Seekor
jengkrik tibatiba terbangun dari tidurnya. Terkesan dia terkejut melihat malam
yang sudah larut dan udara yang
kian dingin. Terdengar
temantemannya yang lain sudah saling berpesta menyanyikan irama malam dengan
saling bersahutan, menyemarakkan malam yang seperti tidak berpenghuni. Dunia
seperti berada dalam kehampaan. Sementara angin perlahan membuai siluet
pohonpohon pisang dan rumput mute kering
yang berada di sekitar pematang sawah. Bau tanah khas musim kemarau
terseretseret oleh angin yang bergemuruh seperti tidak mempunyai tujuan.
Dengan tidak sempat meregangkan bagianbagian tubuhnya
terlebih dahulu, ia kemudian menggerakgerakkan kedua sayapnya dengan sangat
kencang sehingga saling beradu mengeluarkan suara nyaring yang renyah. Suaranya
itu masuk menyelinap menyatu dengan orkestra musik alam yang semenjak tadi
sudah dimulai. Sempurnalah orkestra pertunjukan musik malam pada malam hari
ini. Sebuah karunia Tuhan yang tidak pernah bisa dihargai dengan uang. Sebuah
rasa kedamaian datang dari-Nya, sebagai musik penenang jiwa, pengiring segenap
makhluk yang sedang menghapus rasa lelahnya.
Mendengar
suara oskestra malam itu, satu keluarga kelelawar terperanjat dari atap sebuah
mushola kecil di suatu kampung. Mereka
menari di loronglorong udara, meliuk-liuk senada dengan alunan bunyi iramanya. Mereka mabuk
kepayang dengan suasana yang indah itu. Terpana dengan kesyahduan alam yang
begitu memanjakan dan menenangkan. Membawa harapan hidup seribu tahun lamanya. Gelanggang
langit merupakan lahan yang sangat luas bagi hati yang dipenuhi kebebasan dalam
memuja dan memuji sang Khaliq.
Tiba-tiba langit menjadi semakin pekat karena tertutup oleh hamparan
sayap
kelelawar yang semakin
beringas. Seketika mereka menggiring musik yang syahdu itu dengan genderang musik
perburuan. Mereka memainkan angin sehingga menjadi kencang dan semakin kencang.
Sehingga alunan orkestra malampun menjadi semakin menggelora. Namun, keindahan
dan kesyahduan suasananya mereka tetap jaga sehingga tidak mengubah fungsi
malam sebagai tempat mengadu raga-raga yang lemah dan hati-hati yang gundah.
Meskipun orkestra malam ini begitu ramai, namun jauh
di atas sana, tetap saja
sang rembulan yang sedang bersinar sempurna itu merasakan kesepian yang tidak kunjung terobati.
Namun, orkestra malam ini masih mampu untuk membuatnya tersenyum
dingin, ikut tenggelam dalam kemeriahan yang ada di atas bumi. Membantu sepasang mata untuk menangkap suasana
kegirangan makhluk malam menyambut dunia yang penuh dengan kebebasan dan
terhindar dari ancaman.
Hingar
bingar kebahagiaan sang rembulan terpancar melalui sinar yang dengan mesra
merayu kelelawar, jengkrik, dan segenap
makhluk
penghuni malam lainnya untuk bermain bersama dan menikmati bersama malam yang
semakin syahdu. Bak seorang ibu yang sedang menggoda anak bayinya yang baru
beberapa bulan saja merasakan indahnya dunia.
Di
tengah hingar bingarnya suasana tersebut, tidak ada seorang pun manusia yang
memerhatikannya. Bukan karena mereka tidak memiliki batin yang lembut untuk
merasakan segala orkestra malam yang sedang dimainkan oleh para seniman alam.
Hal ini mungkin karena
didorong oleh raga yang telah lemah akibat pertempuran tadi siang mencari nafkah untuk keberlanjutan hidup keluarganya.
Maklumlah, hidup di zaman yang semakin edan ini semuanya
perlu serba cepat, serba efektif, serba efisien, dan serba dipenuhi oleh
targettarget dan kewajibankewajiban. Kalau tidak, maka dunia yang tanpa nurani
ini akan menggilasnya dengan tanpa ampun. Mungkin inilah yang kemudian di zaman
ini orang banyak lupa dengan kewajiban-kewajibannya. Bukan karena mereka lalai, namun bisa jadi karena
mereka terlalu banyak kewajiban yang dipikulnya yang melebihi kadar dari
kemampuan.
Namun,
di dunia ini memang selalu saja ada
pengecualian. Begitu pula halnya dengan keadaan pada malam itu. Tidak banyak
makhluk yang mengetahui bahwa di sebuah mushola kecil di kampung nun jauh
disana ada sosok manusia yang selalu menghidupkan malamnya dengan cara
mengheningkan cipta untuk menemui Sang Pemilik Seluruh Alam. Meskipun ia selalu terjaga, namun manusia
ini sama sekali tidak mengetahui akan gegap gempitanya makhluk di luar sana.
Yang ia rasakan hanyalah sebuah ketenangan jiwa dan rasa kemesraan. Meskipun sesekali masih
dirasakannya semilir angin yang menyentuh dari pinggirpinggir badannya.
Ia terlihat sangat khusyu dengan manteramantera yang
tidak pernah luput dari mulutnya. Seolah tidak peduli lagi dengan keadaan
sekitarnya yang hanya diterangi oleh cahaya remang-remang yang berasal dari lampu tempel yang menempel di
dinding salah satu sudut dari mushola kecil itu.
Sesekali
terdengar suara isak tangis dari orang tersebut. Seolah ada penyesalan yang sangat dalam. Sesekali
terdengar ia memuji-muji, sesekali ia terdengar mengerang memohon ampun. Tidak
ada sedikit pun raut bahagia di rona wajahnya. Begitulah, konon menurut orang,
bahwa manusia yang satu ini memang
sudah menjadi kebiasaannya seperti itu. Bangun di waktu malam
adalah kegemarannya. Di saat orangorang sedang asyik dibelai mimpi indah, maka
ia tetap terjaga untuk menemui Tuhannya dengan memuji dan memohon ampun
kepadaNya.
“Syid…Syiiid…Rasyiiiiiid.”
Entah
darimana datangnya, tibatiba ada suara
yang memanggil Rasyid dari belakang dengan suara lirih namun tegas.
Rasyid
yang sedang khusyuk mengheningkan cipta tidak sedikitpun menghiraukan panggilan
itu. Meskipun kemudian suara itu kembali memanggilnya, tetapi ia tetap tidak
menghiraukannya. Malah terdengar
Rasyid mengeraskan suaranya seolah tidak ingin mempedulikan suara tersebut.
Sengaja Rasyid tidak menghiraukan suara itu karena ini
memang bukan kali pertama ia
jumpai.
Sudah beberapa malam ini suara itu selalu muncul di tengahtengah ia sedang
berada dalam puncak keheningan jiwa. Setiap kali ia menuruti panggilan
tersebut, namun sosok yang memanggilnya itu tidak ada.
“Ah,
Kau ini hanya sedang mempermainkanku saja dan berusaha menggangguku di saat Aku
sedang menemui Tuhanku.” Ucap Rasyid dengan suara parau sambil tetap memejamkan
matanya, tidak mau menoleh.
“Hahahaaa…Kau
ini lucu Rasyid, atau kau ini sedang jumawa? Kau kira Tuhanmu hanya mengurusi
Kamu malam ini? Tuhanmu itu sangat sibuk Syid, masih banyak makhluk yang lebih
membutuhkanNya dibandingkan Kau. Kamu ini orang yang tidak punya permasalahan
Syid. Jadi Tuhanmu juga malas untuk bertemu Kamu.” Ucap suara itu seolah sedang
memperolok Rasyid.
“Dasar
setan!!! Kau sudah berani menghina Tuhanku!!!” Ucap Rasyid menyentak sambil
menoleh ke arah sumber suara yang memperoloknya tersebut.
Terlihat
oleh Rasyid sosok manusia yang berpenampilan ala koboi yang ada di filmfilm yang pernah ia tonton. Meskipun matanya tidak
terlihat karena terhadang oleh topi koboinya, namun dari senyum sinisnya
terlihat bahwa ia sedang memperhatikan Rasyid dengan penuh ketelitian.
Beberapa
saat Rasyid tidak berbicara apaapa. Pikirnya masih tidak percaya bahwa sosok
yang sudah beberapa malam ini mengganggunya itu adalah seorang yang
berpenampilan aneh dan nyentrik. Rasyid masih bertanyatanya di dalam hati
tentang mengapa orang itu berpenampilan ala pakaian koboi seperti itu dan siapakah
ia sebenarnya, dan bagaimanakah
caranya ia masuk ke dalam mushola sementara pintunya masih tertutup?
Belum
lagi Rasyid berucap, tetapi sosok
itu sudah keluar dari mushola. Entah pergi menuju kemana, namun yang pasti
sekarang sosoknya sudah terbuka dan siang ini Rasyid bisa dengan mudah menemukan
identitas manusia ini.
“Awas Kau manusia iseng. Hari ini Aku pasti akan bisa
menemukan siapa Kau sebenarnya.” Ucap Rasyid menggerutu sambil kembali
melanjutkan perenungannya.
Sementara
itu waktu adzan shubuh sudah tiba. Para jamaah mushola pun sudah berdatangan
untuk bersamasama menunaikan sholat shubuh berjamaah. Setelah adzan dan iqamat
dikumandangkan maka Rasyid yang merupakan tokoh agama di kampung tersebut
langsung memimpin jalannya shalat shubuh berjamaah.
Suasanapun
khidmat ketika Rasyid memimpin jalannya sholat berjamaah. Suaranya yang khas
dan merdu mampu menyihir suasana pada saat itu. Angin di luar yang terpesona
dengan suara Rasyid mendadak mabuk kepayang dan manja. Dibukanya sedikitsedikit
pintu jendela sehingga mereka bisa mengabarkan suara Rasyid itu kepada alam
semesta. Sementara itu,
jauh di ufuk timur sana terlihat fajar mengabari akan segera munculnya sumber
cahaya baru pengganti sang rembulan yang kian memudar saja kharismanya.
Selesai sholat subuh, seperti biasanya, kemudian Rasyid
menyampaikan kuliah subuh kepada para jamaah dengan nasihat-nasihat yang
diperkuat dengan Alquran, Al Hadits, dan kisahkisah tauladan. Tidak lupa
kemudian ia juga mengaitkan tema kuliah subuhnya itu dengan kehidupan
masyarakat pada zaman sekarang. Sebuah refleksi mengambil pelajaran untuk
menghadapi masyarakat supaya tetap memegang teguh nilainilai, dan menghindarkan
mereka dari halhal yang tidak diperbolehkan dan merugikan baik dirinya sendiri
maupun orang lain.
Setelah
selesai aktifitasnya di mushola,
kemudian Rasyid pulang ke rumahnya
yang jaraknya tidak
begitu jauh. Dinyalakannya kemudian tungku
perapian yang ada di dapur rumahnya untuk mendidihkan air. Setelah bara dari
kayu yang di bakar itu agak banyak, kemudian ia memasukkan satu buah umbi
singkong sebagai teman air kopi yang segera akan dibuatnya setelah air
mendidih.
Air
kopi hitam beserta umbi singkongpun sudah siap untuk disantap. Rasyid yang dari
tadi menahan lapar segera menyantap sedikit demi sedikit umbi singkong itu
dengan tangan tanpa alas. Sesekali tangannya merasa terbakar. Namun seolah itu
menambah kenikmatan baginya. Dengan semangat ia memakan singkong bakar itu, dan
jika tenggorokannya merasa penuh, kemudian ia lancarkan oleh air kopi yang sama
masih terasa panas.
Singkong
bakar dan kopi merupakan makanan yang khas setiap pagi bagi para warga kampung
tersebut yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Wangi kopi dan
singkong bakar telah menjadi aroma yang khas di kampung itu sebagai caranya untuk
menyambut pagi yang indah dan dingin.
Di
detikdetik akhir sebelum air kopinya habis, tiba–tiba Rasyid teringat kembali
dengan sosok manusia berpakaian
koboi
yang telah menghina Tuhannya
tadi malam. Pikirnya kemudian diputar ke belakang untuk mengingatingat
kembali suara sosok tersebut.
Rasyid menaruh curiga bahwa Si Manusia Koboi itu adalah salah satu warga dari
kampungnya yang sedang mempermainkannya.
Namun demikian, semakin lama Rasyid
mengingatingat kembali suara Si Manusia Koboi tersebut, maka semakin yakinlah
bahwa ia
bukanlah salah satu dari masyarakat kampungnya. Dilihat dari perawakan maupun
dari suaranya, tidak ada seorang pun dari warga kampungnya yang sesuai dengan ciriciri Si Manusia Koboi tersebut.
“Ah…hanya
buangbuang waktu saja aku memikirkan dia
yang telah menghina Tuhan itu. Biarkan sajalah, besok malam juga dia pasti
seperti biasanya akan menggangguku kembali di mushola ini.”
Ucap
Rasyid di dalam hatinya sambil menghabiskan tegukan terakhir air kopinya itu.
Sementara
terlihat di luar alam semakin terang. Sinar
mentari yang hangat dan ramah menerobos
masuk ke setiap poripori rumah untuk mengusir pengaruh malam yang dinginnya
mencengkram setiap isi ruang udara.
Makhlukmakhluk
malampun sudah kembali ke peraduannya masingmasing. Menikmati indahnya siang
dengan beristirahat. Bukannya siang tidak seindah malam, namun setiap makhluk
sudah memiliki kodrat dan kewajibannya masingmasing yang sudah ditetapkan
dengan adil dan indah oleh yang Maha Mengatur dan Maha Berkehendak.
Benar
saja. Malam berikutnya Si Manusia Koboi itu kembali menemui Rasyid di mushola.
Inilah pertama kali Rasyid bisa berhadapan dengannya. Pada kesempatan ini, sosok itu membuka topinya sehingga terlihat
jelas mukanya secara utuh.
Sejenak
mereka berdua hanya terdiam dan saling memandang. Si Manusia Koboi itu memang
bukan salah satu dari warga masyarakat kampung ini. Rasyid pun belum pernah
mengenal orang ini sebelumnya. Wajahnya terlihat bersih dan sepertinya
memancarkan kegembiraan. Sementara umurnya pun tidaklah jauh berbeda dengan Rasyid.
Masih muda dan sepertinya belum berkeluarga.
Selama
percakapan, Si Manusia Koboi selalu merahasiakan namanya kepada Rasyid. Ia
seolah ingin menjadi manusia yang misterius di mata Rasyid. Meskipun beberapa kali Rasyid mendesaknya, namun Si
Manusia Koboi itu malah semakin keras kepala untuk tetap merahasiakan
identitasnya secara jelas.
“Baiklah
jika kamu tidak mau memberitahukan namamu kepadaku. Tetapi sekarang coba
jelaskan mengapa kamu berpakaian sebagaimana seragamnya para koboi di
filmfilm?” Tanya Rasyid penuh dengan keseriusan.
“Kenapa
kamu sepertinya menganggap aneh pakaianku yang seperti ini Syid? Bukankah kamu
juga tidak ada bedanya denganku?” Jawab Si Manusia Koboi itu dengan sedikit
sinis.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
juga sering melihat kamu di ladang dengan
pakaian
kebesaranmu. Seperti halnya tadi siang kamu memakai sarung, baju koko, dan
kopiah di ladang. Lalu apa bedanya dengan aku yang memakai pakaian kebesaranku
di lapangan untuk masuk ke dalam tempat ini? Apalagi pada hakikatnya status
kita sama.”
“Apa
maksud perkataanmu bahwa status kita sama?” Tanya Rasyid mengerutkan dahinya.
“Iya,
status kita sama Syid.
Kita samasama penggembala. Cuma gembalaan kita berbeda. Aku menggembala ternak
sedangkan kamu menggembala manusia.” Ucap Si Manusia Koboi sambil tertawa
kecil.
“Hei
Manusia Koboi, Kau ini memang manusia yang tidak bisa menempatkan sesuatu pada
tempatnya.”
“Maksud
Kamu, Aku bukan orang yang adil?”
“Ya,
boleh dibilang seperti itu. Kemarin Kau menghina Tuhan dengan menyamakan sifatNya
seperti makhluk. Kamu bilang bahwa Tuhan sedang sibuk dan tidak bisa menemuiku.
Dan sekarang kamu telah menyamakan manusia dengan hewan ternak. Kau ini bukan
lagi hanya seorang yang tidak adil tetapi sudah menjadi bagian dari
manusiamanusia busuk yang suka merendahkan kemanusiaan bahkan Kau lebih parah
lagi dengan merendahkan derajat keTuhanan.”
“Hahahaaa…
Kau ini memang lucu Rasyid. Tapi memang kamu ada benarnya juga. Aku ucapkan
terima kasih karena Kau sudah mengingatkan kesalahanku. Tapi bukankah Kamu sama
saja dengan Aku yang suka merendahkan derajat Tuhan dan merendahkan derajat
manusia?”
“Apa
Kamu bilang?!?! Aku ini Rasyid, Aku seorang tokoh
agama yang sudah puluhan tahun mendalami agama. Aku tidak pernah merendahkan derajat
siapapun. Aku tahu bagaimana tata krama ketika bertemu dengan Tuhan dan tahu
bagaimana tata krama ketika bertemu dengan manusia.” Sentak Rasyid sambil
setengah terperanjat dari duduknya.
“Hahahaaa…
Semakin lama Kamu ngomong, semakin terlihat jelas ketololanmu Syid.”
“Apa
maksudmu?” Ucap Rasyid dengan nada suara yang bergetar penuh dengan kemarahan
yang tertahan.
“Tahan
dulu amarahmu Syid. Bukankah Kau yang selalu menasihati orangorang untuk tidak
marah. Dan Kau pasti lebih faham dariku tentang bagaimana sifat nabimu
menghadapi permasalahan dalam perjuangannya. Kalau Muhammad seperti Kamu…”
“Cukup!!!!
Jangan Kau hina lagi Nabiku setelah Kau hina Tuhan dan umatNya. Atau Aku akan
berteriak kepada orangorang kampung untuk menghakimimu dan mengusirmu dari
kampung ini.” Teriak Rasyid sambil memukul lantai dengan telapak tangan
kanannya. Sementara mukanya terlihat seperti raut muka yang sangat murka.
PlakKkK…..!!!!!!
(Si Manusia Koboi memukul lantai dengan lebih keras).
“Jadi
Kau akan menyuruh ummatmu untuk menganiayaku? Ayo suruhlah semua ummatmu untuk
datang ke sini. Lalu Kau sekalian suruh mereka untuk membunuhku. Atau kalau Kau
mau benarbenar menjadi hamba Tuhan yang paling setia, silakan Kau bunuh saja
Aku sekarang dengan pisau belatiku ini. Bunuhlah Aku di sini, setelah itu Kau
bilang kepada ummatmu bahwa Aku adalah contoh orang yang durhaka terhadap
agama. Dan kemudian Kau akan dianggap pahlawan oleh ummatmu.” Ucap Si Manusia
Koboi membalas teriakan Rasyid sambil memberikan gagang pisau belati miliknya
ke dalam genggaman Rasyid.
Rasyid
hanya terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Rasyid dan
Si Manusia Koboi kemudian menghentikan percakapannya beberapa saat. Suasana
mendadak menjadi hening setelah gema teriakan antara Rayid dan Si Manusia Koboi
saling bersahutan menggedor dindingdinding mushola yang kemudian menghasilkan
gema. Sementara itu terdengar detak
bunyi jarum jam yang semakin mengeras, berselingan dengan bunyi engsel jendela
yang ditabrak oleh angin yang sedang saling berkejaran.
Menyadari
kekhilafannya, Rasyid
terpaksa memulai kembali pembicaraanya
dengan nada yang sedikit
berat.
“Baiklah
Saudara, Aku memang bukanlah manusia yang sempurna. Masih banyak yang menjadi
kekuranganku. Aku sekarang memang seorang yang ditokohkan di dalam bidang agama
di kampung ini. Tapi itu bukan berarti bahwa Aku ini adalah manusia yang
sempurna dan sudah tidak butuh lagi pembelajaran. Maafkanlah Aku Saudara. Dan
silakan untuk Kamu melanjutkan pembicaraan sesukamu.” Ucap Rasyid dengan nada
lirih sambil meletakkan belati yang ada dalam genggamannya di depan Si Manusia
Koboi.
Sejenak tidak ada jawaban dari Si Manusia Koboi. Mereka
hanya saling memandang, seolah sedang samasama menakar tentang kedalaman jiwa
masingmasing. Namun, tidak lama kemudian Si Manusia Koboi mulai menggerakkan
bibirnya menjawab permintaan maaf Rasyid.
“Tidak
Syid, Kau tidak sepenuhnya salah dalam hal ini. Kita samasama sedang belajar,
dan itulah makna hidup yang sebenarnya. Baiklah Syid, Aku di sini tidak untuk
mengguruimu, sehingga Aku berbicara terus di depanmu sedangkan Kamu
mendengarkanku dan membenarkanku. Aku di sini tidak sedang menggembala. Aku
hanya ingin melanjutkan diskusi kita tadi mengenai persamaan antara penggembala
dan pemuka agama seperti Kamu. Tapi Aku rasa Kamu sudah bisa memikirkannya
sendiri. Mari Kita bersamasama mencari persamaan di antara kedua tugas kita
ini. Mudahmudahan setelah Kita tahu persamaannya maka kita bisa bersahabat.”
Ucap Si Manusia Koboi kepada Rasyid yang masih terlihat diam sambil berpikir.
Belum
lagi Rasyid terbangun dari lamunannya, Si Manusia Koboi itu sudah menghilang dari hadapannya. Seperti halnya kapas yang
tersapu bersih oleh angin. Sementara itu melihat hal tersebut, Rasyid hanya
menatap dengan kosong, seolah ada kekuatan yang tidak terlihat yang menahannya
untuk menghentikan Si Manusia Koboi itu untuk pergi.
Malam
kembali hening, terdengar kembali suara jengkrik di pinggir mushola yang sedang
asyik bercengkrama
dengan sesamanya. Sesekali terdengar suara kelelawar yang menggelepar di atas
atap mushola, sementara api dalam lampu minyak yang terletak di sudut mushola
terlihat sesekali bergejolak melawan dingin yang memaksanya untuk tunduk. Sementara itu jauh di atas sana sang rembulan
bersembunyi di balik awan, menyembunyikan senyumannya yang semakin manis dan
menawan.
Tercapailah
sudah keinginan Rasyid untuk bertemu dengan Si Manusia Koboi malam ini. Namun
tidak disangka dari sebelumnya bahwa setelah pertemuannya tersebut justru malah
mendapatkan bahan pemikiran yang begitu berat untuk dicarikan jawabannya, yaitu
tentang persamaan antara penggembala dengan pemuka agama. Mengenai tentang
siapa sosok Si Manusia Koboi itu, sekarang Rasyid tidak mempedulikannya lagi.
Baginya
yang penting sekarang adalah adanya perubahan pada diri Si Manusia Koboi yang
terlihat seperti sombong dan meremehkan segala yang diperbuatnya. Rasyid
berpikir bahwa aktifitasnya dengan Si Manusia Koboi akan mendatangkan ladang
pahala yang tidak terkira di sisi Tuhan, dimana sekarang jam dakwahnya semakin
bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar