Jumat, 10 Juli 2020

YANG BERMAIN DI HALAMAN SURGA


Dalam kesendiriannya ketika ia berada di rumahnya, Rasyid sering teringat dengan suasana pesantren tempatnya dahulu menuntut ilmu. Kadang muncul rasa rindu yang sangat dalam ketika pikirannya mengembara ke masamasa silam.
Seperti halnya pagi itu, ketika Rasyid sedang menghadapi segelas air kopi dan sebuah singkong bakar beralas daun pisang yang diambil dari belakang rumah. Sembari mencicipi sedikit demi sedikit makanan yang beraroma menggoda ini, pikirannya menerawang ke masamasa silam. Ingatannya kembali mengulas untaian memori ketika masamasa perjuangan dahulu di pesantren tempatnya menuntut ilmu.
Sekilas tergambar kembali wajah temantemannya yang satu kobong ketika samasama berebut nasi liwet yang hanya dibubuhi sedikit ikan teri di atasnya. Pada waktu itu mereka menemukan sebuah kebahagiaan yang tidak pernah surut. Beraktivitas dengan sangat riang dan gembira. Tidak pernah mengeluh dengan segala keterbatasan yang dialami.
Rasyid kadang tertawa kecil ketika teringat tentang kisahnya dan temantemannya satu per satu dikala dahulu mereka sedang tertidur saling tergeletak di atas sehelai tikar dari daun pandan dengan hanya berselimutkan sehelai kain sarung, percis seperti ikan bandeng yang disusun di dalam sebuah tempayan.
Sekilas teringat kembali kenakalan mereka yang liar, ketika bersamasama kabur dari pondok dengan melompati pagar hanya demi menebus keingintahuannya melihat bioskop yang baru didirikan di pusat kota. Atau ketika mereka bersamasama mencuri ikan gurami di empang Mama Kiai, atau sesekali mencuricuri kesempatan untuk menikmati asap rokok kawung seperti yang biasa mereka lihat dari Mama Kiai dan guruguru senior lainnya.
Sesekali jika sedang apes mereka harus dengan ikhlas untuk menebusnya dengan beberapa hukuman. Tapi tidak apaapa, hukuman tersebut ternyata tidak pernah membuat para santri jera, malah membuat ikatan pertemanan yang semakin erat dan solid. Sehingga boleh jadi memang untuk harihari selanjutnya pondok terlihat tenang karena memang para santrinya semakin bersatu dan dan saling melindungi satu sama lainnya.
Namun dibalik segala kenakalan tersebut, Rasyid
merasakan sesuatu yang istimewa ketika berada di lingkungan pesantren yang sangat sulit untuk didapatkan pada lingkungannya yang sekarang. Bukan hanya nilai sebuah kekeluargaan, tetapi lebih dari itu, yaitu sebuah nilai kebermanfaatan waktu dan semangat untuk terus menambah ilmu. Di pesantren, ia merasa tidak pernah kehilangan kebermanfaatan waktu, dari mulai semenjak adzan subuh aktivitas sudah mulai dijalankan. Semua penghuni pesantren terasa begitu sangat girang dan bersemangat dalam memulai waktu di pagi hari. Begitu penuh dengan antusias dan penuh dengan rasa syukur. Tidak heran rasanya jika Mama Kiai sering menyebutkan bahwa katanya “Kita yang berada di pesantren ini seperti sedang bermain di halaman surga”.
Begitu selesai shalat shubuh, mereka kemudian mengaji kitab yang dipimpin langsung oleh Mama Kiai atau ustadz yang lain jika memang Mama Kiai kebetulan sedang sakit atau sedang ada kegiatan di luar pondok.
Sampai kemudian sekitar jam enam mereka diperbolehkan untuk persiapan bersekolah yang letaknya masih berada di dalam lingkungan pondok.
Sepulangnya sekolah, yaitu waktu antara ashar dan maghrib inilah yang digunakan Rasyid dan kawankawannya untuk menyuci baju di empang. Jika tidak ada yang dikerjakan, mereka kemudian gunakan untuk bermain sepakbola atau olahraga seadanya atau hanya bersenda gurau di depan kobongko
bong tempat penginapan.
Namun jika kemudian ada diantara santri yang sedang jatuh cinta, maka tidaklah jauh mereka akan memanfaatkan waktu antara ashar dan maghrib ini untuk mampir di kedai serabi yang letaknya di belakang pesantren. Di kedai serabi inilah biasanya banyak anakanak santriwati yang sedang membeli serabi dengan diantar oleh para musyrifahnya.
Di kedai serabi inilah kemudian kisah cinta pertama Rasyid dimulai. Rasyid yang sedang kasmaran oleh santriwati yang bernama Rahmah sering menitipkan surat cintanya melalui Yusuf, seorang teman akrabnya. Kemudian Yusuf mengantarkan surat cinta Rasyid tersebut kepada Rahmah yang sudah menjadi pengunjung tetap kedai serabi tersebut. Sembari Yusuf menyampaikan suratnya, Rasyid hanya melihatnya dari kejauhan sambil sesekali menyembunyikan wajahnya diantara pohon jati besar ketika Rahmah menatap ke arahnya dari kejauhan.
Surat cintanya itu tidak pernah mendapatkan balasan dari Rahmah, karena Rasyidpun tidak pernah mencantumkan namanya pada surat tersebut. Di dalam hatinya kadang ada perasaan tidak percaya diri mengingat Rahmah yang seorang dari Mama Kiai. Sedangkan dirinya hanyalah seorang yatim piatu yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki derajat yang sebanding dengan keluarga ulama seperti yang dimiliki Rahma. Hanya atas kebaikan dari Mama Kiailah Rasyid bisa tinggal dan dibesarkan di pesantren itu. Maka pikir Rasyid, tidaklah elok jika dirinya mencintai Rahmah. Sebab dalam kebiasaan keluarga kiai, masih kental dengan yang namanya perjodohan. Maka biasanya anak kiai dijodohkan lagi dengan anak kiai.
Hanya dengan melalui suratsuratnyalah kemudian Rasyid bisa melepas rasa cintanya kepada Rahmah. Bagi Rasyid, biarkanlah Rahmah hanya bertahta dalam hatinya. Ia punya ruang tersendiri dalam hatinya. Gadis cantik, anggun, dan pintar itu hanya menjadi teman bayangan di setiap mimpimimpinya. Sebab rasa cintanya itu masih kalah besar dengan rasa ta’dzimnya kepada Mama Kiai. Rasyid tidak ingin menghancurkan keturunan Mama Kiai yang harus memiliki menantu seperti dirinya yang tidak jelas asalusulnya. Meskipun Rasyid juga sadar bahwa di dalam ajaran Islam, Tuhan tidak pernah membedabedakan manusia selain dari ketakwaannya. Sedangkan ketakwaan itu sendiri, hanyalah Tuhan yang tahu.
Sampai saat ini, Rasyid sudah bertahuntahun di kampung ini. Dan sampai detik inipun Rahmah adalah kenangan yang paling indah diantara kenangankenangan lain ketika ia menuntut ilmu di pondok. Rahmah wanita cantik jelita yang tidak akan pernah dimilikinya. Gelora gelombang cinta itu hanyalah menghempas angin. Maka jika seperti itu, ikhlas adalah sebuah jalan keluar sehingga hidup akan kembali berwarna. Sebab dalam hidup, kita juga harus menikmati keindahan lain yang diberikan oleh Tuhan seperti haknya keindahan citarasa kopi dan ubi bakar pada pagi itu.
Apalagi ia sudah mendengar dari kabar burung bahwa Rahmah telah menikah dengan Yusuf, yaitu temannya yang biasa disuruhnya untuk mengantarkan surat. Hal itu dianggap Rasyid sebagai sesuatu yang wajar sebab memang Yusuf berasal dari keluarga Kiai yang terkemuka. Maka tentulah pernikahan mereka akan menimbulkan kebahagiaan bagi kedua belah pihak keluarga.
Namun demikian, ada sedikit rasa sesak di dada Rasyid, namun apalah yang harus ia simpulkan. Apakah ia harus menyimpulkan bahwa Yusuf adalah seorang penghianat atau memang Rasyid harus mengakui bahwa jodoh memang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Namun satu pertanyaan Rasyid sampai saat ini, yaitu apakah Rahmah pernah tahu bahwa dirinya sangat mencintainya. Lalu apakah Rahmah tahu bahwa orang yang sering menulis surat cinta kepadanya adalah Rasyid. Entahlah…
Kadang juga ada sedikit rasa penyesalan dalam diri Rasyid karena tidak pernah menyatakan perasaan cinta kepada Rahmah secara terus terang. Rasyid sudah merasa rendah diri duluan sebelum semuanya dicoba. Mengapa tidak, baginya, melihat keluarga Mama Kiai bagaikan melihat sebuah menara  gading  yang sangat tinggi. Jalan yang dilaluinya
pun terlihat sangat terjal dan mendaki.
Namun demikian, sebenarnya Rasyid masih menyisakan sebuah kepercayaan diri, dimana sesekali ia berdiri di podium utama untuk menerima penghargaan sebagai juara musabaqoh tilawatil quran. Meskipun prestasinya itu tidak sesering ketika ia berdiri di podium utama untuk menerima hukuman gundul karena sudah lebih dari dua kali kabur dari pondok.
Meskipun Rasyid tahu bahwa Rahmah sudah menikah, namun sampai saat ini ia masih belum bisa berpindah hati. Meskipun banyak para orang tua di kampung itu yang mencoba mengenalkan anak gadisnya, namun Rasyid selalu memberikan alasan bahwa dirinya belum siap untuk menikah, karena masih banyak ilmu yang ia harus persiapkan untuk memasuki jenjang pernikahan.
Dialah Rahmah yang selalu membuat hati Rasyid menggelepar ketika mengingat sosoknya. Hanya satu keinginan Rasyid bahwa ia ingin memastikan terlebih dahulu tentang kabar pernikahan Yusuf dengan Rahmah dari sumber yang sangat bisa dipercaya. Jikapun nanti ternyata berita itu benar maka dengan ikhlas ia akan menerimanya. Namun jika ternyata berita itu tidak benar maka Rasyid akan memberanikan diri untuk mengucapkan rasa cintanya itu langsung di depan Rahmah. “Uhibbuki Rahmah” Gumam Rasyid secara tidak sadar memecah keheningan di pagi menjelang siang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar