pendidikan yang mereka miliki.

Melihat keadaan ini saya kadang merasa sedih. Kehidupan yang sewaktu kecil saya rasakan sangat ramah, sekarang menjadi kering. Dulu kami merasakan semangat hidup yang sangat membara di dalam hati. Sebagai anak kecil, kami merasa sangat terobsesi dengan tokoh Bima yang sangat kuat karena memiliki kuku pancanaka dan Gatot Gaca sang pangeran dari Pringgandani yang memiliki kemampuan terbang. Selain itu juga kami kagum dengan tokoh Kresna yang bijaksana dan tokoh Semar yang sederhana dan sangat bijaksana, penuh dengan philosofi kehidupan.

Bagi saya pribadi, pertunjukan wayang golek yang dahulu ditonton baik secara langsung maupun lewat radio, telah memberikan wawasan batin yang sangat berharga untuk saat ini. Terutama dalam hal keagamaan, saya sangat terinspirasi dengan tokoh Semar yang merupakan singkatan dari sem yang berarti pengangken-ngangken, dan mar yang berati menyemarakkan Dzat Tuhan, Allah SWT, yang berarti mengandung arti sebagai dakwah. Tokoh Semar merupakan tokoh yang sangat sederhana dan penuh dengan perlambang. Dari cara jalannya pun ia berjalan satu-dua langkah, kemudian menengok ke belakang, perlambang bahwa hidupnya selalu penuh dengan kehati-hatian.

Melihat tayangan di televisi beberapa hari yang lalu mengenai berita di Kabupaten Purwakarta, saya kemudian sejenak merenung. Saya merasa aneh kenapa patung-patung wayang golek saat ini menjadi sangat ditakuti oleh masyarakat sehingga mereka menghancurkannya dengan alasan agama. Padahal, saya sendiri yang merupakan penggemar wayang golek dari mulai kecil sampai dewasa, tidak pernah merasa kepercayaan saya terganggu oleh wayang golek. Malah saya rasa, wayang golek adalah kesenian yang sangat luhur dengan nilai agama dan tatakrama.

Terlepas dari apakah di Purwakarta itu adalah tindakan politik ataupun tidak. Namun saya pribadi sangat miris karena yang membangun dan yang menghancurkan patung wayang golek itu adalah sama-sama masyarakat Pasundan. Wayang golek merupakan sebuah kesenian yang sudah hidup berabad-abad lamanya di Tatar Pasundan, namun gambar dan patungnya pun sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan asing. Yang menjadi lebih miris adalah ketika ada patung atau gambar produk asing yang memenuhi jalan-jalan raya, pusat-pusat perbelanjaan, dan media-media, justru tidak ada yang protes dengan keras.

Hal ini tentu menjadi bahan renungan bukan hanya untuk masyarakat Pasundan, namun juga bagi seluruh rakyat Indonesia, mengenai sebuah fenomena semakin asingnya budaya di tanahnya sendiri. Hal ini juga menjadi bahan renungan bagi saya tentang fenomena generasi muda di kampung yang lebih merasa menjadi masyarakat kota daripada merasa sebagai orang kampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar