Kamis, 09 Juli 2020

PALESTINA BERDARAH UJIAN PERSATUAN UMAT


Oleh: Qiki Qilang Syachbudy

 
Akhir-akhir ini kita disuguhi kembali berita tentang serangan Israel ke Palestina yang sudah membunuh ratusan korban dan melukai ribuan warga Palestina. Kejadian ini kembali mendapatkan simpati rasa kemanusiaan dari warga masyarakat dunia. Namun demikian, serangan terus dilakukan. Dengan congkaknya Israel terus menghujani Jalur Gaza dengan tidak memperdulikan lagi bahwa disana banyak warga sipil tidak berdaya yang meninggal dunia akibat serangan tersebut. Atas dasar keinginan mengembalikan kejayaan kerajaan Daud dan Sulaiman mereka telah secara egois merendahkan nilai-nilai kemanusiaan dan menghalalkan darah sesama manusia.
Ketegangan antara Israel dan Palestina ini dilatarbelakangi oleh akar sejarah yang sangat panjang. Namun demikian, secara hukum modern, sejarah mencatat bahwa saat ini Israel telah mencaplok wilayah negara Palestina dari ketegangan yang sengaja diciptakan dari tahun 1946. Dengan berbekal dukungan dari Amerika Serikat kemudian Israel terus melakukan perebutan wilayah Palestina, negara yang dahulu pernah menjadi kiblat sujudnya umat Islam di seluruh dunia.
Ada satu pertanyaan besar yang menggelitik dari sangat beraninya Israel terus menerus menyerang masyarakat Palestina yang berpenduduk mayoritas muslim dan merupakan negara yang memiliki nilai historis (masjidil Aqso) sangat kental dengan perkembangan penyebaran agama Islam. Seolah mereka sangat yakin bahwa umat Islam tidak akan bersatu untuk membantu saudara-saudaranya di Palestina. Seolah Israel menganggap bahwa jumlah muslim yang sekarang terbesar di dunia itu hanyalah buih di lautan yang tidak akan sanggup menghentikan keinginannya untuk memperluas luas wilayah negaranya, memperkaya ladang minyaknya, dan mengembalikan kejayaannya pada masa Daud dan Sulaiman.
Sebagai introspeksi diri, pendapat Israel yang menganggap umat Islam ini sebagai buih di lautan perlu kita kaji bersama. Kondisi umat Islam saat ini memang tidaklah jauh dari prediksi bangsa Israel. Jangankan untuk memikirkan dan membantu saudara-saudara di Palestina sana, sedangkan dengan tetanggapun banyak yang tidak akur. Jangankan untuk membantu saudara yang jauh, saudara yang dekatpun kita jarang terenyuh jika diantara mereka ada yang tidak bisa makan atau tidak bisa sekolah. Lebih jauhnya lagi, jangankan kita rukun, untuk masalah kepentingan bersamapun kita tidak bisa menyatukan pendapat. Kita kadang hanya sibuk untuk saling menyalahkan dan mengkafirkan. Kita masih mengaku muslim, namun kelakuan kita jauh dari nilai-nilai Islam. Kita lebih suka dan senang bercerai berai (mengeksiskan diri) daripada mencari titik temu untuk melakukan kerja bersama yang kemudian menghasilkan karya bersama.
Padahal, Islam sendiri sangat menganjurkan nilai-nilai persatuan dari setiap ajarannya. Hal itu dapat dilihat dari ajaran Islam mengenai shalat berjamaah, zakat, puasa ramadhan, dan berhaji ke baitullah. Semua ajaran-ajaran tersebut memiliki nilai-nilai persatuan (ukhuwah islamiyah) yang kemudian diharapkan untuk menjadi sumber kekuatan umat dimana antara muslim satu dengan yang lainnya merasa bersaudara.
Melalui peristiwa yang menimpa saudara-saudara di Palestina ini hendaknya mari kita kembali me-reinstrospeksi diri dan me-reshape pemahaman kita sebagai bagian dari keluarga besar umat Islam dan kemudian bertanya dimanakah posisi kita disaat saudara kita terkena musibah dan kesulitan dimana pada setiap detik dalam 24 jam nyawanya terancam. Kalau perlu kita kirimkan keringat dan darah kita untuk menggantikan keringat dan darah yang telah saudara-saudara kita keluarkan di Palestina. Disinilah kita dipertanyakan kembali tentang persatuan umat sebagai senjata paling ampuh kaum muslimin yang telah hilang.(Tulisan ini dibuat dalam rangka aksi solidaritas rakyat Palestina di Tugu Kujang, Bogor) (16 Juli 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar