Jumat, 10 Juli 2020

MALAM


Seekor jengkrik tibatiba terbangun dari tidurnya. Terkesan dia terkejut melihat malam yang sudah larut dan udara yang kian dingin. Terdengar temantemannya yang lain sudah saling berpesta menyanyikan irama malam dengan saling bersahutan, menyemarakkan malam yang seperti tidak berpenghuni. Dunia seperti berada dalam kehampaan. Sementara angin perlahan membuai siluet pohonpohon pisang dan rumput mute kering yang berada di sekitar pematang sawah. Bau tanah khas musim kemarau terseretseret oleh angin yang bergemuruh seperti tidak mempunyai tujuan.
Dengan tidak sempat meregangkan bagianbagian tubuhnya terlebih dahulu, ia kemudian menggerakgerakkan kedua sayapnya dengan sangat kencang sehingga saling beradu mengeluarkan suara nyaring yang renyah. Suaranya itu masuk menyelinap menyatu dengan orkestra musik alam yang semenjak tadi sudah dimulai. Sempurnalah orkestra pertunjukan musik malam pada malam hari ini. Sebuah karunia Tuhan yang tidak pernah bisa dihargai dengan uang. Sebuah rasa kedamaian datang dari-Nya, sebagai musik penenang jiwa, pengiring segenap makhluk yang sedang menghapus rasa lelahnya.
Mendengar suara oskestra malam itu, satu keluarga kelelawar terperanjat dari atap sebuah mushola kecil di suatu kampung. Mereka menari di loronglorong udara, meliuk-liuk senada dengan alunan bunyi iramanya. Mereka mabuk kepayang dengan suasana yang indah itu. Terpana dengan kesyahduan alam yang begitu memanjakan dan menenangkan. Membawa harapan hidup seribu tahun lamanya. Gelanggang langit merupakan lahan yang sangat luas bagi hati yang dipenuhi kebebasan dalam memuja dan memuji sang Khaliq.
Tiba-tiba langit menjadi semakin pekat karena tertutup oleh hamparan sayap kelelawar yang semakin beringas. Seketika mereka menggiring musik yang syahdu itu dengan genderang musik perburuan. Mereka memainkan angin sehingga menjadi kencang dan semakin kencang. Sehingga alunan orkestra malampun menjadi semakin menggelora. Namun, keindahan dan kesyahduan suasananya mereka tetap jaga sehingga tidak mengubah fungsi malam sebagai tempat mengadu raga-raga yang lemah dan hati-hati yang gundah.
Meskipun orkestra malam ini begitu ramai, namun jauh di atas sana, tetap saja sang rembulan yang sedang bersinar sempurna itu merasakan kesepian yang tidak kunjung terobati. Namun, orkestra malam ini masih mampu untuk membuatnya tersenyum dingin, ikut tenggelam dalam kemeriahan yang ada di atas bumi. Membantu sepasang mata untuk menangkap suasana kegirangan makhluk malam menyambut dunia yang penuh dengan kebebasan dan terhindar dari ancaman.
Hingar bingar kebahagiaan sang rembulan terpancar melalui sinar yang dengan mesra merayu kelelawar, jengkrik, dan segenap makhluk penghuni malam lainnya untuk bermain bersama dan menikmati bersama malam yang semakin syahdu. Bak seorang ibu yang sedang menggoda anak bayinya yang baru beberapa bulan saja merasakan indahnya dunia.
Di tengah hingar bingarnya suasana tersebut, tidak ada seorang pun manusia yang memerhatikannya. Bukan karena mereka tidak memiliki batin yang lembut untuk merasakan segala orkestra malam yang sedang dimainkan oleh para seniman alam. Hal ini mungkin karena didorong oleh raga yang telah lemah akibat pertempuran tadi siang mencari nafkah untuk keberlanjutan hidup keluarganya.
Maklumlah, hidup di zaman yang semakin edan ini semuanya perlu serba cepat, serba efektif, serba efisien, dan serba dipenuhi oleh targettarget dan kewajibankewajiban. Kalau tidak, maka dunia yang tanpa nurani ini akan menggilasnya dengan tanpa ampun. Mungkin inilah yang kemudian di zaman ini orang banyak lupa dengan kewajiban-kewajibannya. Bukan karena mereka lalai, namun bisa jadi karena mereka terlalu banyak kewajiban yang dipikulnya yang melebihi kadar dari kemampuan.
Namun, di dunia ini memang selalu saja ada pengecualian. Begitu pula halnya dengan keadaan pada malam itu. Tidak banyak makhluk yang mengetahui bahwa di sebuah mushola kecil di kampung nun jauh disana ada sosok manusia yang selalu menghidupkan malamnya dengan cara mengheningkan cipta untuk menemui Sang Pemilik Seluruh Alam. Meskipun ia selalu terjaga, namun manusia ini sama sekali tidak mengetahui akan gegap gempitanya makhluk di luar sana. Yang ia rasakan hanyalah sebuah ketenangan jiwa dan rasa kemesraan. Meskipun sesekali masih dirasakannya semilir angin yang menyentuh dari pinggirpinggir badannya.
Ia terlihat sangat khusyu dengan manteramantera yang tidak pernah luput dari mulutnya. Seolah tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya yang hanya diterangi oleh cahaya remang-remang yang berasal dari lampu tempel yang menempel di dinding salah satu sudut dari mushola kecil itu.
Sesekali terdengar suara isak tangis dari orang tersebut. Seolah ada penyesalan yang sangat dalam. Sesekali terdengar ia memuji-muji, sesekali ia terdengar mengerang memohon ampun. Tidak ada sedikit pun raut bahagia di rona wajahnya. Begitulah, konon menurut orang, bahwa manusia yang satu ini memang sudah menjadi kebiasaannya seperti itu. Bangun di waktu malam adalah kegemarannya. Di saat orangorang sedang asyik dibelai mimpi indah, maka ia tetap terjaga untuk menemui Tuhannya dengan memuji dan memohon ampun kepadaNya.
“Syid…Syiiid…Rasyiiiiiid.”
Entah darimana datangnya, tibatiba ada suara yang memanggil Rasyid dari belakang dengan suara lirih namun tegas.
Rasyid yang sedang khusyuk mengheningkan cipta tidak sedikitpun menghiraukan panggilan itu. Meskipun kemudian suara itu kembali memanggilnya, tetapi ia tetap tidak menghiraukannya. Malah terdengar Rasyid mengeraskan suaranya seolah tidak ingin mempedulikan suara tersebut.
Sengaja Rasyid tidak menghiraukan suara itu karena ini memang bukan kali pertama ia jumpai. Sudah beberapa malam ini suara itu selalu muncul di tengahtengah ia sedang berada dalam puncak keheningan jiwa. Setiap kali ia menuruti panggilan tersebut, namun sosok yang memanggilnya itu tidak ada.
“Ah, Kau ini hanya sedang mempermainkanku saja dan berusaha menggangguku di saat Aku sedang menemui Tuhanku.” Ucap Rasyid dengan suara parau sambil tetap memejamkan matanya, tidak mau menoleh.
“Hahahaaa…Kau ini lucu Rasyid, atau kau ini sedang jumawa? Kau kira Tuhanmu hanya mengurusi Kamu malam ini? Tuhanmu itu sangat sibuk Syid, masih banyak makhluk yang lebih membutuhkanNya dibandingkan Kau. Kamu ini orang yang tidak punya permasalahan Syid. Jadi Tuhanmu juga malas untuk bertemu Kamu.” Ucap suara itu seolah sedang memperolok Rasyid.
“Dasar setan!!! Kau sudah berani menghina Tuhanku!!!” Ucap Rasyid menyentak sambil menoleh ke arah sumber suara yang memperoloknya tersebut.
Terlihat oleh Rasyid sosok manusia yang berpenampilan ala koboi yang ada di filmfilm  yang pernah ia tonton. Meskipun matanya tidak terlihat karena terhadang oleh topi koboinya, namun dari senyum sinisnya terlihat bahwa ia sedang memperhatikan Rasyid dengan penuh ketelitian.
Beberapa saat Rasyid tidak berbicara apaapa. Pikirnya masih tidak percaya bahwa sosok yang sudah beberapa malam ini mengganggunya itu adalah seorang yang berpenampilan aneh dan nyentrik. Rasyid masih bertanyatanya di dalam hati tentang mengapa orang itu berpenampilan ala pakaian koboi seperti itu dan siapakah ia sebenarnya, dan bagaimanakah caranya ia masuk ke dalam mushola sementara pintunya masih tertutup?
Belum lagi Rasyid berucap, tetapi sosok itu sudah keluar dari mushola. Entah pergi menuju kemana, namun yang pasti sekarang sosoknya sudah terbuka dan siang ini Rasyid bisa dengan mudah menemukan identitas manusia ini.
“Awas Kau manusia iseng. Hari ini Aku pasti akan bisa menemukan siapa Kau sebenarnya.” Ucap Rasyid menggerutu sambil kembali melanjutkan perenungannya.
Sementara itu waktu adzan shubuh sudah tiba. Para jamaah mushola pun sudah berdatangan untuk bersamasama menunaikan sholat shubuh berjamaah. Setelah adzan dan iqamat dikumandangkan maka Rasyid yang merupakan tokoh agama di kampung tersebut langsung memimpin jalannya shalat shubuh berjamaah.
Suasanapun khidmat ketika Rasyid memimpin jalannya sholat berjamaah. Suaranya yang khas dan merdu mampu menyihir suasana pada saat itu. Angin di luar yang terpesona dengan suara Rasyid mendadak mabuk kepayang dan manja. Dibukanya sedikitsedikit pintu jendela sehingga mereka bisa mengabarkan suara Rasyid itu kepada alam semesta. Sementara itu, jauh di ufuk timur sana terlihat fajar mengabari akan segera munculnya sumber cahaya baru pengganti sang rembulan yang kian memudar saja kharismanya.
Selesai sholat subuh, seperti biasanya, kemudian Rasyid menyampaikan kuliah subuh kepada para jamaah dengan nasihat-nasihat yang diperkuat dengan Alquran, Al Hadits, dan kisahkisah tauladan. Tidak lupa kemudian ia juga mengaitkan tema kuliah subuhnya itu dengan kehidupan masyarakat pada zaman sekarang. Sebuah refleksi mengambil pelajaran untuk menghadapi masyarakat supaya tetap memegang teguh nilainilai, dan menghindarkan mereka dari halhal yang tidak diperbolehkan dan merugikan baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Setelah selesai aktifitasnya di mushola, kemudian Rasyid pulang ke rumahnya yang jaraknya tidak begitu jauh. Dinyalakannya kemudian tungku perapian yang ada di dapur rumahnya untuk mendidihkan air. Setelah bara dari kayu yang di bakar itu agak banyak, kemudian ia memasukkan satu buah umbi singkong sebagai teman air kopi yang segera akan dibuatnya setelah air mendidih.
Air kopi hitam beserta umbi singkongpun sudah siap untuk disantap. Rasyid yang dari tadi menahan lapar segera menyantap sedikit demi sedikit umbi singkong itu dengan tangan tanpa alas. Sesekali tangannya merasa terbakar. Namun seolah itu menambah kenikmatan baginya. Dengan semangat ia memakan singkong bakar itu, dan jika tenggorokannya merasa penuh, kemudian ia lancarkan oleh air kopi yang sama masih terasa panas.
Singkong bakar dan kopi merupakan makanan yang khas setiap pagi bagi para warga kampung tersebut yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Wangi kopi dan singkong bakar telah menjadi aroma yang khas di kampung itu sebagai caranya untuk menyambut pagi yang indah dan dingin.
Di detikdetik akhir sebelum air kopinya habis, tiba–tiba Rasyid teringat kembali dengan sosok manusia berpakaian koboi yang telah menghina Tuhannya tadi malam. Pikirnya kemudian diputar ke belakang untuk mengingatingat kembali suara sosok tersebut. Rasyid menaruh curiga bahwa Si Manusia Koboi itu adalah salah satu warga dari kampungnya yang sedang mempermainkannya.
Namun demikian, semakin lama Rasyid mengingatingat kembali suara Si Manusia Koboi tersebut, maka semakin yakinlah bahwa ia bukanlah salah satu dari masyarakat kampungnya. Dilihat dari perawakan maupun dari suaranya, tidak ada seorang pun dari warga kampungnya yang sesuai dengan ciriciri Si Manusia Koboi tersebut.
“Ah…hanya buangbuang waktu saja aku memikirkan dia yang telah menghina Tuhan itu. Biarkan sajalah, besok malam juga dia pasti seperti biasanya akan menggangguku kembali di mushola ini.”
Ucap Rasyid di dalam hatinya sambil menghabiskan tegukan terakhir air kopinya itu.
Sementara terlihat di luar alam  semakin terang. Sinar mentari yang hangat  dan ramah menerobos masuk ke setiap poripori rumah untuk mengusir pengaruh malam yang dinginnya mencengkram setiap isi ruang udara.
Makhlukmakhluk malampun sudah kembali ke peraduannya masingmasing. Menikmati indahnya siang dengan beristirahat. Bukannya siang tidak seindah malam, namun setiap makhluk sudah memiliki kodrat dan kewajibannya masingmasing yang sudah ditetapkan dengan adil dan indah oleh yang Maha Mengatur dan Maha Berkehendak.
Benar saja. Malam berikutnya Si Manusia Koboi itu kembali menemui Rasyid di mushola. Inilah pertama kali Rasyid bisa berhadapan dengannya. Pada kesempatan ini, sosok itu membuka topinya sehingga terlihat jelas mukanya secara utuh.
Sejenak mereka berdua hanya terdiam dan saling memandang. Si Manusia Koboi itu memang bukan salah satu dari warga masyarakat kampung ini. Rasyid pun belum pernah mengenal orang ini sebelumnya. Wajahnya terlihat bersih dan sepertinya memancarkan kegembiraan. Sementara umurnya pun tidaklah jauh berbeda dengan Rasyid. Masih muda dan sepertinya belum berkeluarga.
Selama percakapan, Si Manusia Koboi selalu merahasiakan namanya kepada Rasyid. Ia seolah ingin menjadi manusia yang misterius di mata Rasyid. Meskipun beberapa kali Rasyid mendesaknya, namun Si Manusia Koboi itu malah semakin keras kepala untuk tetap merahasiakan identitasnya secara jelas.
“Baiklah jika kamu tidak mau memberitahukan namamu kepadaku. Tetapi sekarang coba jelaskan mengapa kamu berpakaian sebagaimana seragamnya para koboi di filmfilm?” Tanya Rasyid penuh dengan keseriusan.
“Kenapa kamu sepertinya menganggap aneh pakaianku yang seperti ini Syid? Bukankah kamu juga tidak ada bedanya denganku?” Jawab Si Manusia Koboi itu dengan sedikit sinis.
“Apa maksudmu?”
“Aku juga sering melihat kamu di ladang dengan
pakaian kebesaranmu. Seperti halnya tadi siang kamu memakai sarung, baju koko, dan kopiah di ladang. Lalu apa bedanya dengan aku yang memakai pakaian kebesaranku di lapangan untuk masuk ke dalam tempat ini? Apalagi pada hakikatnya status kita sama.”
“Apa maksud perkataanmu bahwa status kita sama?” Tanya Rasyid mengerutkan dahinya.
“Iya, status kita sama Syid. Kita samasama penggembala. Cuma gembalaan kita berbeda. Aku menggembala ternak sedangkan kamu menggembala manusia.” Ucap Si Manusia Koboi sambil tertawa kecil.
“Hei Manusia Koboi, Kau ini memang manusia yang tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya.”
“Maksud Kamu, Aku bukan orang yang adil?”
“Ya, boleh dibilang seperti itu. Kemarin Kau menghina Tuhan dengan menyamakan sifatNya seperti makhluk. Kamu bilang bahwa Tuhan sedang sibuk dan tidak bisa menemuiku. Dan sekarang kamu telah menyamakan manusia dengan hewan ternak. Kau ini bukan lagi hanya seorang yang tidak adil tetapi sudah menjadi bagian dari manusiamanusia busuk yang suka merendahkan kemanusiaan bahkan Kau lebih parah lagi dengan merendahkan derajat keTuhanan.”
“Hahahaaa… Kau ini memang lucu Rasyid. Tapi memang kamu ada benarnya juga. Aku ucapkan terima kasih karena Kau sudah mengingatkan kesalahanku. Tapi bukankah Kamu sama saja dengan Aku yang suka merendahkan derajat Tuhan dan merendahkan derajat manusia?”
“Apa Kamu bilang?!?! Aku ini Rasyid, Aku seorang tokoh agama yang sudah puluhan tahun mendalami agama. Aku tidak pernah merendahkan derajat siapapun. Aku tahu bagaimana tata krama ketika bertemu dengan Tuhan dan tahu bagaimana tata krama ketika bertemu dengan manusia.” Sentak Rasyid sambil setengah terperanjat dari duduknya.
“Hahahaaa… Semakin lama Kamu ngomong, semakin terlihat jelas ketololanmu Syid.”
“Apa maksudmu?” Ucap Rasyid dengan nada suara yang bergetar penuh dengan kemarahan yang tertahan.
“Tahan dulu amarahmu Syid. Bukankah Kau yang selalu menasihati orangorang untuk tidak marah. Dan Kau pasti lebih faham dariku tentang bagaimana sifat nabimu menghadapi permasalahan dalam perjuangannya. Kalau Muhammad seperti Kamu…”
“Cukup!!!! Jangan Kau hina lagi Nabiku setelah Kau hina Tuhan dan umatNya. Atau Aku akan berteriak kepada orangorang kampung untuk menghakimimu dan mengusirmu dari kampung ini.” Teriak Rasyid sambil memukul lantai dengan telapak tangan kanannya. Sementara mukanya terlihat seperti raut muka yang sangat murka.
PlakKkK…..!!!!!! (Si Manusia Koboi memukul lantai dengan lebih keras).
“Jadi Kau akan menyuruh ummatmu untuk menganiayaku? Ayo suruhlah semua ummatmu untuk datang ke sini. Lalu Kau sekalian suruh mereka untuk membunuhku. Atau kalau Kau mau benarbenar menjadi hamba Tuhan yang paling setia, silakan Kau bunuh saja Aku sekarang dengan pisau belatiku ini. Bunuhlah Aku di sini, setelah itu Kau bilang kepada ummatmu bahwa Aku adalah contoh orang yang durhaka terhadap agama. Dan kemudian Kau akan dianggap pahlawan oleh ummatmu.” Ucap Si Manusia Koboi membalas teriakan Rasyid sambil memberikan gagang pisau belati miliknya ke dalam genggaman Rasyid.
Rasyid hanya terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Rasyid dan Si Manusia Koboi kemudian menghentikan percakapannya beberapa saat. Suasana mendadak menjadi hening setelah gema teriakan antara Rayid dan Si Manusia Koboi saling bersahutan menggedor dindingdinding mushola yang kemudian menghasilkan gema. Sementara itu terdengar detak bunyi jarum jam yang semakin mengeras, berselingan dengan bunyi engsel jendela yang ditabrak oleh angin yang sedang saling berkejaran.  
Menyadari kekhilafannya, Rasyid terpaksa memulai kembali pembicaraanya dengan nada yang sedikit berat.
“Baiklah Saudara, Aku memang bukanlah manusia yang sempurna. Masih banyak yang menjadi kekuranganku. Aku sekarang memang seorang yang ditokohkan di dalam bidang agama di kampung ini. Tapi itu bukan berarti bahwa Aku ini adalah manusia yang sempurna dan sudah tidak butuh lagi pembelajaran. Maafkanlah Aku Saudara. Dan silakan untuk Kamu melanjutkan pembicaraan sesukamu.” Ucap Rasyid dengan nada lirih sambil meletakkan belati yang ada dalam genggamannya di depan Si Manusia Koboi.
Sejenak tidak ada jawaban dari Si Manusia Koboi. Mereka hanya saling memandang, seolah sedang samasama menakar tentang kedalaman jiwa masingmasing. Namun, tidak lama kemudian Si Manusia Koboi mulai menggerakkan bibirnya menjawab permintaan maaf Rasyid.
“Tidak Syid, Kau tidak sepenuhnya salah dalam hal ini. Kita samasama sedang belajar, dan itulah makna hidup yang sebenarnya. Baiklah Syid, Aku di sini tidak untuk mengguruimu, sehingga Aku berbicara terus di depanmu sedangkan Kamu mendengarkanku dan membenarkanku. Aku di sini tidak sedang menggembala. Aku hanya ingin melanjutkan diskusi kita tadi mengenai persamaan antara penggembala dan pemuka agama seperti Kamu. Tapi Aku rasa Kamu sudah bisa memikirkannya sendiri. Mari Kita bersamasama mencari persamaan di antara kedua tugas kita ini. Mudahmudahan setelah Kita tahu persamaannya maka kita bisa bersahabat.” Ucap Si Manusia Koboi kepada Rasyid yang masih terlihat diam sambil berpikir.
Belum lagi Rasyid terbangun dari lamunannya, Si Manusia Koboi itu sudah menghilang  dari hadapannya. Seperti halnya kapas yang tersapu bersih oleh angin. Sementara itu melihat hal tersebut, Rasyid hanya menatap dengan kosong, seolah ada kekuatan yang tidak terlihat yang menahannya untuk menghentikan Si Manusia Koboi itu untuk pergi.
Malam kembali hening, terdengar kembali suara jengkrik di pinggir mushola yang sedang asyik bercengkrama dengan sesamanya. Sesekali terdengar suara kelelawar yang menggelepar di atas atap mushola, sementara api dalam lampu minyak yang terletak di sudut mushola terlihat sesekali bergejolak melawan dingin yang memaksanya untuk tunduk. Sementara itu jauh di atas sana sang rembulan bersembunyi di balik awan, menyembunyikan senyumannya yang semakin manis dan menawan.
Tercapailah sudah keinginan Rasyid untuk bertemu dengan Si Manusia Koboi malam ini. Namun tidak disangka dari sebelumnya bahwa setelah pertemuannya tersebut justru malah mendapatkan bahan pemikiran yang begitu berat untuk dicarikan jawabannya, yaitu tentang persamaan antara penggembala dengan pemuka agama. Mengenai tentang siapa sosok Si Manusia Koboi itu, sekarang Rasyid tidak mempedulikannya lagi.
Baginya yang penting sekarang adalah adanya perubahan pada diri Si Manusia Koboi yang terlihat seperti sombong dan meremehkan segala yang diperbuatnya. Rasyid berpikir bahwa aktifitasnya dengan Si Manusia Koboi akan mendatangkan ladang pahala yang tidak terkira di sisi Tuhan, dimana sekarang jam dakwahnya semakin bertambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar