Dalam
kesendiriannya ketika ia berada di rumahnya, Rasyid sering teringat dengan
suasana pesantren tempatnya
dahulu menuntut ilmu. Kadang muncul rasa rindu yang sangat dalam ketika
pikirannya mengembara ke masamasa silam.
Seperti
halnya pagi itu, ketika Rasyid sedang menghadapi segelas air kopi dan sebuah singkong bakar beralas daun pisang yang diambil dari belakang rumah. Sembari
mencicipi sedikit demi sedikit makanan yang beraroma menggoda ini, pikirannya menerawang
ke masamasa silam. Ingatannya kembali mengulas untaian memori ketika masamasa
perjuangan dahulu di pesantren tempatnya menuntut ilmu.
Sekilas tergambar kembali wajah temantemannya yang satu kobong
ketika samasama berebut nasi liwet yang hanya dibubuhi sedikit ikan teri di atasnya. Pada waktu itu mereka menemukan sebuah kebahagiaan yang
tidak pernah surut. Beraktivitas dengan sangat riang dan
gembira. Tidak pernah mengeluh dengan segala keterbatasan yang dialami.
Rasyid
kadang tertawa kecil ketika teringat
tentang kisahnya dan temantemannya satu per
satu dikala dahulu
mereka sedang tertidur saling tergeletak di atas sehelai tikar dari daun pandan
dengan hanya berselimutkan sehelai kain sarung, percis
seperti ikan bandeng yang disusun di dalam sebuah tempayan.
Sekilas
teringat kembali kenakalan mereka yang liar, ketika bersamasama kabur dari pondok
dengan melompati pagar hanya demi menebus keingintahuannya melihat bioskop yang
baru didirikan di pusat kota. Atau ketika mereka bersamasama mencuri ikan
gurami di empang Mama Kiai, atau sesekali mencuricuri kesempatan untuk menikmati
asap rokok kawung seperti yang biasa mereka lihat dari Mama Kiai dan guruguru senior lainnya.
Sesekali
jika sedang apes mereka harus dengan ikhlas untuk menebusnya dengan beberapa
hukuman. Tapi tidak apaapa, hukuman tersebut ternyata tidak pernah membuat para
santri jera, malah membuat ikatan pertemanan yang semakin erat dan solid. Sehingga
boleh jadi memang untuk harihari selanjutnya pondok terlihat tenang karena
memang para santrinya semakin bersatu dan dan saling melindungi satu sama
lainnya.
Namun
dibalik segala kenakalan tersebut, Rasyid
merasakan
sesuatu yang istimewa ketika berada di lingkungan pesantren yang sangat sulit untuk didapatkan pada lingkungannya yang
sekarang. Bukan hanya nilai sebuah kekeluargaan, tetapi lebih dari itu, yaitu
sebuah nilai kebermanfaatan waktu dan semangat untuk terus menambah ilmu. Di
pesantren, ia merasa tidak pernah kehilangan kebermanfaatan waktu, dari mulai
semenjak adzan subuh aktivitas sudah mulai dijalankan. Semua penghuni pesantren
terasa begitu sangat girang dan bersemangat dalam memulai waktu di pagi hari.
Begitu penuh dengan antusias dan penuh dengan rasa syukur. Tidak heran rasanya
jika Mama Kiai sering menyebutkan bahwa katanya “Kita yang berada di pesantren
ini seperti sedang bermain di halaman surga”.
Begitu
selesai shalat shubuh, mereka kemudian mengaji kitab yang dipimpin langsung
oleh Mama Kiai atau ustadz yang lain jika memang Mama Kiai kebetulan sedang sakit
atau sedang ada kegiatan di luar pondok.
Sampai
kemudian sekitar jam enam mereka diperbolehkan untuk persiapan bersekolah yang letaknya masih berada di
dalam lingkungan pondok.
Sepulangnya
sekolah, yaitu waktu antara ashar dan maghrib inilah yang digunakan Rasyid dan
kawankawannya untuk menyuci baju di empang. Jika tidak ada yang dikerjakan,
mereka kemudian gunakan untuk bermain sepakbola atau olahraga seadanya atau
hanya bersenda gurau di depan kobongko
bong tempat penginapan.
Namun jika kemudian ada diantara santri yang sedang jatuh
cinta, maka tidaklah jauh mereka akan memanfaatkan waktu antara ashar dan
maghrib ini untuk mampir di kedai serabi yang letaknya di belakang pesantren. Di
kedai serabi inilah biasanya banyak anakanak santriwati yang sedang membeli
serabi dengan diantar oleh para musyrifahnya.
Di
kedai serabi inilah kemudian kisah cinta pertama Rasyid dimulai. Rasyid yang
sedang kasmaran oleh santriwati yang bernama Rahmah sering menitipkan surat
cintanya melalui Yusuf, seorang teman akrabnya. Kemudian Yusuf mengantarkan
surat cinta Rasyid tersebut kepada Rahmah yang sudah menjadi pengunjung tetap
kedai serabi tersebut. Sembari Yusuf menyampaikan suratnya, Rasyid hanya
melihatnya dari kejauhan sambil sesekali menyembunyikan wajahnya diantara pohon
jati besar ketika
Rahmah menatap ke arahnya dari kejauhan.
Surat
cintanya itu tidak pernah mendapatkan balasan dari Rahmah, karena Rasyidpun
tidak pernah mencantumkan namanya pada surat tersebut. Di dalam hatinya kadang
ada perasaan tidak percaya diri mengingat Rahmah yang seorang dari Mama Kiai.
Sedangkan dirinya hanyalah seorang yatim
piatu yang
berasal dari keluarga yang tidak memiliki derajat yang
sebanding dengan keluarga ulama seperti yang dimiliki Rahma. Hanya
atas kebaikan dari Mama Kiailah Rasyid bisa tinggal dan dibesarkan di pesantren
itu. Maka pikir Rasyid, tidaklah elok jika dirinya mencintai Rahmah. Sebab
dalam kebiasaan keluarga kiai, masih kental dengan yang namanya perjodohan.
Maka biasanya anak kiai dijodohkan lagi dengan anak kiai.
Hanya
dengan melalui suratsuratnyalah kemudian Rasyid bisa melepas rasa cintanya
kepada Rahmah. Bagi Rasyid, biarkanlah Rahmah hanya bertahta dalam hatinya. Ia
punya ruang tersendiri dalam hatinya. Gadis cantik, anggun, dan pintar itu
hanya menjadi teman bayangan di setiap mimpimimpinya. Sebab rasa cintanya itu
masih kalah besar dengan rasa ta’dzimnya kepada Mama Kiai. Rasyid tidak ingin
menghancurkan keturunan Mama Kiai yang harus memiliki menantu seperti dirinya
yang tidak jelas asalusulnya. Meskipun Rasyid juga sadar bahwa di dalam ajaran
Islam, Tuhan tidak pernah membedabedakan manusia selain dari ketakwaannya.
Sedangkan ketakwaan itu sendiri, hanyalah Tuhan yang tahu.
Sampai
saat ini,
Rasyid sudah bertahuntahun di kampung ini. Dan sampai detik inipun Rahmah
adalah kenangan yang paling indah diantara kenangankenangan lain ketika ia menuntut ilmu di pondok. Rahmah wanita
cantik jelita yang tidak akan pernah dimilikinya. Gelora gelombang cinta itu
hanyalah menghempas angin. Maka jika seperti itu, ikhlas adalah sebuah jalan
keluar sehingga hidup akan kembali berwarna. Sebab dalam hidup, kita juga harus
menikmati keindahan lain yang diberikan oleh Tuhan seperti haknya keindahan
citarasa kopi dan ubi bakar pada pagi itu.
Apalagi
ia sudah mendengar dari kabar burung bahwa Rahmah telah menikah dengan Yusuf,
yaitu temannya yang biasa disuruhnya
untuk mengantarkan surat. Hal
itu dianggap Rasyid sebagai sesuatu yang wajar sebab memang Yusuf berasal dari
keluarga Kiai yang terkemuka. Maka tentulah pernikahan mereka akan menimbulkan
kebahagiaan bagi kedua belah pihak keluarga.
Namun demikian, ada sedikit rasa sesak
di dada Rasyid, namun apalah yang harus ia simpulkan. Apakah ia harus
menyimpulkan bahwa Yusuf adalah seorang penghianat atau memang Rasyid harus
mengakui bahwa jodoh memang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Namun
satu pertanyaan Rasyid sampai saat ini, yaitu apakah Rahmah pernah tahu bahwa
dirinya sangat mencintainya. Lalu apakah Rahmah tahu bahwa orang yang sering
menulis surat cinta kepadanya adalah Rasyid. Entahlah…
Kadang
juga ada sedikit rasa penyesalan dalam diri Rasyid karena tidak pernah
menyatakan perasaan cinta kepada Rahmah secara terus terang. Rasyid sudah
merasa rendah diri duluan sebelum semuanya dicoba. Mengapa tidak, baginya, melihat keluarga Mama Kiai
bagaikan melihat sebuah menara gading yang sangat tinggi. Jalan yang dilaluinya
pun terlihat sangat terjal dan mendaki.
Namun demikian, sebenarnya Rasyid masih menyisakan sebuah
kepercayaan diri, dimana sesekali ia berdiri di podium utama untuk menerima
penghargaan sebagai juara musabaqoh tilawatil quran. Meskipun prestasinya itu
tidak sesering ketika ia berdiri di podium utama untuk menerima hukuman gundul
karena sudah lebih dari dua kali kabur dari pondok.
Meskipun Rasyid tahu bahwa Rahmah sudah menikah, namun sampai
saat ini ia masih belum bisa berpindah hati. Meskipun banyak para orang tua di
kampung itu yang mencoba mengenalkan anak gadisnya, namun Rasyid selalu
memberikan alasan bahwa dirinya belum siap untuk menikah, karena masih banyak
ilmu yang ia harus persiapkan untuk memasuki jenjang pernikahan.
Dialah
Rahmah yang selalu membuat hati Rasyid menggelepar ketika mengingat sosoknya.
Hanya satu keinginan Rasyid bahwa ia ingin memastikan terlebih dahulu tentang kabar
pernikahan Yusuf dengan Rahmah dari sumber yang sangat bisa dipercaya. Jikapun
nanti ternyata berita itu benar maka dengan ikhlas ia akan menerimanya. Namun
jika ternyata berita itu tidak benar maka Rasyid akan memberanikan diri untuk
mengucapkan rasa cintanya itu langsung di depan Rahmah. “Uhibbuki Rahmah” Gumam
Rasyid secara tidak sadar memecah keheningan di pagi menjelang siang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar