Jumat, 10 Juli 2020

The Last but Not The End


Pada dasarnya kehidupan ini adalah hampir sama dengan sinetron-sinetron di televisi atau sandiwarasandiwara lainnya di panggung sandiwara. Kehidupan ini berjedajeda atau berepisodeepisode. Ada episode dimana sang pelaku harus tertawa terbahak-bahak, tersenyum, menangis tersedu sedan, teriak, lahir, atau meninggal. Semuanya pelaku tidak punya daya apaapa untuk berlaku keluar dari alur yang telah ditetapkan oleh Sang Penulis Skenario.
Di kehidupan nyata, hampir sama seperti peranperan di kehidupan sinetronsinetron dan sandiwara. Ada kalanya kita sedih; ada kalanya kita senang; ada kalanya kita harus berpindah tempat; ada kalanya kita harus kecewa; adakalanya kita sakit; dan ada kalanya kita sehat. Semua itu terus saja saling bergantian, dan kita menyebutnya sebagai ujian hidup. Sekali lagi, kita semuanya dikendalikan oleh Sang Penulis Skenario, Dia adalah Tuhan. Sang Penulis Skenario yang Maha Lembut dan Maha Kasih atas segala ketentuannya.
Namun kiranya kita setuju jikalau ada yang mengatakan bahwa ada hal yang bisa membedakan antara kehidupan nyata dengan kehidupan di dalam dunia sandiwara. Karena memang kehidupan ini bukanlah panggung sandiwara.
Di atas panggung sandiwara dan di kehidupan nyata kita samasama dikendalikan oleh pengendali kita. Tapi tidakkah kita merasa bahwa pengendali kita pada panggung sandiwara itu sangat otoriter. Mereka memperlakukan kita bagaikan sebuah wayang dalam sebuah pertunjukannya. Sehingga para pemain dilarang keras untuk keluar dari apa yang telah ditetapkan oleh sang penulis akenario. Mereka tidak pernah memberi alternatif lain dalam kehidupan sang pemain sandiwara. Bahkan dia tidak memperbolehkan seorang pemain bermain drama pada panggung drama yang lain.
Hal itu sangat berbeda sekali dengan skenario yang dibuat oleh Sang Penulis Skenario di alam nyata ini. Yang begitu halus dan Maha Adil. Dialah Sang Penulis Skenario yang terbaik di seluruh jagad raya ini. Karena Beliaulah rajanya alam semesta. Di dalam skenarioNya, Dia tidak pernah memaksa kepada makhlukNya harus begini atau harus begitu. Dalam setiap episodenya Dia selalu memberi pilihan kepada para makhlukNya. Seolah Dia mengatakan bahwa hidup ini adalah perjuangan yang dipilih. Tuhan hanya memberi petunjuk dan pilihan jalan saja agar hamba datang kepadaNya, sedangkan tugas hamba adalah memilih jalan yang dipercayainya dan berjuang untuk melewati jalan itu dengan sungguhsungguh sambil menulis sendiri jalan yang dilewati tersebut, yang nanti pada akhirnya akan diserahkan kepada Tuhan pada saat kita menemuiNya. Biarkanlah nanti Tuhan yang menilai kelayakan daripada perjuangan kita itu. Apakah Dia ridho atau tidak.
Sebuah episode kebahagiaan sekarang sedang dialami oleh Abi dan Habibah. Terasa hidup mereka makin lengkap saja. Apalagi sekarang mereka sudah dikaruniai seorang jabang bayi yang segera akan keluar beberapa bulan ke depan lagi. Mengenai ekonomi, mereka sudah dianggap mapan. Pekerjaannya sebagai pegawai di kecamatan, sebenarnya sudah cukup untuk sekedar makan mereka berdua setiap bulannya, apalagi ditambah oleh warung dan ternak ayam Abi yang sekarang sudah hampir berjumlah 30 ekor.
Tapi walaupun begitu, Abi sama saja dengan manusia lainnya, selalu ingin memiliki yang lebih dan tidak puas dengan keadaan sekarang. Apalagi Abi masih punya impian untuk bekerja di pemda Jawa Barat dan pindah ke Bandung, lalu dia akan membuka toko buku dan mendirikan usaha percetakan. Hal itu selalu menjadi impian Abi dan menjadi prioritas utamanya dalam berdo’a setiap hari.
Abi yakin bahwa surat lamarannya yang ia ki
rimkan beberapa bulan yang lalu itu lambat laun akan diketahui hasilnya.
Sampai akhirnya keyakinan Abi tersebut terjawablah pada suatu hari, dengan datangnya sebuah surat panggilan dari atas nama Pemda Jawa Barat, dan tertulis bahwa hari Kamis minggu depan Abi diwajibkan untuk datang ke Bandung karena ada administrasi yang harus diselesaikan.
Alangkah bahagianya Abi ketika membuka surat itu dan mengetahui bahwa dirinya diterima.
Abipun langsung berlari ke dalam rumah sambil berteriak dan dengan muka yang berseriseri.
“Neng, Neng, Akang diterima kerja di Bandung.” Teriak Abi.
Habibah yang merasa kaget dengan teriakan Abi segera keluar dari kamarnya.
“Ada apa Kang?”
Belum lagi pertanyaan dijawab, Abi sudah sampai dan segera memeluk Habibah. Habibah yang tidak mendengar teriakan Abi dengan jelas merasa heran dan segera mengulang pertanyaannya.
“Ada apa Kang? Apa yang terjadi?” bisik Habibah pelan di dekat telinga Abi yang masih belum melepaskan dekapannya.
“Akang diterima kerja di Pemda Jabar Neng. Impian Akang selama ini akan segera tercapai, kita akan pindah ke Bandung dan disana kita akan membuka sebuah toko buku dan mendirikan sebuah percetakan.” Jawab Abi yang masih mendekap Habibah.
“Selamat ya Kang, Neng ikut bahagia.” Ucap Habibah lirih sambil tersenyum, dan membalas dekapan Abi yang semakin erat.
Begitulah, hari ini Tuhan telah membuktikan satu ayatnya lagi. Bahwa berusahalah, maka Tuhan yang akan mengabulkan. Bahwa berusahalah, maka Tuhanmu tidak akan menyianyiakan barang sekecilpun usaha makhluknya. Bahwa berusahalah, lalu bersabarlah, dan Tuhanpun akan bersama orangorang yang sabar. Maha benar Tuhan, atas segala firmanMu.
Pekerjaanpun belum dimulai tapi Abi sudah begitu girang, dan sekarang ia mulai mengepak barangbarangnya. Malahan tadinya barangbarang Habibahpun akan dipak juga oleh Abi, tetapi karena Habibah menolaknya karena hal itu dianggapnya terlalu dini, makanya tidak jadi.
“Ah…..Kang Abi terlalu girang, makanya dari awal dia sudah mengepak seluruh pakaiannya. Sebetulnya itu kan pekerjaan yang tidak sulit, dua atau satu hari lagi ke pemberangkatanpun bisa. Ini kan masih lama, hari Kamis besok Kang Abi harus ke Bandung. Setelah itu entah berapa minggu lagi harus mengurus segala sesuatunya untuk pindahan.” Ucap Habibah di dalam hati, memaklumi sikap Abi yang demikian.
“Neng, besok Akang mau pergi ke Bandung entah untuk beberapa hari. Neng beranikan disini kalau ditinggalkan Akang?” Ucap Abi pada suatu malam.
“Ya Kang, berani. Lagian nanti kalau tidak berani tinggal meminta ditemenin ke Bi Iroh yang suka bantubantu di warung.” Ucap Habibah tandas.
“Neng kita bersumpah yuk, malam ini.”
“Sumpah? Sumpah apa Kang?” Habibah heran.
“Kita bersumpah bahwa kita akan selalu setia pada masing-masing pasangan, dan berjanji bahwa pernikahan kita itu adalah pernikahan yang akan sekali seumur hidup. Dan kita akan tetap saling setia sampai kapanpun.” Ucap Abi.
“Maaf Kang, Neng sudah ngantuk.” Jawab Habibah sambil berdiri dari duduknya.
“Tunggu dulu Neng, jawab dulu pertanyaan Akang.” Ujar Abi serentak menangkap tangan Habibah, berusaha untuk menghentikan langkahnya.
“Neng tidak mengerti apa yang sedang Akang omongkan, Akang sepertinya sudah melantur.” Jawab Habibah seperti agak marah, sambil melepaskan pegangan Abi.
“Neng,…...tunggu Neng, dengarkan dulu penjelasan Akang.” Teriak Abi.
Sedangkan Habibah setengah berlari, terus masuk ke dalam kamarnya. Habibah merasa Abi makin aneh saja, kelakuannya tidak seperti biasanya. Tadi siang Abi membereskan barangbarangnya tanpa permisi dulu. Hampir semuanya berantakan. Semuanya dipak, seolah Abi tidak berpikir panjang bahwa pakaiannya masih diperlukannya untuk kesehariannya disini. Lagian pidahan ke Bandung pun belum bisa dipastikan kapan. Kemudian malam ini Abi seolah meragukan cinta yang selama ini bersemi di dalam dadanya.
“Apakah Akang meragukan kesetiaanku? Padahal tanpa Akang tanya pun. Pasti akang mengetahui betapa dalamnya cintaku, sampai orang tuapun aku tentang kemauannya.” Ucap Habibah di dalam hatinya ketika memasuki kamar. Sementara Abi masih tetap berada di luar melihat bulan yang begitu indah dan pohon jambu monyet yang berada di depan rumahnya.
Entahlah, di dalam kebahagiaannya yang sangat dalam itu, terselip sebuah rasa kekhawatiran yang sebetulnya tidak berdasar. Yaitu kekhawatiran akan dua orang yang sangat dicintainya, Habibah dan Si Jabang Bayi.
“Ah…..kepergianku hanya sebentar, mengapa aku harus sangat khawatir kepada mereka? Mereka akan baikbaik saja disini.” Cetus Abi dalam logikanya.
Abi, sang kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab, selama ini memang dirinya belum pernah sekalipun meninggalkan Habibah. Selama enam bulan pernikahannya itu mereka selalu bersama dalam kebahagiaan. Selalu saling berkomunikasi dan berdialog, selalu saling bekerjasama, mereka adalah pasangan yang cocok. Maka dari itu Abi merasa sangat berat untuk meninggalkan rumahnya besok pagi, rumah yang selama ini menjadi surga baginya.
Malam pun semakin indah, bulan emas serasa berseri menyaksikan sang kelelawar yang mulai beraktifitas untuk menyambung hidupnya. Angin sepoisepoi menebak pohon jambu dan bunga kaca piring di depan rumah Abi. Entahlah, malam itu terasa syahdu sekali bagi Abi. Padahal malam itu tidak berbeda dengan malammalam yang lalu. Sesekali terdengar suara jambu kecil yang jatuh ke atas genting tertebak oleh angin yang sesekali mendadak agak kencang.
Malam semakin larut, dan suara jengkrikpun mulai menghiasi kesyahduan malam itu, malam yang mungkin adalah malam paling membahagiakan bagi Abi, karena sebentar lagi segala masa lalu dan kenangan di rumah ini, segala perjuangannya, dan segala suka dukanya akan segera berakhir.
“Kang, malam sudah larut, lebih baik Akang sekarang cepat tidur, Neng takut nanti besok Akang akan kesiangan, dan mengantuk di jalan.” Ucap Habibah dari arah pintu rumah.
Abi pun melirik ke arah Habibah, dan tersenyum. Dilihat istrinya itu sudah tidak kesal lagi kepadanya, terdengar dari ketulusan nada bicaranya.
Abipun berdiri dari duduknya dan tidak banyak bicara. Ia sudah sadar sekarang akan perbuatannya yang terlalu meluapluap sehingga membuat Habibah bingung dan sedikit risih. Apalagi kondisi Habibah yang sedang hamil, yang menurut orangorang, daya sensitivitasnya menjadi tinggi.
Diambilnya cangkir kopi yang sudah kosong beserta pisin yang dari tadi menemani dalam lamunannya, setelah itu masuk ke dalam rumah, diiringi oleh Habibah yang terlebih dahulu mengunci pintu rumah mereka.
***
Haripun tidak terasa sudah pagi kembali. Angin dingin membawa hangat sinar matahari sampai ke relung badan yang paling dalam, mengalir perlahanlahan melalui kulitnya para makhluk ciptaan Tuhan. Terlihat burung pipit yang begitu lincah di atas pohon, berjingkrakjingkrak dan menari dari dahan ke dahan pohon jambu batu di depan rumah. Sementara dua ekor burung betet sedang asyik saling menggoda di pohon nangka belakang rumah Abi.
Hidup ini memang anugerah, cinta Tuhan memang seluas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit, bahkan lebih daripada itu. Semuanya adalah mutlak wujud dari cinta Tuhan kepada makhlukNya melalui rahmat dan karunianya pada setiap desah nafas dan setiap aliran pembuluh darah. Yang kadang makhluk ini lupa. Lupa akan semuanya. Hati mereka banyak yang lalai dari mengingat Tuhan, mereka lebih memilih untuk menyembah segala pemberian Tuhan, dan lupa kepada Tuhannya itu sendiri. Disini terlihatlah bahwa sebagian besar sifat insan itu adalah sifat insan yang licik dan materialistis, sifat yang sebenarnya tidak pantas untuk dimiliki oleh sesosok makhluk yang katanya makhluk yang paling sempurna di atas muka bumi ini.
Sebagai makhluk yang mulia, semestinya insan memiliki juga sifatsifat yang mulia pula. Sifat syukur, ikhlas, cinta, kasih sayang dan rendah hati misalnya adalah dari sekian banyak contoh sifat makhluk yang sempurna dari akal, jiwa, dan raganya.
***
Pagi itu Abi sudah terlihat sangat rapi, baju kemeja berwarna biru muda polos dipakainya di dalam sebuah jaket berwarna hitam. Celana bahan hitam terlihat rapi. Celana yang tadi sore Habibah setrika.
“Kang mau makan dulu?” Tanya Habibah yang baru selesai mandi dan ganti baju sambil keluar dari kamarnya .
“Tidak Neng, akang sedang terburuburu mengejar bus jurusan Bandung. Supaya Akang bisa sampai Bandung nanti sore.” Ujar Abi sambil menyisir rambut di depan cermin yang menggantung di sekitar ruang tamu.
“Makan dulu atuh Kang, kebetulan Neng sudah siapkan dari tadi sebelum subuh. Lagian Neng teh takut kalau Akang nanti sakit.” Ucap Habibah menegaskan kembali kepada suaminya itu.
“Maaf Neng, Akangteh betulbetul sedang memburu waktu. Terima kasih atas perhatiannya, nanti Akang beli buras saja di dalam bus.”
“Ya sudah nanti Neng bungkusin saja ya Kang, supaya Akang bisa memakannya di dalam bus.” Ujar Habibah sambil menuju dapur rumahnya.
“Udah Neng, sekarang juga Akang akan berangkat.” Ucap Abi menghalangi Habibah supaya tidak membungkus nasi untuknya.
“Neng, Akang mau pergi sekarang saja. Neng jaga diri baikbaik di rumah ya.” Ujar Abi sambil memberikan tangannya kepada Habibah, mengajak bersalaman.
Terlihat raut muka Habibah yang sedikit menaruh rasa khawatir kepada Abi. Sedikit agak memaksakan. Sepertinya ketika menyambut tangannya Abi. Mendadak hatinya bergetar melihat kepergian Abi. Entah kenapa, hati yang sedari kemarin itu terlihat tegar mendadak hari ini menjadi begitu lemah, seolah tertular oleh kelemahan hati Abi yang sudah terlihat dari harihari sebelumnya.
Setelah berpamitan, Abi langsung mengayunkan langkahnya meninggalkan rumah. Angin seolah tidak berkata apaapa. Sepi. Semuanya seolah ingin membuat suatu kesaksian tentang detikdetik sebuah peristiwa besar dalam kehidupan Abi dan Habibah.
Pagi ini jalanan masih sepi. Kendaraan yang terlihat hanyalah beberapa buah mobil pribadi dan mobil colt bak yang biasa mengangkut para pedagang menuju pasar atau kembali dari pasar. Terlihat pula satu dua motor yang membonceng ibuibu yang membawa keranjang. Dari gayanya, sepertinya mereka akan menuju pasar.
Terlihat oleh Abi dari kejauhan kira-kira dalam jarak 50 meter. Ada seorang sosok yang sudah tidak asing lagi baginya, sedang mengandarai motor.
“Bono?” Ucapnya di dalam hati sambil sedikit muncul rasa harapan, Bono bisa mengantarnya ke terminal. Dan ternyata Bonopun melihat Abi yang sudah melihatnya dari tadi sambil tersenyum kecil.
“Eh, Bi mau kemana, pagipagi banget?”
“Ke Bandung Bon, ada panggilan dari pemda.”
“Bon, bantu atuh saya. Saya teh takut kesiangan, antar ya ke terminal bis.” Ucap Abi dengan penuh harapan.
“O……kebetulan atuh Bi, saya mau ada urusan pagi ini. Kebetulan mau lewat ke terminal juga. Ayo atuh naik!”
“Terima kasih Bon, sahut Abi sambil segera naik ke motornya Bono.”
Motor segera melaju, membelah udara dingin di pagi hari. Sampai kemudian pada suatu titik yang sepertinya semua makhluk sudah tidak bisa menawar lagi. Yaitu sebuah panggilan tegas dari Yang Maha Kuasa, yaitu panggilan maut yang sebetulnya semua makhluk akan menerima panggilan itu. Begitupun dalam kehidupan Abi. Kematian tersebut tidaklah luput darinya.
Tibatiba dan tidak dapat diduga sebelumnya, di sebuah tikungan yang sangat tajam, begitu cepat dan tidak bisa dielakkan lagi. Mobil elf dengan kecepatan di atas ratarata keluar dari jalur kirinya, dengan tepat menghempas motor yang sedang ditumpangi oleh Abi dan Bono.
Kidungkidung kematianpun mulai terdengar begitu ramai, tidak seindah semilir angin di pagi itu. Setan dan malaikat saling berebut memperebutkan detikdetik saat yang menentukan diantara kehidupannya Abi dan Bono. Model jalan hidup apa ini, apakah ini lucu atau mengharukan. Hal tersebut tidak ada yang tahu.
Semuanya lepas. Hilang begitu saja dari tatapan Abi. Harapan yang selama ini diperjuangkan dan dipercayainya telah tertutup bersama tertutupnya mata Abi untuk terakhir kalinya.
Di detikdetik pikirannya yang hampir lenyap, Abi sempat teringat kepada Habibah dan Si Jabang Bayi. Masih banyak hal yang harus disampaikannya kepada mereka berdua. Mungkin salah satunya adalah karena Abi sangat menyayangi mereka berdua. Tapi apa boleh buat, tidak ada satupun media di sana yang bisa digunakannya untuk menyampaikan rasa cintanya itu. Tapi walaupun ada, Abi sudah tidak bisa lagi berkatakata. Satusatunya kata yang masih tersisa adalah kata “Tuhan”. Dialah yang Maha Perkasa dan penentu.
“Titipkanlah kedua orang yang sangat kau cintai itu Abi hanya kepada Tuhan. Lalu tidurlah engkau, tidurlah senyenyaknyenyaknya. Tunggulah mereka berdua di alam sana. Percayalah, kematianpun akan menjemput mereka berdua di kemudian hari. Dan kematian itu pula yang akan menemukan engkau bertiga. Tidurlah, tidur yang nyenyak. Lepaskanlah dirimu dari rasa sakit itu untuk selamalamanya.

*Tamat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar