Pada dasarnya kehidupan ini adalah
hampir sama dengan sinetron-sinetron di televisi atau sandiwarasandiwara
lainnya di panggung sandiwara. Kehidupan ini berjedajeda atau
berepisodeepisode. Ada episode dimana sang pelaku harus tertawa terbahak-bahak,
tersenyum, menangis tersedu sedan, teriak, lahir, atau meninggal. Semuanya
pelaku tidak punya daya apaapa untuk berlaku keluar dari alur yang telah
ditetapkan oleh Sang Penulis Skenario.
Di kehidupan nyata, hampir sama seperti
peranperan di kehidupan sinetronsinetron dan sandiwara. Ada kalanya kita sedih;
ada kalanya kita senang; ada kalanya kita harus berpindah tempat; ada kalanya
kita harus kecewa; adakalanya kita sakit; dan ada kalanya kita sehat. Semua itu
terus saja saling bergantian, dan kita menyebutnya sebagai ujian hidup. Sekali
lagi, kita semuanya dikendalikan oleh Sang Penulis Skenario, Dia adalah Tuhan.
Sang Penulis Skenario yang Maha Lembut dan Maha Kasih atas segala ketentuannya.
Namun kiranya kita setuju jikalau ada
yang mengatakan bahwa ada hal yang bisa membedakan antara kehidupan nyata
dengan kehidupan di dalam dunia sandiwara. Karena memang kehidupan ini bukanlah
panggung sandiwara.
Di atas panggung sandiwara dan di
kehidupan nyata kita samasama dikendalikan oleh pengendali kita. Tapi tidakkah
kita merasa bahwa pengendali kita pada panggung sandiwara itu sangat otoriter.
Mereka memperlakukan kita bagaikan sebuah wayang dalam sebuah pertunjukannya.
Sehingga para pemain dilarang keras untuk keluar dari apa yang telah ditetapkan
oleh sang penulis akenario. Mereka tidak pernah memberi alternatif lain dalam
kehidupan sang pemain sandiwara. Bahkan dia tidak memperbolehkan seorang pemain
bermain drama pada panggung drama yang lain.
Hal itu sangat berbeda sekali dengan
skenario yang dibuat oleh Sang Penulis Skenario di alam nyata ini. Yang begitu
halus dan Maha Adil. Dialah Sang Penulis Skenario yang terbaik di seluruh jagad
raya ini. Karena Beliaulah rajanya alam semesta. Di dalam skenarioNya, Dia
tidak pernah memaksa kepada makhlukNya harus begini atau harus begitu. Dalam
setiap episodenya Dia selalu memberi pilihan kepada para makhlukNya. Seolah Dia
mengatakan bahwa hidup ini adalah perjuangan yang dipilih. Tuhan hanya memberi
petunjuk dan pilihan jalan saja agar hamba datang kepadaNya, sedangkan tugas
hamba adalah memilih jalan yang dipercayainya dan berjuang untuk melewati jalan
itu dengan sungguhsungguh sambil menulis sendiri jalan yang dilewati tersebut,
yang nanti pada akhirnya akan diserahkan kepada Tuhan pada saat kita
menemuiNya. Biarkanlah nanti Tuhan yang menilai kelayakan daripada perjuangan
kita itu. Apakah Dia ridho atau tidak.
Sebuah episode kebahagiaan sekarang
sedang dialami oleh Abi dan Habibah. Terasa hidup mereka makin lengkap saja.
Apalagi sekarang mereka sudah dikaruniai seorang jabang bayi yang segera akan
keluar beberapa bulan ke depan lagi. Mengenai ekonomi, mereka sudah dianggap
mapan. Pekerjaannya sebagai pegawai di kecamatan, sebenarnya sudah cukup untuk
sekedar makan mereka berdua setiap bulannya, apalagi ditambah oleh warung dan
ternak ayam Abi yang sekarang sudah hampir berjumlah 30 ekor.
Tapi walaupun begitu, Abi sama saja
dengan manusia lainnya, selalu ingin memiliki yang lebih dan tidak puas dengan
keadaan sekarang. Apalagi Abi masih punya impian untuk bekerja di pemda Jawa
Barat dan pindah ke Bandung, lalu dia akan membuka toko buku dan mendirikan
usaha percetakan. Hal itu selalu menjadi impian Abi dan menjadi prioritas
utamanya dalam berdo’a setiap hari.
Abi yakin bahwa surat lamarannya yang
ia ki
rimkan beberapa bulan yang lalu itu
lambat laun akan diketahui hasilnya.
Sampai akhirnya keyakinan Abi tersebut
terjawablah pada suatu hari, dengan datangnya sebuah surat panggilan dari atas nama
Pemda Jawa Barat, dan tertulis bahwa hari Kamis minggu depan Abi diwajibkan
untuk datang ke Bandung karena ada administrasi yang harus diselesaikan.
Alangkah bahagianya Abi ketika membuka
surat itu dan mengetahui bahwa dirinya diterima.
Abipun langsung berlari ke dalam rumah
sambil berteriak dan dengan muka yang berseriseri.
“Neng, Neng, Akang diterima kerja di
Bandung.” Teriak Abi.
Habibah yang merasa kaget dengan
teriakan Abi segera keluar dari kamarnya.
“Ada apa Kang?”
Belum lagi pertanyaan dijawab, Abi sudah
sampai dan segera memeluk Habibah. Habibah yang tidak mendengar teriakan Abi
dengan jelas merasa heran dan segera mengulang pertanyaannya.
“Ada apa Kang? Apa yang terjadi?” bisik
Habibah pelan di dekat telinga Abi yang masih belum melepaskan dekapannya.
“Akang diterima kerja di Pemda Jabar
Neng. Impian Akang selama ini akan segera tercapai, kita akan pindah ke Bandung
dan disana kita akan membuka sebuah toko buku dan mendirikan sebuah percetakan.”
Jawab Abi yang masih mendekap Habibah.
“Selamat ya Kang, Neng ikut bahagia.”
Ucap Habibah lirih sambil tersenyum, dan membalas dekapan Abi yang semakin
erat.
Begitulah, hari ini Tuhan telah membuktikan
satu ayatnya lagi. Bahwa berusahalah, maka Tuhan yang akan mengabulkan. Bahwa
berusahalah, maka Tuhanmu tidak akan menyianyiakan barang sekecilpun usaha
makhluknya. Bahwa berusahalah, lalu bersabarlah, dan Tuhanpun akan bersama
orangorang yang sabar. Maha benar Tuhan, atas segala firmanMu.
Pekerjaanpun belum dimulai tapi Abi
sudah begitu girang, dan sekarang ia mulai mengepak barangbarangnya. Malahan
tadinya barangbarang Habibahpun akan dipak juga oleh Abi, tetapi karena Habibah
menolaknya karena hal itu dianggapnya terlalu dini, makanya tidak jadi.
“Ah…..Kang Abi terlalu girang, makanya
dari awal dia sudah mengepak seluruh pakaiannya. Sebetulnya itu kan pekerjaan yang tidak sulit, dua atau
satu hari lagi ke pemberangkatanpun bisa. Ini kan masih lama, hari Kamis besok Kang Abi harus ke Bandung. Setelah
itu entah berapa minggu lagi harus mengurus segala sesuatunya untuk pindahan.”
Ucap Habibah di dalam hati, memaklumi sikap Abi yang demikian.
“Neng, besok Akang mau pergi ke Bandung
entah untuk beberapa hari. Neng beranikan disini kalau ditinggalkan Akang?”
Ucap Abi pada suatu malam.
“Ya Kang, berani. Lagian nanti kalau
tidak berani tinggal meminta ditemenin ke Bi Iroh yang suka bantubantu di
warung.” Ucap Habibah tandas.
“Neng kita bersumpah yuk, malam ini.”
“Sumpah? Sumpah apa Kang?” Habibah
heran.
“Kita bersumpah bahwa kita akan selalu
setia pada masing-masing pasangan, dan berjanji bahwa pernikahan kita itu
adalah pernikahan yang akan sekali seumur hidup. Dan kita akan tetap saling
setia sampai kapanpun.” Ucap Abi.
“Maaf Kang, Neng sudah ngantuk.” Jawab
Habibah sambil berdiri dari duduknya.
“Tunggu dulu Neng, jawab dulu
pertanyaan Akang.” Ujar Abi serentak menangkap tangan Habibah, berusaha untuk
menghentikan langkahnya.
“Neng tidak mengerti apa yang sedang
Akang omongkan, Akang sepertinya sudah melantur.” Jawab Habibah seperti agak
marah, sambil melepaskan pegangan Abi.
“Neng,…...tunggu Neng, dengarkan dulu
penjelasan Akang.” Teriak Abi.
Sedangkan Habibah setengah berlari,
terus masuk ke dalam kamarnya. Habibah merasa Abi makin aneh saja, kelakuannya
tidak seperti biasanya. Tadi siang Abi membereskan barangbarangnya tanpa
permisi dulu. Hampir semuanya berantakan. Semuanya dipak, seolah Abi tidak berpikir
panjang bahwa pakaiannya masih diperlukannya untuk kesehariannya disini. Lagian
pidahan ke Bandung pun belum bisa dipastikan kapan. Kemudian malam ini Abi seolah
meragukan cinta yang selama ini bersemi di dalam dadanya.
“Apakah Akang meragukan kesetiaanku?
Padahal tanpa Akang tanya pun. Pasti akang mengetahui betapa dalamnya cintaku,
sampai orang tuapun aku tentang kemauannya.” Ucap Habibah di dalam hatinya ketika
memasuki kamar. Sementara Abi masih tetap berada di luar melihat bulan yang
begitu indah dan pohon jambu monyet yang berada di depan rumahnya.
Entahlah, di dalam kebahagiaannya yang
sangat dalam itu, terselip sebuah rasa kekhawatiran yang sebetulnya tidak
berdasar. Yaitu kekhawatiran akan dua orang yang sangat dicintainya, Habibah
dan Si Jabang Bayi.
“Ah…..kepergianku hanya sebentar,
mengapa aku harus sangat khawatir kepada mereka? Mereka akan baikbaik saja
disini.” Cetus Abi dalam logikanya.
Abi, sang kepala keluarga yang sangat
bertanggung jawab, selama ini memang dirinya belum pernah sekalipun
meninggalkan Habibah. Selama enam bulan pernikahannya itu mereka selalu bersama
dalam kebahagiaan. Selalu saling berkomunikasi dan berdialog, selalu saling bekerjasama,
mereka adalah pasangan yang cocok. Maka dari itu Abi merasa sangat berat untuk
meninggalkan rumahnya besok pagi, rumah yang selama ini menjadi surga baginya.
Malam pun semakin indah, bulan emas
serasa berseri menyaksikan sang kelelawar yang mulai beraktifitas untuk
menyambung hidupnya. Angin sepoisepoi menebak pohon jambu dan bunga kaca piring
di depan rumah Abi. Entahlah, malam itu terasa syahdu sekali bagi Abi. Padahal
malam itu tidak berbeda dengan malammalam yang lalu. Sesekali terdengar suara
jambu kecil yang jatuh ke atas genting tertebak oleh angin yang sesekali
mendadak agak kencang.
Malam semakin larut, dan suara jengkrikpun
mulai menghiasi kesyahduan malam itu, malam yang mungkin adalah malam paling
membahagiakan bagi Abi, karena sebentar lagi segala masa lalu dan kenangan di
rumah ini, segala perjuangannya, dan segala suka dukanya akan segera berakhir.
“Kang, malam sudah larut, lebih baik
Akang sekarang cepat tidur, Neng takut nanti besok Akang akan kesiangan, dan
mengantuk di jalan.” Ucap Habibah dari arah pintu rumah.
Abi pun melirik ke arah Habibah, dan
tersenyum. Dilihat istrinya itu sudah tidak kesal lagi kepadanya, terdengar
dari ketulusan nada bicaranya.
Abipun berdiri dari duduknya dan tidak
banyak bicara. Ia sudah sadar sekarang akan perbuatannya yang terlalu meluapluap
sehingga membuat Habibah bingung dan sedikit risih. Apalagi kondisi Habibah
yang sedang hamil, yang menurut orangorang, daya sensitivitasnya menjadi
tinggi.
Diambilnya cangkir kopi yang sudah
kosong beserta pisin yang dari tadi menemani dalam lamunannya, setelah itu
masuk ke dalam rumah, diiringi oleh Habibah yang terlebih dahulu mengunci pintu
rumah mereka.
***
Haripun tidak terasa sudah pagi
kembali. Angin dingin membawa hangat sinar matahari sampai ke relung badan yang
paling dalam, mengalir perlahanlahan melalui kulitnya para makhluk ciptaan
Tuhan. Terlihat burung pipit yang begitu lincah di atas pohon,
berjingkrakjingkrak dan menari dari dahan ke dahan pohon jambu batu di depan
rumah. Sementara dua ekor burung betet sedang asyik saling menggoda di pohon
nangka belakang rumah Abi.
Hidup ini memang anugerah, cinta Tuhan
memang seluas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit, bahkan lebih daripada
itu. Semuanya adalah mutlak wujud dari cinta Tuhan kepada makhlukNya melalui
rahmat dan karunianya pada setiap desah nafas dan setiap aliran pembuluh darah.
Yang kadang makhluk ini lupa. Lupa akan semuanya. Hati mereka banyak yang lalai
dari mengingat Tuhan, mereka lebih memilih untuk menyembah segala pemberian
Tuhan, dan lupa kepada Tuhannya itu sendiri. Disini terlihatlah bahwa sebagian
besar sifat insan itu adalah sifat insan yang licik dan materialistis, sifat
yang sebenarnya tidak pantas untuk dimiliki oleh sesosok makhluk yang katanya makhluk
yang paling sempurna di atas muka bumi ini.
Sebagai makhluk yang mulia, semestinya
insan memiliki juga sifatsifat yang mulia pula. Sifat syukur, ikhlas, cinta,
kasih sayang dan rendah hati misalnya adalah dari sekian banyak contoh sifat
makhluk yang sempurna dari akal, jiwa, dan raganya.
***
Pagi itu Abi sudah terlihat sangat rapi,
baju kemeja berwarna biru muda polos dipakainya di dalam sebuah jaket berwarna
hitam. Celana bahan hitam terlihat rapi. Celana yang tadi sore Habibah setrika.
“Kang mau makan dulu?” Tanya Habibah
yang baru selesai mandi dan ganti baju sambil keluar dari kamarnya .
“Tidak Neng, akang sedang terburuburu
mengejar bus jurusan Bandung. Supaya Akang bisa sampai Bandung nanti sore.”
Ujar Abi sambil menyisir rambut di depan cermin yang menggantung di sekitar
ruang tamu.
“Makan dulu atuh Kang, kebetulan Neng
sudah siapkan dari tadi sebelum subuh. Lagian Neng teh takut kalau Akang nanti
sakit.” Ucap Habibah menegaskan kembali kepada suaminya itu.
“Maaf Neng, Akangteh betulbetul sedang
memburu waktu. Terima kasih atas perhatiannya, nanti Akang beli buras saja di
dalam bus.”
“Ya sudah nanti Neng bungkusin saja ya
Kang, supaya Akang bisa memakannya di dalam bus.” Ujar Habibah sambil menuju
dapur rumahnya.
“Udah Neng, sekarang juga Akang akan
berangkat.” Ucap Abi menghalangi Habibah supaya tidak membungkus nasi untuknya.
“Neng, Akang mau pergi sekarang saja.
Neng jaga diri baikbaik di rumah ya.” Ujar Abi sambil memberikan tangannya
kepada Habibah, mengajak bersalaman.
Terlihat raut muka Habibah yang sedikit
menaruh rasa khawatir kepada Abi. Sedikit agak memaksakan. Sepertinya ketika
menyambut tangannya Abi. Mendadak hatinya bergetar melihat kepergian Abi. Entah
kenapa, hati yang sedari kemarin itu terlihat tegar mendadak hari ini menjadi
begitu lemah, seolah tertular oleh kelemahan hati Abi yang sudah terlihat dari
harihari sebelumnya.
Setelah berpamitan, Abi langsung
mengayunkan langkahnya meninggalkan rumah. Angin seolah tidak berkata apaapa.
Sepi. Semuanya seolah ingin membuat suatu kesaksian tentang detikdetik sebuah
peristiwa besar dalam kehidupan Abi dan Habibah.
Pagi ini jalanan masih sepi. Kendaraan
yang terlihat hanyalah beberapa buah mobil pribadi dan mobil colt bak yang biasa mengangkut para
pedagang menuju pasar atau kembali dari pasar. Terlihat pula satu dua motor
yang membonceng ibuibu yang membawa keranjang. Dari gayanya, sepertinya mereka akan
menuju pasar.
Terlihat oleh Abi dari kejauhan kira-kira
dalam jarak 50 meter. Ada seorang sosok yang sudah tidak asing lagi baginya,
sedang mengandarai motor.
“Bono?” Ucapnya di dalam hati sambil
sedikit muncul rasa harapan, Bono bisa mengantarnya ke terminal. Dan ternyata
Bonopun melihat Abi yang sudah melihatnya dari tadi sambil tersenyum kecil.
“Eh, Bi mau kemana, pagipagi banget?”
“Ke Bandung Bon, ada panggilan dari
pemda.”
“Bon, bantu atuh saya. Saya teh takut
kesiangan, antar ya ke terminal bis.” Ucap Abi dengan penuh harapan.
“O……kebetulan atuh Bi, saya mau ada
urusan pagi ini. Kebetulan mau lewat ke terminal juga. Ayo atuh naik!”
“Terima kasih Bon, sahut Abi sambil
segera naik ke motornya Bono.”
Motor segera melaju, membelah udara
dingin di pagi hari. Sampai kemudian pada suatu titik yang sepertinya semua
makhluk sudah tidak bisa menawar lagi. Yaitu sebuah panggilan tegas dari Yang
Maha Kuasa, yaitu panggilan maut yang sebetulnya semua makhluk akan menerima
panggilan itu. Begitupun dalam kehidupan Abi. Kematian tersebut tidaklah luput
darinya.
Tibatiba dan tidak dapat diduga
sebelumnya, di sebuah tikungan yang sangat tajam, begitu cepat dan tidak bisa
dielakkan lagi. Mobil elf dengan kecepatan
di atas ratarata keluar dari jalur kirinya, dengan tepat menghempas motor yang
sedang ditumpangi oleh Abi dan Bono.
Kidungkidung kematianpun mulai
terdengar begitu ramai, tidak seindah semilir angin di pagi itu. Setan dan
malaikat saling berebut memperebutkan detikdetik saat yang menentukan diantara
kehidupannya Abi dan Bono. Model jalan hidup apa ini, apakah ini lucu atau
mengharukan. Hal tersebut tidak ada yang tahu.
Semuanya lepas. Hilang begitu saja dari
tatapan Abi. Harapan yang selama ini diperjuangkan dan dipercayainya telah
tertutup bersama tertutupnya mata Abi untuk terakhir kalinya.
Di detikdetik pikirannya yang hampir
lenyap, Abi sempat teringat kepada Habibah dan Si Jabang Bayi. Masih banyak hal
yang harus disampaikannya kepada mereka berdua. Mungkin salah satunya adalah
karena Abi sangat menyayangi mereka berdua. Tapi apa boleh buat, tidak ada
satupun media di sana yang bisa digunakannya untuk menyampaikan rasa cintanya
itu. Tapi walaupun ada, Abi sudah tidak bisa lagi berkatakata. Satusatunya kata
yang masih tersisa adalah kata “Tuhan”. Dialah yang Maha Perkasa dan penentu.
“Titipkanlah kedua orang yang sangat
kau cintai itu Abi hanya kepada Tuhan. Lalu tidurlah engkau, tidurlah
senyenyaknyenyaknya. Tunggulah mereka berdua di alam sana. Percayalah,
kematianpun akan menjemput mereka berdua di kemudian hari. Dan kematian itu
pula yang akan menemukan engkau bertiga. Tidurlah, tidur yang nyenyak.
Lepaskanlah dirimu dari rasa sakit itu untuk selamalamanya.
*Tamat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar